Mohon tunggu...
Guıɖo Arısso
Guıɖo Arısso Mohon Tunggu... Insinyur - ᗰᗩᖇᕼᗩEᑎ

ᗰᗩᖇᕼᗩEᑎ

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Pembangunan IKN Harus Mengakomodir Hak-hak Masyarakat Adat Setempat

13 Maret 2020   05:43 Diperbarui: 14 Maret 2020   18:36 400
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kawasan Sotek, Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, dilihat dari udara. (HO) |gambar: Tribunnews.com

Setiap tahun kita akan memperingati Hari Hak Masyarakat Adat Nasional yang dirayakan setiap tanggal 13 Maret. Terkait perayaan itu, sulit rasanya melupakan keprihatinan akan Masyarakat Adat yang menggema saat ini ditanah air.

Dalam banyak hal mereka masih dipandang sebelah mata. Sebut saja misalnya, lahan mereka yang dirampas korporasi untuk perkebunan sawit, pertambangan, eksploitasi sumber daya alam secara besar-besaran tanpa menerapkan prinsip ekoevisiensi.

Bahkan ada masyarakat adat yang diusir dari tempat tinggalnya. Hingga identitas kultural mereka kurang mendapat pengakuan dan perlindungan dari Negara.

Contoh kasus misalnya penolakan masyarakat adat Wae Sano terhadap proyek eksplorasi geothermal yang dijalankan oleh PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI) di desanya, Kecamatan Sano Nggoang, Kabupaten Manggarai Barat (Mabar).

Mereka beralasan, pengeboran itu berada didalam ruang hidup mereka, sementara pemerintah tidak bisa menjamin pengeboran dan operasi geothermal tidak akan membahayakan hidup dan lingkungan mereka kedepannya.

Selain itu mereka menekankan potensi Wae Sano terkait pertanian, konservasi dan pariwisata alam yang harus dikembangkan oleh pemerintah daerah. 

Ketimbang mengoperasikan proyek geothermal yang dirasa mengancam kehidupan sosial, budaya, keagamaan, dan mata pencaharian masyarakat setempat.

Bahkan hingga kini ujung pohon kasus ini masih belum jelas. Pemerintah daerah juga enggan memberi tanggapan seiring banyaknya protes dari masyarakat Wae Sano.

Hemat saya, masyarakat adat Wae Sano telah menghidupkan dan menjunjung tinggi semangat humanisme ekologis. Humanisme ekologis menawarkan alternatif yang otentik kepada masyarakat industri dalam berelasi dengan alam.

Kemanusian yang ekologis dibangun dalam kesatuan yang yang harmonis dengan alam. Manusia bukanlah penakluk atau penjajah alam. Ia  bagian dari alam dan memiliki tanggungjawab merawat dan menjaga alam.

Kita tahu bahwa dewasa ini  banyak perilaku manusia yang banal dan terlalu serakah dalam mengeksploitasi sumber daya alam. 

Hal itulah yang nyata dialami oleh umumnya masyarakat adat yang masif terjadi di Kalimantan, Sumatera, Papua dan tempat-tempat lain direksa wilayah Indonesia.

Fakta lain juga menyuguhkan bahwa, Lembaga Adat Paser PPU menuntut pemerintah pusat agar kelak memperhatikan hak-hak masyarakat adat disana. 

Mengingat seiring rencana pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) ke Kabupaten PPU dan Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Utara, 

Seperti dilansir dari Kompas.com, secara umum tuntutan itu berisi 8 rekomendasi meliputi regulasi perlindungan terhadap lembaga adat, pemetaan wilayah adat, penyelesaian sengketa agraria, partisipasi masyarakat adat dalam ibu kota  negara, mengakomodasi kearifan lokal, dan bidang ketenagakerjaan.

Menurut Musa, Ketua Lembaga Adat Paser PPU, penetapan Kaltim sebagai ibu kota Negara merupakan kabar baik. Namun disisi lain juga merupakan kekhawatiran yang besar dari masyarakat adat itu sendiri. Mengingat ibu kota negara menjadi ancaman, juga tantangan atas eksistensi dan keberadaan Masyarakat Adat Paser.

Secara normatif, Pasal 18B Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan bahwa, negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan Masyarakat Hukum Adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Tetapi apakah Negara bisa menjamin UUD tersebut bisa melindungi hak-hak masyarakat adat, dalam hal ini masyarakat adat Paser?

Sebab selama ini ada kecendrungan bahwa, Hukum Negara yang diciptakan melahirkan ketidakadilan terhadap masyarakat hukum adat, seperti hilangnya tanah-tanah adat (ulayat) dalam kawasan hutan akibat UU Kehutanan, perampasan tanah ulayat melalui HGU dan seterusnya.

Ditegaskan juga oleh Musa bahwa, persoalan utama yang sering dihadapi oleh masyarakat adat Paser saat ini adalah konflik tenurial kehutanan dan wilayah adat yang tak kunjung ada penyelesaian.

Prinsip dasarnya bahwa, masyarakat adat Paser PPU tidak menginginkan kehilangan ornamen dan identitas suku daerah sebagai pemangku adat diwilayah itu.

Terlepas dari itu, humanisme ekologis adalah satu pilar yang melekat dalam diri masyarakat adat, dimana pun itu. Belajar dari masyarakat adat tentang spiritualitas dalam berelasi dengan alam adalah hal yang layak kita lakukan dalam konteks kerusakan ekologi yang kian masif saat ini.

Hemat saya, bila ke-8 rekomendasi masyarakat adat Paser itu diakomodir oleh pemerintah, niscaya dengan begitu Masyarakat Adat Paser, Kalimantan Timur akan terlindungi karena mendapat pengakuan dan perlindungan dari pemerintah pusat hingga daerah.

Akhir kata selamat merayakan Hari Masyarakat Adat Nasional untuk kita semua. Semoga eksistensi beserta hak-hak masyarakat adat dilindungi dan terus membumi di negara kita. Salam

Bacaan: Satu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun