Mohon tunggu...
Guıɖo Arısso
Guıɖo Arısso Mohon Tunggu... Insinyur - ᗰᗩᖇᕼᗩEᑎ

ᗰᗩᖇᕼᗩEᑎ

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tidak Perlu Dilarang, Mengonsumsi Miras (Lokal) Itu Bagian dari Ekspresi Budaya

13 November 2020   00:32 Diperbarui: 14 November 2020   14:42 420
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kaum laki-laki Ngada ditugaskan untuk menyuguhkan tuak atau moke lokal untuk menggantikan minuman air setelah makan uwi (ubi) saat ritual Reba Ngada dilaksanakan di Kampung Langa, Kecamatan Bajawa, Kabupaten Ngada, Flores, NTT, Selasa (15/1/2019). (KOMPAS.com/MARKUS MAKUR)

Mengonsumsi minuman beralkohol (OH) dan/atau minuman keras lokal seperti tuak, sopi dan moke itu bagian dari ekspresi budaya. Jadi, tidak perlu dilarang.

Tulisan ini sengaja dibuat sebagai dasar epistemologis pilihan sikap kita dalam memandang RUU Larangan Minuman Beralkohol (minol) dan/atau minuman keras (miras) di wilayah NKRI.

Baru-baru ini, misalnya, beberapa fraksi DPR-RI di Senayan, Jakarta, mengusulkan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Larangan Minuman Beralkohol (Minol).

Beberapa fraksi di DPR yang mengusulkan RUU itu antara lain Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Gerindra.

Lebih lanjut, bila menghela narasi seputar draft RUU Larangan Minol ini, di dalam bab 3 disebutkan bahwa, setiap orang dilarang memproduksi, memasukkan, menyimpan, mengedarkan dan menjual Minol di wilayah NKRI.

Sementara itu di bab 8 disebutkan bahwa, penggunaan Minol hanya diperbolehkan pada situasi terbatas. Misal, pada saat ritual adat, upacara keagamaan, wisatawan, farmasi, dan tempat-tempat yang diizinkan oleh peraturan perundang-undangan.

Tujuan disodorkannya RUU Larangan Minol tersebut dimaksudkan untuk melindungi segenap masyarakat dari dampak negatif yang dapat ditimbulkan dari minuman beralkohol. Selebihnya, menciptakan ketertiban dan ketentraman dari peminum alkohol.

***

Bertolak dari logika yang dibangun dalam bab 3 RUU Larangan Minol itu, bisa disimpulkan mereka memposisikan miras sebagai sesuatu yang buruk, memabukkan, merugikan kesehatan, penyebab anarkistis, dan lain sebagainya.

Tidak ada salahnya memang bila menggunakan beberapa indikator itu untuk memerangi miras. Kalaupun perilaku si pemabuk itu sampai merugikan orang lain, ya, tangkap dan proses hukum saja.

Tapi perlu juga diingat bahwa, miras tidak selamanya berbahaya bagi kesehatan. Terminologi berbahaya di sini hanya akan relevan ketika miras yang Anda konsumsi itu kelewatan banyak. Misal, sekali tenggak 1 jerigen sekaligus. Tentu saja Anda akan tepar dan kesehatan Anda akan menjadi taruhannya.

Akan berbeda jadinya bila miras yang Anda tenggak itu hanya setengah gelas atau satu sloki setelah makan, misalnya. Hasilnya Anda pasti akan sehat. Bolak-balik buang angin dan kepala Anda menjadi lebih ringan karena sudah membuang gas yang tidak perlu mengendap di tubuh.

Adapun usus (manfaat lain) dari miras bagi kesehatan adalah mengatasi sengatan serangga seperti nyamuk, meredakan nyeri otot, membersihkan tangan dan bisa menjadi alternatif penghangat badan jika Anda sedang berada di atas gunung.

Jadi, perlu juga untuk membuka mata terhadap kemungkinan dan/atau kebenaran lain di luar itu. Tersebab, miras hadir di tengah masyarakat bukan atas dasar motif tunggal.

Maksud saya, miras tak sekadar dimanfaatkan sebagai minuman pemuas dahaga, tapi juga sebagai simbol perekat hubungan antarsesama di dalam suatu komunitas.

Di dalam beberapa komunitas adat di Nusantara, misalnya, miras seperti tuak, sopi dan moke punya andil dalam menghangatkan hubungan antarindividu maupun kelompok dalam kehidupan sehari-hari. Terlepas dari fungsi tuak sebagai minuman tradisional yang sering dihadirkan di dalam ritual adat.

Ambil contoh saja, misalnya, bagi masyarakat adat di Nusa Tenggara Timur, miras lokal seperti tuak, sopi dan moke diamini oleh masyarakat sebagai minuman persahabatan atau air kekeluargaan.

Fakta lain juga menyuguhkan bahwa, begitu ada tamu dari luar pulau, pasti akan disuguhkan tuak oleh tuan rumah. Terlepas siapapun Anda. Tuak itu simbol keakraban, kawan.

Tak hanya itu tentu saja, tuak juga menjadi simbol penyatuan. Ketika ada perselisihan dan percecokan, tuak hadir sebagai simbol maaf-memaafkan. Hal ini justru menjadi antithesis daripada kehadiran tuak yang dianggap sebagai pemicu masalah.

Singkatnya, mengonsumsi minuman keras lokal seperti tuak, sopi dan moke itu bagian dari ekspresi budaya. Sebagaimana ekspresi budaya masyarakat NTT itu mendapat pengakuan dari hukum adat dan juga dari UU No. 5 tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan.

Dengan itu, menurut saya, tidak ada alasan yang cukup kuat bagi siapapun untuk berlaku represip, mengekakang ekspresi budaya masyarakat apalagi sampai mempidanakan orang mengonsumsikan miras untuk tujuan baik.

Saya kira begitu. Salam satu sloki ^_^

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun