"Panen berlimpah ruah, tetapi harga jual produk pertanian hancur"
Hampir dua triwulan terakhir, selama masa pandemi Covid-19, saya selalu menjumpai berita yang berisikan keluhan dan tangisan para petani yang meratapi anjloknya harga jual produk pertanian mereka.
Sebagai contoh saja, misalnya, untuk harga jual cabai rawit sesekini mengalami penurunan yang amat signifikan. Yakni, dari harga yang semulanya Rp 20.000 per kg, kini turun ke Rp 7.000 per kg.
Belum lagi, misalnya, bila kita menyoal sejumlah komoditas pertanian lain yang harganya ikut kisut.
Meski demikian, di tengah pandemi ini, sektor pertanian justru menorehkan tren positif. Yang ditandai juga dengan adanya pertumbuhan sebesar 16,4 persen. Disinyalir, pertumbuhan ini masih setali tiga uang dengan tingginya ketergantungan masyarakat pada produk-produk pertanian.
Badan Pusat Statistik (BPS) juga mencatatkan hal serupa. Di mana sepanjang bulan April-Juni 2020, kinerja sektor pertanian tumbuh 2,19 persen secara tahunan (year on year/yoy).
Meski dari sajian data-data di atas menorehkan tren positif, namun tidak demikian bila kita bandingkan dengan harga jual produk pertanian yang trennya buruk.
Sebab bagi petani, angka-angka di atas kertas tidaklah terlalu penting untuk di ulik. Yang menjadi proporsi penting adalah, bagaimana usaha pemangku kepentingan dan/atau kiat para punggawa negara dalam membantu petani kaitannya dengan perbaikan harga. Itu saja.
Dengan begitu, sebagai petani saya mengharapkan pemerintah melalui Kementerian Pertanian mengambil langkah-langkah konkrit sebagai upaya menyelamatkan ekonomi petani di tengah pandemi, antara lain:
Pertama, pemerintah perlu membantu petani dalam mendistribusikan produk pertanian.