Mohon tunggu...
Guıɖo Arısso
Guıɖo Arısso Mohon Tunggu... Insinyur - ᗰᗩᖇᕼᗩEᑎ

ᗰᗩᖇᕼᗩEᑎ

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Fungsi Telur dan Ayam dalam Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat Manggarai

31 Desember 2020   12:15 Diperbarui: 27 April 2021   10:15 1099
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ayam dan telur adalah dua jenis kuliner rakyat yang punya andil sangat besar dalam kehidupan sosial dan kebudayaan masyarakat Manggarai, Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT). Begitulah, ayam dan telur mempunyai fungsi sentral.

Selebihnya, ayam dan telur hadir sebagai energi komunal yang menyatu dengan kehidupan masyarakat Manggarai sejak berabad-abad tahun yang lalu.

Pertama-tama, saya akan menjelaskan fungsi ayam dan telur dalam kebudayaan masyarakat Manggarai.

Fungsi ayam dan telur bagi orang Manggarai tak hanya sekadar persoalan lauk-pauk yang sering tersajikan dengan lezat di atas meja makan keluarga, tapi ayam dan telur memiliki nilai sakralitas dalam tradisi kebudayaan.

Apabila ditelaah secara biblis pun, ayam dan telur merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Atau dengan kata lain, mereka bukan lagi dua melainkan satu--karena pars pro toto dari telur adalah ayam, demikian pun sebaliknya.

Sebagaimana babi, ayam merupakan ternak adat. Hal itu terlihat dari fungsi simbolik ayam dan telur sebagai hewan kurban dan bagian dari sesajen dalam setiap prosesi ritual adat di Manggarai.

Secara simbolik, ayam dan telur merupakan lapeng (simbol) doa yang dipanjatkan kehadirat Mori Kraeng (Tuhan), ihe pa'ang bele (arwah nenek moyang) dan alam, agar senantiasa melimpahkan berkat dan perlindungan ke atas mereka.

Di sini saya juga akan menjelaskan seperti apa fungsi ayam dan telur dalam upacara Penti, salah satu rangkaian ritual adat tahunan yang wajib bagi masyarakat Manggarai.

Sebagaimana upacara Penti adalah upacara syukuran panen. Upacara ini dipimpin langsung oleh tua adat yang kami sebut juga tua golo. Ritual ini mengikutsertakan ayam jantan putih dan telur sebagai simbolisasi doa.

Baca Juga: Mengenal Upacara Adat Perkawinan Aso Sule' pada Suku Dayak Taman

Ayam sendiri diartikan sebagai lambang kehidupan dan kesuburan, sementara telur melambangkan kelahiran baru--walaupun dia harus menetas terlebih dulu.

Di dalam upacara Penti ini juga, ada sebuah ritual yang biasanya dilakukan secara bersamaan, yakni Teing Hang Empo. Kedua ritus ini sama-sama diberlangsungkan di dalam mbaru gendang (rumah adat Manggarai).

Terkhusus ritual teing hang empo dimaksudkan untuk mengundang arwah nenek moyang berikut memberi mereka makan. Simbolisasi doanya masih sama, berupa ayam dan telur. Perbedaan hanya terletak pada torok (kalimat doa) si tua golo.

Setelah doa selesai, lalu ayam tadi disembelih berikut dipanggang di atas tungku api. Setelah matang, lidah, hati, dan sedikit dagingnya akan dipotong lalu dicampurkan dengan nasi dan telur di atas piring. Baru kemudian si tua golo akan mempersilakan arwah nenek moyang mencicipi makanan itu.

Sementara sebagian besar dari sisa daging ayam tadi akan dicampurkan ke dalam daging yang akan di makan secara bersama oleh warga sekampung. Selain daging ayam dan telur, adapula daging babi dan juga sapi.

Singkatnya, upacara Penti dan ritual teing hang empo ini dilakukan berangkat dari sebuah kesadaran, bahwa hidup manusia selalu bergantung pada kebaikan Sang Pencipta, arwah nenek moyang dan alam.

Tersebab, keserakahan manusia bisa saja merusak relasi yang baik antar manusia dengan Tuhan, manusia dengan arwah nenek moyang dan manusia dengan alam. Dengan begitu, untuk menghindari petaka, musibah dan hal lain yang tidak diinginkan, maka rekonsiliasi perlu dilakukan. 

Tentu saja di sini usaha untuk memulihkan kembali relasi yang baik dengan Tuhan, arwah nenek moyang dan alam itu tidak hanya lewat ritus kolektif adat semata, tapi juga dalam perilaku sehari-hari.

Berikutnya adalah fungsi ayam dan telur dalam kehidupan sosial masyarakat Manggarai.

Pada galibnya, ayam dan telur tak hanya hadir sebagai simbolik dan lauk-pauk dalam pesta adat, tapi sebagai bentuk penegasan posisi sosial dalam masyarakat Manggarai.

Di dalam budaya kekerabatan orang Manggarai, "anak rona" (pihak pemberi istri) mempunyai posisi satu tingkat di atas "anak wina/woe" (pihak penerima istri). 

Pada prinsipnya, pemanggungan struktur sosial seperti ini lahir dari sebuah keyakinan, bahwa "anak rona" adalah pihak pemberi rejeki--melalui istri tadi. Karena bagi masyarakat Manggarai, perempuan adalah simbol kehidupan dan kesuburan.

Maka, bila pada suatu saat pihak keluarga "anak rona" bertamu ke rumah si "anak wina/woe", entah itu dalam rangka urusan adat atau tidak, pihak "anak wina/woe" berkewajiban untuk menyembelih ayam (termasuk menghidangkan telur) untuknya. Itu adalah bentuk penghormatan. 

Begitu juga sebaliknya, ketika pihak "anak wina/woe" bertamu ke rumah "anak rona", dia berkewajiban untuk membawa serta ayam. Tradisinya begitu memang.

Sehingga dalam pola kekerabatan orang Manggarai, pihak "anak wina/woe" disebut juga sebagai ata pening manuk, yang berarti saudari yang berkewajiban memelihara ayam.

Demikian sekilas fungsi ayam dan telur dalam kehidupan sosial dan budaya masyarakat Manggarai. Di mana, selain hadir sebagai lauk-pauk, tapi juga mempunyai fungsi yang sentral.(*)

Salam budaya dan Salam cengkeh!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun