Mohon tunggu...
Guıɖo Arısso
Guıɖo Arısso Mohon Tunggu... Insinyur - ᗰᗩᖇᕼᗩEᑎ

ᗰᗩᖇᕼᗩEᑎ

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

"Cogito Ergo Sum": Refleksi Singkat Atas Tulisan Romo Gregorius Nyaming

14 September 2020   03:22 Diperbarui: 14 September 2020   20:02 382
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi berpikir (Diolah pribadi)

Pada tulisannya yang berjudul "Kita Hidup, Harusnya Menjadi Manusia bagi Sesama, Bukan Menjadi Tuhan: Sejenak Berfilsafat" (K, 3/09/2020), Romo Greg (begitu saya memanggilnya) sempat menyenggol soal kalimat "Cogito Ergo Sum" pada bagian penutup tulisannya.

Filsuf Renė Descrates pernah berkata: "Saya berpikir, maka saya ada"..(cogito ergo sum). Karena dengan berpikir saja tidak cukup bagi kita untuk bereksistensi, maka kita harus menambahkan: "Saya mencinta, maka saya ada". Begitu kata Romo Greg.

Secara keseluruhan, tulisan Romo Greg itu sarat reflektif. Beliau mengajak kepada segenap insyan untuk menjadi pribadi yang peduli. Atau dalam istilah lain, menjadi manusia yang bermanfaat bagi manusia lainya.

Picu yang melatuk saya menelurkan tulisan ini tak lain karena saya tertantang untuk mendiskursuskan ucapan 'Cogito Ergo Sum' ala Descrates ini. Sembari bersemangat untuk merefleksikan makna yang terkandung didalam ucapan itu.

Yang walaupun gaya filsafat Descrates tidak banyak yang saya tahu. Maka dengan segala keterbatasan pengetahuan, saya coba mengikis ketidaktahuan itu dengan membuat refleksi singkat ini. 

Pada tulisan ini pula saya akan memadukan sedikit pandangan Gottfried Leibniz tentang cara pandang (baca: pikiran) manusia dalam memandang keberadaan sesama ciptaanNya.

***

Saya pribadi memaknai ungkapan "Cogito Ergo Sum" untuk menjelaskan keberadaan manusia yang ditentukan oleh kegiatan berpikir. Termasuk di dalamnya cara berpikir dan memandang sesuatu, sekalipun itu hal yang terkecil dan/atau sederhana, misalnya.

Dalam artian, hidup berarti berpikir dan berpikir untuk hidup. Mustahil bagi kita hidup tanpa berpikir, bukan? Untuk bisa bertahan hidup kita musti berpikir. Ya, entah itu mikirnya banyak atau sedikit, serius atau santuy, simpel atau rumit beserta pelbagai kompleksitasnya.

Penghargaan terhadap keberadaan manusia akan memberikan kebebasan untuk dapat mengeskpresikan hidup ini secara wajar adanya dan amat manusiawi dalam kegiatan berpikir, tentu saja.

Demikian halnya bila mendiskursuskan hasil karya seni seseorang yang adalah bukti adanya kreativitas berpikir yang bernilai tinggi. Dengan simplifikasinya, pekerja berpikir, penulis berpikir, petani berpikir dan pelukis berpikir. Singkatnya, yang hidup berpikir.

Dari pemikiran-pemikiran tersebutlah yang kemudian menciptakan warna-warni dari sebuah kehidupan yang sarat indah, menawan dan memukau jiwa. Dan dari kesemua keindahan itu, Tuhan-lah yang menjadi titik pusatnya.

Tuhan, yang oleh setiap pemeluk agama disebut dengan nama yang berbeda, adalah keindahan yang tak pernah tertandingi. Dia hadir ke dalam bentuk rupa; alam dan segala isinya, termasuk ke dalam diri saya dan Anda, tentu saja.

Lebih lanjut, bila mengutip pandangan filsuf Leibniz (dalam The monadology of Leibniz); Tuhan telah menunjukkan eksistensinya di dalam semua ciptaan, tak terkecuali ke dalam jasad-jasad organik. Ihwal, Tuhan telah menciptakan tempat tinggal kita ini (baca: bumi) sebagai dunia yang terbaik dari dunia lainnya.

Sehingga sudah menjadi kosekuensi logis bila kita saling menjaga, mencintai dan merawat sesama ciptaanNya. Selebihnya, tak lupa memanjatkan puji syukur kehadirat Sang Pencipta.

Ada begitu banyak cara kita untuk bersyukur, salah satunya dengan berekreasi ke pantai tanpa meninggalkan sampah plastik, misalnya. 

Atau salah duanya, berwisata ekologis (baca: ke kebun/hutan) tanpa merusak ekosistem hutan. Seperti tidak menebang dan membakar hutan sembarangan. Dan masih banyak contoh-contoh lainnya.

Singkatnya, ekspresikan diri dan pikiran dengan lingkungan dan alam sekitar tanpa punya orientasi merusak.

Demikian kiranya refleksi singkat menyoal "Cogito Ergo Sum" yang kalau ditik menggunakan kacamata seorang Leibnizan.(*)

Akhirul kata, salam hangat untuk Romo Greg, sumber inspirasi dalam tulisan ini.

Terima kasih pula untuk rekan-rekan sekalian yang menyempatkan diri untuk membaca. Tuhan memberkati.

__

Mampir juga ke artikel filsafat lainnya:

1. Menerka Keberadaan Tuhan Atas Air

2. Masyarakat Manggarai Sebagai "Manusia Bambu", dan Filsafat Leibniz

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun