Di penghujung 2019 kemarin, listrik sudah masuk ke desa kami. Semua penduduk desa menyambutnya dengan penuh sukacita.
“Dee mori.. senang keta nai’k (Tuhan, betapa senangnya hati kami)” batin mama-mama di desa begitu melihat para pegawai PLN sesibuk semut menancapkan tiang listrik dan menjalari kabel ke setiap rumah-rumah penduduk.
Cahaya listrik menerangi desa kami adalah mimpi para leluhur, orangtua dan kami sejak dahulu yang kini sudah terwujud. Ya, meski melalui penantian yang cukup panjang.
Listrik masuk desa adalah sebuah anugerah penghiburan atas jiwa-jiwa yang selama ini hidup dalam kepasrahan dan kehilangan harapan. Betapa tidak, hampir seabad sudah bangsa kita merdeka, tapi untuk persoalan listrik saja kami masih belum merdeka (baca: susah).
Tetapi ya, begitulah mungkin yang dinamakan pembangunan. Tidak gampang memang mengurus bangsa yang sangat besar ini.
***
Bila menghela narasi sebelum listrik masuk ke desa, penduduk di desa saya masih mengandalkan generator, mesin Kubota, lampu sehen dan piring tenaga surya untuk penerangan di malam hari.
Di desa saya, misalnya, begitu matahari sudah ditelan telaga, bunyi generator dan mesin Kubota seperti paduan suara orchestra. Lumayan ribut dan memecahkan kesunyian di malam hari.
Meski demikian, tidak semua kepala keluarga memiliki alat penerangan semacam itu. Hanya orang tertentu saja. Kalaupun mengandalkan arus piring tenaga surya, ya, cukup untuk menerangi 2--3 lampu saja. Sementara untuk ngecas Hp, komputer dan lain sebagainya tidak bisa lagi.
Terkhusus untuk mesin Kubota yang berbahan bakar solar di rumah kami, karena dinamo dan kekuatan arusnya besar, mampu mengaliri (membagi arus) ke rumah-rumah tetangga disekitar.