Mohon tunggu...
Guıɖo Arısso
Guıɖo Arısso Mohon Tunggu... Insinyur - ᗰᗩᖇᕼᗩEᑎ

ᗰᗩᖇᕼᗩEᑎ

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Diskursus Mahar Nikah Nggak Pake Ribet!

15 Februari 2021   21:02 Diperbarui: 19 Februari 2021   22:16 699
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi| gadis-gadis Manggarai (KOMPAS.com/MARKUS MAKUR)

Dulu, zaman bapak kalen menikah itu, mas kawin--atau kita di Manggarai menyebutnya belis, dimaknai sebagai sesuatu yang holistis. Tapi, kini belis justru menjadi paradoks. 

Di mana belis lebih dilihat sebagai salah satu bagian dan lebih berorientasi pada rupiah.

Saya juga enggan menyebut belis sebagai kegiatan bisnis, atau lebih sadisnya lagi, praktik jual-beli. Itu adalah ungkapan merendahkan dan meledek kewarasan.

Tulisan ini juga tidak bertujuan untuk mempersoalkan dan/atau mendebatkan paradoks belis. Tersebab, akan sia-sia saja dan melelahkan. 

Atau biarkan hal itu menjadi tugas para tetua di dalam gendang (rumah adat), dan kita yang muda cukup minum kopi sambil menguping dari luar jendela.

Mari kita kilas balik seperti apa pemaknaan belis bagi masyarakat Manggarai tempo doloe, kawan. Di sini juga, saya akan mengambil contoh kecil mengenai diskursus belis masyarakat di desa saya. Ya, sebagai pembanding saja.

Begini. Di desa saya dulunya, jika ada pasangan muda yang hendak menikah, maka mempelai pria kelak akan menerima jatah sebidang tanah dari sang mertua--pihak perempuan.

Hal tersebut memang bukanlah sebuah kewajiban dan/atau kosekuensi dalam pernikahan adat, melainkan sebagai bentuk nuk agu momang (kasih dan sayang) seorang ayah pada anak gadisnya yang akan dipinang dan kelak tinggal jauh mengikuti sang suami/keluarga besar pria.

Namun demikian, dalam praktik pemberian belis, pihak laki-lakilah yang justru wajib hukumnya memberikan mas kawin pada pihak perempuan. Takada tawar menawar dalam ranah ini. Risiko adatnya memang begitu.

Perlu diketahui juga, bahwa belis lebih dimaknai sebagai simbol terima kasih pada mertua karena dia sudah merawat putrinya dengan baik. Selebihnya, belis dimaknai sebagai wujud pemberian berdasarkan kelebihan. Tidak pula direduksi ke dalam bentuk uang dan emas. Ihwal sejatinya belis itu bersifat holistis

Bertolak dari diskursus (ala Foucault) belis di atas, maka bukan sesuatu yang aneh lagi, bila zaman bapak kalen menikah itu, mas kawin bukanlah sesuatu yang memberatkan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun