Mohon tunggu...
Guıɖo Arısso
Guıɖo Arısso Mohon Tunggu... Insinyur - ᗰᗩᖇᕼᗩEᑎ

ᗰᗩᖇᕼᗩEᑎ

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Diskursus Seputar Era Digitalisasi dan Anak-anak

7 September 2020   23:36 Diperbarui: 8 September 2020   03:30 432
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Anak bermain tablet (Sumber: setaat.com)

Kata digital berasal dari bahasa Latin, Digitus yang berarti jari. Menurut kamus bahasa Latin, Digitus selain berati jari, adalah jari kaki, sejari lebarnya, se dim (18 mm). Jari itu adalah pars prototo dari tangan, seperti ekor adalah pars prototo dari komodo, misalnya.

Kita menyebutkan sebagian untuk keseluruhan. Fungsi jari tangan untuk mengutik guitar, biola, juk, gambus, kecapi, atau mengangkat sesuatu barang menggunakan kumpulan jari-jari tangan.

Fungsi jari ternyata tidak sebatas itu, tentu saja. Misalkan, zaman kita sekarang ini disebut juga era digital dan/atau zaman bermain jari -- era digital. Peralatan teknologi dalam dunia kerja dan komunikasi seringkali harus menggunakan jari tangan.

Seperti yang kita lakukan pada handphone (HP), komputer, laptop yang ukurannya kecil dan mudah dipegang.

Ajaib memang, hanya dengan sedikit sentuhan jari pada tuts dan/atau layar seolah-olah terbukalah dunia ini. Segalanya menjadi serba terbuka untuk diakses sehingga mudah diketahui, mudah dipelajari, mudah juga untuk mendapatkan informasi dari belahan dunia lain.

***

Diskursus era digital ini pula telah merambah multi usia. Lebih tepatnya, baik orangtua hingga anak kecil, tanpa terkecuali. Dan saya yakin banyak orang orang di luar sana yang pernah punya pengalaman seperti yang saya alami berikut ini.

Beberapa waktu lalu, ketika saya hendak bertamu dan memasuki rumah paman di kota, di halaman depan rumahnya berkumpul beberapa anak kecil usia sekolah dasar (SD). Mereka itu tak lain adalah anak sang paman dan beberapa di antaranya anak tetangga sekitar.

Masing-masing dari mereka memegang HP. Entahkah sedang bermain game atau apalah. Terlihat jari-jari tangan mereka bergerak begitu cepat pada layar HP.

"Selamat sore adik-adik", saya menyalami mereka. Tak seorang pun dari mereka yang merespon salam saya. 

Saya kemudian mengubah sapaan saya menggunakan dialeg Manggarai. Namun kali ini dengan nada suara yang agak meninggi, "Tabe mane anak koe-koe," yang kedengaran aneh di telinga mereka tetapi sekadar mengalihkan perhatian mereka kepada saya sebagai seseorang yang sedang menyapa dan berbicara dengan mereka.

Ilustrasi anak-anak bermain ponsel (Shutterstock)
Ilustrasi anak-anak bermain ponsel (Shutterstock)
Serempak mereka mengangkat kepala, melirik sejenak lalu menunduk lagi tanpa membuka mulutnya dan terkesan merasa sangat terganggu dengan sapaan dan kehadiran saya.

Tiba-tiba saja secara serempak mereka semua menggerutu, "Ah, loading lagi, loading lagi." Saya tertegun sesaat, seolah merasa tertinggal sewaktu saya seumuran mereka. "Dasar bocah zaman now", saya membatin penuh pengertian.

Selain itu, ketika saya menanyakan, "Pande apa meu?.. (Kalian sedang berbuat apa?)", semua anak serempak menjawab, "Toe manga pande.. (Tidak ada). Jawaban mereka begitu singkat. Mungkin supaya urusan cepat selesai.

Padahal jelas-jelas mereka sedang melakukan sesuatu, yakni bermain HP. Tetapi jawaban mereka seolah-olah tidak ada kesibukan atau pekerjaan yang sedang dilakukan. 

