Di kota Labuan Bajo, Manggarai Barat, misalnya, kebanyakan para sopir bemo ini adalah anak-anak muda. Selain muda, mereka juga punya jiwa seni yang tinggi. Itu terlihat dari penampakan bemo yang telah mereka modifikasi dengan baik.
Ada sebuah kebiasaan, setiba sore hari bemo-bemo ini sengaja di parkir berjejeran di sepanjang bibir pantai. Ihwal, bila menjelang malam sejumlah sopir bemo dalam kota Labuan ini nggak narik penumpang lagi.
Sambil menikmati matahari tenggelam, dentuman bass musik R&B seakan menambah hangatnya susana senja. Belum lagi, jika ditemani sebotol tuak. Aduh mama sayang e sedapnya bukan kepalang ow!.
Ketiga, bemo-bemo di Flores juga sangat memperhatikan soal kebersihan. Siapa sih yang nggak mau naik bemo bagus dan nyaman untuk ditumpangi? Nah, berkesadaran pada hal itu, sejumlah sopir bemo di Flores sangat menomorsatukan kebersihan. Tentu saja, ini menjadi daya pikat tersendiri bagi penumpang.
Apalagi sekarang ini banyak wisatawan dari luar negeri yang menyambang ke Labuan Bajo (baca: pintu masuk utama ke Pulau Flores). Di mana sehari-harinya mereka juga menggunakan jasa bemo untuk pergi ke suatu tempat.
Jadi, kebersihan dalam hal ini amatlah penting dan tidak boleh dipandang sepele.
Keempat, nama-nama bemo di Flores amat variatif. Ada yang namanya comot dari judul lagu, marga keluarga, istilah gaul, dan lain sebagainya. Hal ini sangat berbeda dengan nama-nama angkot yang saya temui di Malang, Jawa Timur, maupun di Jogja yang nama dan warnanya hampir mirip.
Ya, begitulah. Setiap daerah mempunyai keunikan masing-masing.
Kelima, interior bemo yang unik. Selain bunyi musik yang menggelegar, tak kuranya bemo di Flores juga dipercantik dengan sejumlah interior yang dipajang pada kaca hingga dashboard mobil.