(1)
Bila mendiskursuskan kehidupan sosial masyarakat Manggarai jaman dulu, ada satu hal yang cukup menarik kaitannya dengan penentuan kriteria jodoh pada anak.
Lebih tepatnya, para orang tua dikampung selalu menyarankan anak laki-lakinya supaya kelak menikahi gadis yang memiliki keunggulan fisik tertentu, seperti; memiliki betis yang besar dan punggungnya lebar. Persoalan cantik atau tidak, itu nomor kesekian.
Konon, hal ini dipercayai, perempuan dengan ciri seperti itu punya etos kerja yang tinggi dan kuat (baca: tipe manusia askenden). Iya juga sih, kalau dilihat dari postur badan.
Lha, terus bagaimana nasib gadis yang betisnya kecil dan punggungnya pendek? Apakah tidak ada laki-laki yang datang melamar mereka? Yah, kurang tahu saya. Saya kan nggak hidup pada jaman itu bapak ibu sekalian. Heu heu heu
Tapi yang pasti ada dong yang melamar. Perlu digarisbawahi di sini ialah, bukan ciri fisik yang dijadikan patokan utama dalam penentuan jodoh. Utamanya adalah dia bisa membantu pekerjaan rumah tangga atau tidak.
Singkatnya, begitu kira-kira bahasa dalam hipotesis dan/atau proposisi para orang tua di Manggarai jaman dulu dalam melihat etos kerja perempuan yang baik untuk diperistrikan.
(2)
Lebih lanjut, urgensi penentuan jodoh seperti ini berangkat dari refleksi sosiologis yang kontekstual di tengah masyarakat diaspora Manggarai semasa itu.
Dimana, apapun dilihat (gaze of diasporas) selalu diukur dari tempat ia berpijak. Karena semasa itu hampir semua rumah tangga keluarga di Manggarai berprofesi sebagai petani. Baik itu petani kebun, sawah dan peternak. Tidak ada profesi lain diluar itu.
Sehingga bisa disimpulkan juga, libidal penentuan jodoh pada anak itu tak terlepas dari subjek ekonomi. Selain subjek hasrat, tentu saja.