Hal positifnya bahwa, mereka sudah bisa merespon seperti yang diajarkan oleh orangtuanya. Yang berarti pula mereka sudah bisa menerima kehadiran orang lain di dekatnya.

Dengan pengalaman kecil itu, saya sungguh memahami bahwa mereka terlahir dalam sebuah dunia yang sangat berbeda dengan duniaku. Mereka terlahir pada zaman digital -- era bermain jari. Kecepatan jari pada layar HP berarti sebagian besar dunia sudah ada dalam genggamannya.

Dalam pengertian bahwa, mereka sudah bisa mengetahui bentuk dunia ini beserta seluruh isinya. Karena itu mudah saja bagi mereka menjelajahi dunia ini dan bahkan sudah bisa menguasai dunia ini dalam waktu yang relatif singkat.

Dengan sebegitu mudahnya semua informasi dapat diakses, mereka lebih mengandalkan HP yang ada di tangannya dari pada manusia lain yang berada di dekatnya.

***

Maka teringatlah saya akan permainanku pada zaman dulu yang bila disebutkan dengan nama: era bermain biji kemiri pada sebuah tempurung kelapa, era rangkuk alu, era kelereng, era karet, era bermain tali merdeka, era gasing, era bermain batu-batu kecil pada tanah yang sudah dilubangkan, dan era bermain bola kasti.

Ilustrasi beberapa orang anak kecil bermain rangkuk alu, permainan tradisional Manggarai (gambar: Istimewa, via Jawapos.com)
Ilustrasi beberapa orang anak kecil bermain rangkuk alu, permainan tradisional Manggarai (gambar: Istimewa, via Jawapos.com)

Permainan pada era itu selalu membutuhkan kehadiran orang lain dengan jumlah tertentu. Karena itu, kami selalu saling mengajak untuk bermain bersama lalu berhenti ketika kami sudah merasa lelah atau sudah berakhirnya permainan itu.

Saat bermain, terasa sungguh mengasyikkan karena ada suara sorak-sorai, tertawa ramai yang dipoles dengan ekspresi hati penuh gembira dan bersemangat. Ekspresi itu terlahir dari dalam, meluap dari hati, tercipta karena lingkungan di sekitarnya.

Sering kali juga kami bisa adu mulut, dan sesekali baku pukul, karena tidak mudah juga menerima kerugian karet atau biji kemiri; atau kalah karena putaran gasingnya tidak sesempurna dan tidak terlalu lama sesuai kesepakatan.

Kecewa dan rasa tak puas terasa betul tetapi selalu punya optimisme masih ada kesempatan pada hari besok.

Alat-alat permainanku terasa lucu untuk saat ini bila dibandingkan dengan alat permainan mereka yang serba digital. 

Ternyata semua terlahir dalam sebuah zaman tertentu dan telah dibentuk seturut zaman tersebut. Yang telah lewat selalu berandil untuk menciptakan permainan baru dengan peralatan modern untuk bisa memunculkan era baru.

***

Pendek kata bahwa, ada hal yang menarik di tengah hiruk pikuk dan gebiarnya era digital ini. Di mana orangtua tetap punya peranan dan selalu punya akal brilian dalam mengarahkan anak-anaknya ke arah yang baik.

Pada dasarnya tidak ada salahnya ketika orangtua membiarkan anaknya bermain gadget dan/atau handphone pada waktu tertentu. Bahkan misalnya, sekalipun mereka sedang bermain game yang sesuai dengan usia mereka. Karena secara tidak langsung dapat meningkatkan daya kongnitif mereka.

Proporsi pentingnya ialah orangtua wajib membatasi jam main mereka. Agar supaya mereka tidak kecanduan game. Dan tentu saja jangan sampai mereka kehilangan kemampuan berinteraksi dengan manusia lain, atau malah melupakan aktivitas fisik (jarang gerak) karena terlanjur demam game.(*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun