Mohon tunggu...
Guıɖo Arısso
Guıɖo Arısso Mohon Tunggu... Insinyur - ᗰᗩᖇᕼᗩEᑎ

ᗰᗩᖇᕼᗩEᑎ

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Beberapa Kompasianer Mengeluhkan Kisutnya Harga Cengkeh

10 Agustus 2020   16:58 Diperbarui: 11 Agustus 2020   05:10 354
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi cengkeh kering (Gambar: Kompasianer/Ibu Fatmi Sunarya)

Memasuki pertengahan tahun 2020 ini, harga komoditas cengkeh di tingkat petani masih anjlok. Hal inilah yang membuat segelintir Kompasianer yang notabene mempunyai usaha tani cengkeh sedikit gusar, tentu saja.

Selain saya sendiri, ada dua Kompasianer asal Sumatera, Ibu Fatmi Sunarya dan Nenek Nursini Rais, yang masing-masing dalam artikelnya mendaraskan keprihatinan atas kisutnya harga cengkeh saat ini.

Bagaimana tidak, salah satu komoditas unggulan yang punya julukan Emas Coklat itu sekini harganya tak lagi memberikan nafas segar. Di mana harga jual cengkeh kering Rp 50.000 hingga Rp 60.000 per kg. Sementara cengkeh basah Rp 18.000 hingga 20.000 per kg.

Tak aneh bila dalam artikelnya "Kala Musim Cengkeh Tiba" (K. 10/08/2020), Ibu Fatmi menyebutkan, harga jual cengkeh kering maupun basah di tempatnya selalu saja anjlok berkenaan dengan memasuki musim panen.

Tak dipungkiri memang, fenomena ini terjadi secara simultan dengan reksa wilayah lain di Tanah Air. Tak terkecuali di tempat saya, Manggarai Barat, misalnya.

Meskipun demikian, saya bangga kepada beliau lantaran tetap memutuskan untuk memetik bunga cengkeh walau harga jualnya terjungkal. Dalam hal ini, militansi Ibu Fatmi dalam usaha tani cengkeh tidak perlu diragukan lagi.

"Saya kecantol dengan wangi cengkeh yang menampar hidung" Kata Ibu Fatmi

Begitu juga dengan Nenek Nursini Rais yang tinggal nun jauh di tepi Sungai Kerinci sana. Dari artikelnya "Terbukti, Aroma Cengkeh Tak Sewangi Buah Alpukat" (K, 9/07/2020) itu, saya menangkap perasaan kesal Nenek Nursini kaitanya dengan harga cengkeh.

Lantaran, harga cengkeh dipasaran saat ini tidak ekuilibrium dan/atau setara dengan usaha beliau hingga pohon cengkeh dikebunya berbuah lebat.

"Buah cengkeh berjibun, tapi harganya kecil" pungkas Nenek Nursini dalam artikelnya

Saya juga melihat, ungkapan beliau "wangi cengkeh tak sewangi buah alpukat" adalah sebuah ungkapan kekecewaan sekaligus meyangsikan harga cengkeh yang tak kunjung membaik.

Selebihnya, saya sepakat dengan Ibu Fatmi dan Nenek Nursini untuk sementara ini menyimpan hasil panen sembari menunggu harga jual yang baik.

Menyortir cengkeh. Adalah aktivitas memisahkan bunga cengkeh dari gagangnya (Gambar Kompasianer/Nenek Nursini Rais)
Menyortir cengkeh. Adalah aktivitas memisahkan bunga cengkeh dari gagangnya (Gambar Kompasianer/Nenek Nursini Rais)

Menaksir Harga Cengkeh

Memasuki awal tahun hingga pertengahan tahun 2020 ini, harga cengkeh sedemikian terjun bebas. Berbeda dengan tahun 2019 kemarin yang harganya masih bersahabat. Yakni, produk kering di angka Rp 93.000 per kg dan basah Rp 40.000 per kg.

Lebih daripada itu, bila menaksir penyebab di balik terjungkalnya harga cengkeh tahun ini, kurang lebih disebabkan oleh beberapa lasan berikut;

Pertama, karena ulah pandemi Covid-19 yang membatasi mobilitas barang dan jasa. 

Kedua, karena perusahaan rokok dalam negeri sedang membatasi produksinya. Tentu saja situasi ini berdampak pada petani cengkeh, mengingat hampir 93% hasil cengkeh dari petani lokal di serap untuk memenuhi kebutuhan perusahaan rokok dalam negeri.

Dan ketiga, karena struktur pasar yang tidak adil. Lebih tepatnya, karena politik dunia usaha kapitalis yang kurang fair. Di sinilah pentingnya negara hadir. Tentu dengan menggunakan instrumen kekuasaannya untuk ikut mengawasi harga cengkeh dipasaran.

Atau dengan kata lain, negara menjadi mediator antar petani dan pengusaha. Sehingga petani tidak melulu menjadi pihak yg dirugikan.

Pendek kata, sebagai petani cengkeh, tentunya saya menaruh harapan yang tinggi bahwasannya, beberapa bulan ke depan harga jual cengkeh kembali membaik. Dengan demikian, nadi ekonomi kembali berdenyut di kalangan petani cengkeh Tanah Air.

Semoga saja. Salam cengkeh!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun