Sebelumnya, perlu saya luruskan di sini bahwa frasa 'Jancuk' pada judul tulisan ini sama sekali bukan bermakna umpatan dan/atau makian.
Melainkan, 'Jancuk' sebagai gabungan dari kata 'Jagung, Cengkeh dan Kopi'. Hal ini perlu digarisbawahi untuk menghindari spekulasi liar orang-orang terhadap judul tulisan ini.
Dengan begitu, bila Anda berniat membaca tulisan ini hingga tuntas, usahakan jangan terkecoh dengan tafsiran harafiah kata Jancuk. Kira-kira begitu ya.
***
Akhir-akhir ini di atas meja makan keluarga kami, selalu tersedia aneka makanan dan minuman siap saji berupa jagung, cengkeh dan kopi. Selain ada nasi dan sayur, tentu saja.
Terkhusus untuk biji cengkeh kering, sengaja dicampuradukan kedalam cairan kopi guna menambah citra rasanya. Suatu sisi, menambah kehangatan pada setiap tegukan.
Hal ini sering kami lakukan pascapanen cengkeh seperti sekarang ini.
Tentunya pula kebiasaan ini tak terlepas dari khasiat cengkeh yang mandraguna. Seperti meningkatkan kekebalan tubuh, menguatkan tulang, menjaga kesehatan sistem pencernaan, mencegah rambut rontok dan masih banyak lagi.
"Jancuk", jadikan hari lebih bergairah
Perpaduan antar jagung, cengkeh dan kopi (Jancuk), pada dasarnya adalah satu paket komplit. Bahkan sudah menjelma seperti opium depandance jenis baru (baca: senyawa yang membuat ketagihan) bagi saya pribadi.
Saya katakan 'jenis baru', ihwal hobi saya sekarang telah memasuki babak baru dari sebelumnya yang hanya ngopi plus ngudud batang rokok.
Bahkan sekarang hobi ngopi bercampur cengkeh (plus menguyah jagung) ini sudah menyasar sebagian anak-anak muda di desa saya. Hobi baru ini juga boleh dibilang lagi ngetrand pada kalangan multiusia tatkala berkenaan dengan momen pascapanen cengkeh dan jagung.
Hingga eskalasinya sudah merambah ke media sosial. Entah, sudah jadi ajang ngejulid dan gagah-gagahan. Tak lupa pula hastag #Jancuk di setiap unggahannya. Dasar anak muda!
Lebih lanjut, seketika saya mencebur diri kedalam kubangan hobi baru ini, tak terbantahkan, hari-hari yang saya lalui terasa amat bergairah. Lebih tepatnya, bergairah di tengah gindikan beban kerja seputar aktivitas perkebunan yang cukup melelahkan itu.
Tanpa segan saya juga bisa katakan “saya merasa lebih hidup dengan Jancuk”.
Dalam artian Jancuk di sini adalah bahasa penyemangat, bahasa ide. Dengan demikian etos kerja terus dipacu dengan hati tentram, tentu saja.
****
Adalah sangat ideal bila mengopi bercampur cengkeh dengan mengunyah jagung. Ada rasa nikmat tersendiri. Barangkali ada sebagian dari pembaca yang sudah merasakannya. Atau bagi yang belum, ya, suatu waktu silakan saja dicoba dan rasakan sendiri. He he
Bagi saya, kenikmatan yang kita dapat dari usaha sendiri adalah bentuk dari bakat dan/atau hobi yang orisinal. Pun ada hubungannya dengan beban ketegangan yang membuat seseorang (saya khususnya) betul-betul sadar bahwa hidup ini adalah persemaian keindahan yang penuh optimisme.
Di luar sana banyak orang berbicara tentang akal sehat sebagai bentuk kesadaran untuk menghadapi dunia yang penuh dengan kontradiksi ini. akal yang sehat adalah akal yang menghadapi kontradiksi antar logika rasional dan hati nurani.
Menurut saya begitu. Atau bagaimana menurutmu, teman?
Demikian candela Jagung, Cengkeh dan Kopi di siang suntuk ini. Salam Jancuk!
Ditulis dari Kebun, 6 Agustus 2020*
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H