Mohon tunggu...
Guıɖo Arısso
Guıɖo Arısso Mohon Tunggu... Insinyur - ᗰᗩᖇᕼᗩEᑎ

ᗰᗩᖇᕼᗩEᑎ

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Kenapa Menjelang Pilkada Baru Akrab dengan Masyarakat Sih, Pak?

29 Juli 2020   00:19 Diperbarui: 30 Juli 2020   13:04 1056
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menjelang pilkada serentak 9 Desember 2020 ini, entah kenapa saya suka ngakak sendiri bila melihat gelagat para paslon bupati-wabup yang mendadak dekat dengan rakyat. 

Karena sesungguhnya fenomena seperti ini hanya bisa kita jumpai sekali dalam lima tahun. Tak ajeg memang, lantaran tunggu ada maunya dulu baru blusukan ke kampung-kampung.

Lazimnya pula, disepanjang perjalanan masuk kampung, iringan mobil para paslon ini sengaja diperlambat, tangannya menjulur keluar, melambai, dan sesekali menjabat tangan rakyat yang berdiri di bahu jalan.

Jika diperhatikan, mereka ini tak kurang senyum dan ramah, tentu saja. Bahkan kadang kala sedikit menduduk seketika bersalaman dengan rakyat. Seolah-olah memberi hormat kepada orang kampung.

Setiap kalimat yang keluar dari mulutnya persis sang pujangga yang berusaha menawan hati sang kekasih;

"Jadi begini, bapak ibu sekalian. Kami ini sudah mendapat wahyu dari langit. Menerima mandat langsung dari Tuhan. Kami memang bukan nabi, melainkan orang kecil, sama seperti bapak ibu. Tupoksi kami jika kelak terpilih, hanya satu, yakni melayani bapak ibu dengan sekuat tenaga. Jadi, pilihlah kami. Coblos No 7. Pokoknya yang ada gambar komodo lapar dibelakangnya!"

Kurang lebih, begitulah kalimat mereka yang mengalun sendu dan merasuk sukma pemilih. Belum lagi, disela-sela kalimat pidatonya itu menukil mentah-mentah perikop dalam kitab suci. Wadaw, masyarakat pasti langsung lemes seketika. Persisnya baru selesai masturbasi.

"Wah, ini nih calon pemimpin yang kita cari selama ini. Mantul pokoknya" suara hati pemilih berdecak kagum

Saya pribadi sih tidak terlalu mempersoalkan itu. Ihwal, secara metafisis rakyat sebagai pemilih mengharapkan yang terbaik. Secara etis, pemilih bisa membedakan mana figur yang layak dan tidak. 

Selebihnya, sebagai warga negara yang punya hak memilih dan dipilih, tentunya nurani kita sendiri yang menentukan sikap politik kita. Mau pilih siapa ya terserah, selama tanpa adanya paksaan dari pihak manapun.

Lebih lanjut, jika belajar pada pengalaman yang sudah-sudah, banyak janji-janji politik para paslon seketika kampanye yang hampir semuanya bullshit dan hanya polesan gincu semata. 

Karena hingga dipenghujung masa jabatan 2020 ini, banyak janji/program yang belum dikonkritasikan. Entah, mungkin sudah dilupakan. Atau malah bakal dijadikan komoditas jualan pada kampanye pilkada Desember mendatang. Entahlah.

Adalah sebuah fakta bila sudah terpilih, janji itu seperti bunyi kentut yang berlalu begitu saja. Belum lagi untuk sekadar 'say hallo' dengan rakyat, sudah jual mahal.

Kendati, fenomena politik seperti ini memang sudah biasalah terjadi di negeri ini ya. Nggak bikin kita kaget lagi pastinya.

****

Saya punya pengalaman menarik belum lama ini. Ya, kurang lebih seminggu yang lalu tepatnya. Persis ketika tengah hari, saat kami turun dari atas pohon cengkeh untuk beristirahat makan siang.

Tetiba saja beberapa orang datang menyambangi kami. Kebetulan kebun cengkeh saya letaknya persis didekat jalan raya.

Dari jauh saya sudah bisa menebak, oh, rupanya mereka itu tim sukses si pak nganu, salah satu kandidat kuat yang bakal ikut dalam kontestasi pilkada di Kabupaten saya.

Oke, saya menyambut mereka dengan baik. Saking ramahnya juga, saya mengajak mereka makan bareng. Untung saja mereka menolak. Entah, mungkin mereka tahu kalau saya sekadar basa-basi saja. Kendati ukuran nasinya nggak cukup. Wkwkwk

Mereka itu kebetulan teman saya juga. Ya, malah sering jumpa setiap hari. Wong ada yang tinggalnya sedesa kok.

Pendek kata, mereka bercerita banyak tentang bosnya. Apa visi-misi, prestasi, dan sebagainya. Sebagai orang awam, kami manggut-manggut saja. Yah, begitulah biar kesannya baik.

Mungkin mereka tahu bahwasannya kami sedang bekerja dan diburu waktu, akhirnya mereka pamit pulang. Tapi sebelum itu, mereka memberi kami 2 bungkus rokok. Entah, mungkin sebagai kompensasi atas waktu kami yang terbuang untuk mendengar coletahan mereka itu. Hahaha

Tapi ya, asyiknya politik memang begitu sudah. Terlepas dari subjek hasrat dan kehendak berkuasa dibaliknya, tentu saja.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun