Saya juga melihat, ungkapan beliau "wangi cengkeh tak sewangi buah alpukat" adalah sebuah ungkapan kekecewaan sekaligus meyangsikan harga cengkeh yang tak kunjung membaik.
Selebihnya, saya sepakat dengan Ibu Fatmi dan Nenek Nursini untuk sementara ini menyimpan hasil panen sembari menunggu harga jual yang baik.
Menaksir Harga Cengkeh
Memasuki awal tahun hingga pertengahan tahun 2020 ini, harga cengkeh sedemikian terjun bebas. Berbeda dengan tahun 2019 kemarin yang harganya masih bersahabat. Yakni, produk kering di angka Rp 93.000 per kg dan basah Rp 40.000 per kg.
Lebih daripada itu, bila menaksir penyebab di balik terjungkalnya harga cengkeh tahun ini, kurang lebih disebabkan oleh beberapa lasan berikut;
Pertama, karena ulah pandemi Covid-19 yang membatasi mobilitas barang dan jasa.
Kedua, karena perusahaan rokok dalam negeri sedang membatasi produksinya. Tentu saja situasi ini berdampak pada petani cengkeh, mengingat hampir 93% hasil cengkeh dari petani lokal di serap untuk memenuhi kebutuhan perusahaan rokok dalam negeri.
Dan ketiga, karena struktur pasar yang tidak adil. Lebih tepatnya, karena politik dunia usaha kapitalis yang kurang fair. Di sinilah pentingnya negara hadir. Tentu dengan menggunakan instrumen kekuasaannya untuk ikut mengawasi harga cengkeh dipasaran.
Atau dengan kata lain, negara menjadi mediator antar petani dan pengusaha. Sehingga petani tidak melulu menjadi pihak yg dirugikan.
Pendek kata, sebagai petani cengkeh, tentunya saya menaruh harapan yang tinggi bahwasannya, beberapa bulan ke depan harga jual cengkeh kembali membaik. Dengan demikian, nadi ekonomi kembali berdenyut di kalangan petani cengkeh Tanah Air.
Semoga saja. Salam cengkeh!