Pada galibnya, secara nasional Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) masuk dalam lima besar jumlah penduduk miskin terbanyak di Indonesia.
Melansir dari Kompas.com, dalam laporan Badan Pusat Statistik (BPS) per Maret 2020, misalnya, persentase penduduk miskin terbanyak berdasarkan provinsi adalah sebagai berikut:
- Jawa Timur 4,42 juta jiwa (11,09 persen)
- Jawa Tengah 3,38 juta jiwa (11,41 persen)
- Jawa Barat 3,92 juta jiwa (7,9 persen)
- Sumatera Utara 1,28 juta jiwa (8,75 persen)
- Nusa Tengggara Timur/NTT 1,15 juta jiwa (20,90 persen)
Terkhusus untuk Provinsi NTT, misalnya, tren kemiskinan mengalami kenaikan tahun ini dibandingkan pada tahun 2019 kemarin. Tentu saja suguhan fakta ini menjadi ironi tersendiri dan sangat memprihantinkan.
Tidak dapat dimungkiri memang, hampir 75% penduduk miskin di NTT tinggal di pedesaan dan bermata pencahariaan sebagai petani. Dengan demikian, hemat saya, untuk mengentaskan kemiskinan itu tidak lepas dari pembaharuan sektor pertanian.
Sejauh ini, Pemerintah NTT telah menjadikan sektor pertanian sebagai sektor prioritas kedua setelah pariwisata. Ada beberapa program pertanian yang telah diluncurkan untuk meningkatkan produksi, produktivitas dan kesejahteraan petani.
Seperti dengan mengintegrasikan subsistem agribisnis dari hulu ke hilir, pemasaran dan penunjang yang dianggap dapat meningkatkan produktivitas dan daya saing juga telah diterapkan. Hasilnya, produksi pertanian seperti komoditas kopi, kemiri, jambu mete, hingga garam dan peternakan meningkat tiap tahunnya.
Namun lagi-lagi produktivitas beberapa komoditas tersebut belum mampu meningkatkan kesejahteraan petani.
Fakta lain juga menyuguhkan bahwa, jumlah penduduk miskin di NTT dari tahun ke tahun mengalami kenaikan.
Demikian pula jika dilihat dari Nilai Tukar Petani (NTP) yang merupakan salah satu indikator untuk mengukur tingkat kesejahteraan petani.
NTP di NTT cendrung fluktuatif dan turun ke 93,23 (0,38 persen) per Mei 2020. Tapi subsektor hortikultura dan tanaman padi-palawija menunjukan tren baik dari bulan April ke Mei yakni naik 0, 07 persen. (Gatra.com, 2/06/2020)
Penurunan ini disebabkan oleh penurunan indeks harga baik itu yang diterima maupun yang dibayarkan oleh petani.
Dari sajian data NTP petani NTT di atas pula, dapat disimpulkan juga bahwa, harga komoditas hasil produksi maupun konsumsi mengalami penurunan.
Tentunya hal ini menimbulkan tanda tanya besar. Rasanya ada mata rantai pembangunan dalam upaya pengentasan kemiskinan di NTT yang terlewatkan khususnya di bidang pertanian.
Dari permasalahan yang ada tersebut, hemat saya, terdapat 3 (tiga) permasalah yang mempersulit upaya pengentasan kemiskinan melalui pendekatan pertanian di NTT.
Pertama, program yang dijalankan lebih dominan bersifat politis dibandingkan aspek strategis dan ekonomis.
Pada kenyataannya banyak program-program yang telah dirancang oleh pemerintah provinsi dan daerah telah menguntungkan pihak-pihak tertentu.
Penentuan lokasi dan penerimaan manfaat program lebih ditentukan oleh kedekatan kelompok-kelompok tertentu baik sesama elit birokrasi maupun legislatif.
Kondisi ini tentunya sangat sulit untuk menilai efektifitas program yang dilakukan dari aspek strategis dan ekonominya. Dan tentunya mengakibatkan kecemburuan sosial antar kelompok petani dan menurunnya tingkat kepercayaan kepada pemerintah.
Kedua, penilaian keberhasilan program pembangunan lebih ditekankan terhadap penyerapan anggaran.
Keberhasilan pembangunan tidak hanya dinilai dari tinggi rendahnya penyerapan anggaran akhir tahun. Melainkan seberapa besar dampak pembangunan yang dilakukan terhadap pertumbuhan ekonomi di masyarakat yang menjadi poin penting.
Ketiga, adanya ego sektoral.
Pembangunan di sektor pertanian selama ini masih belum menunjukan adanya sinergisitas antar seluruh stakeholder. Sinergi antar bidang pembangunan sangat diperlukan demi kelancaraan pelaksanaan dan tercapainya tujuan secara efektif dan efisien.
Kondisi inilah yang saya katakan, oleh karena belum adanya transparansi pembagian tugas dan fungsi instansi-instansi terkait, termasuk di dalamnya Dinas Pertanian provinsi dan daerah yang mengakibatkan tumpang tindih kebijakan dan kekuasaan.
Tersebab, menurut saya, kebijakan masing-masing sektor yang berdiri sendiri dan tidak equil to equil akan sulit mencapai keberhasilan.
Solusi penanggulangan kemiskinan di NTT
Dalam menanggulangi kemiskinan di NTT, menurut saya, perlu adanya pembenahan secara struktural. Karena hemat saya, banyaknya rakyat miskin di NTT dipicu oleh salah urusnya sektor pertanian.
Tak dimungkiri memang, sebagian besar masyarakat miskin di NTT adalah mereka yang berprofesi sebagai petani dan/atau pekebun.
Dengan begitu, di sinilah perlunya peran pemerintah bekerjasama dengan dinas pertanian untuk melakukan pendekatan politik pertanian yang komprehensif dan terintegratif kepada petani.
Konsep dan regulasi di bidang pertanian harus diperhatikan secara menyeluruh. Mulai dari penyediaan sarana prasarana (baca: alat-alat) pertanian, penyuluhan, irigasi, ketersediaan pupuk, tata niaga pertanian, luas lahan produktif dan sebagainya untuk mendukung sektor pertanian.
Dari sekian kebijakan sarat pro pertanian tersebut, ada satu hal yang tidak kalah pentingnya lagi yakni menerapkan standarisasi harga komoditas di pasaran.
Hal ini penting sekali menurut saya, ihwal jika produktivitas hasil pertanian tidak didukung oleh harga jual produk pertanian maka, jurang kesenjangan dan/atau kemiskinan itu akan semakin lebar. Selebihnya, agar mendukung daya beli masyarakat, khusus petani, tentu saja.
Konkretnya, program-program pertanian yang di NTT harus mendapat dukungan dari semua sektor-sektor terkait. Sudah saatnya pemerintah lebih serius memperhatikan petani. Petani jangan lagi dijadikan objek pembangunan.
Saya juga mengharapkan agar perencanaan pembangunan ke depan semestinya mengakomodasi konsep pemberdayaan dan partisipasi petani sebagai subjek pembangunan. Dengan begitu, niscaya masa depan para petani NTT akan lebih sejahtera.
Semoga bermanfaat.
*Tulisan saya ini merupakan tulisan lama dan pernah dimuat di media online lokal dengan judul yang berbeda(Link). Saya sengaja mempublikasikannya kembali, dengan berpedoman pada sumber data-data terbaru, tentu saja*
Bacaan: Data BPS per Maret 2020 (Kompas.com)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H