Ketika upacara Benso Rasi ini usai, sang pemilik kebun biasanya melakukan perundingan dengan si Tua Teno. Ini dilakukan untuk menentukan hari yang baik untuk memulai penanaman. Tapi sepengetahuan saya biasanya penanaman dilakukan sehari dan atau dua hari setelahnya.
Fakta lain juga menyuguhkan bahwa orang Manggarai berkeyakinan bila orang yang sudah meninggal, terkhusus nenek moyang dan orangtua mempunyai relasi intim dengan anak dan cucunya yang masih hidup di dunia.
Dalam acara Benso Rasi selain meminta berkat kepada Tuhan, arwah leluhur juga dimintai bantuan untuk menjadi penyambung lidah dari doa anak-anaknya.
Ada kepercayaan bila tanaman kita mati, mandul dan tidak berbuah sama sekali tentu juga disebabkan oleh arwah leluhur tidak diindahkan, dilupakan atau tidak dihiraukan. Karena itu mereka tersinggung, marah dan memberikan malapetaka atau ikut serta dalam kemarahan alam.
Arwah leluhur pada suatu sisi dianggap sebagai pihak yang dapat membantu dan menolong. Dia menjadi medium doa yang kita rapalkan. Mereka hidup di hadirat kehidupan.
Namun pada suatu pihak bisa menjadi pihak pemberi bencana, kesusahan yang tidak menyenangkan bila tidak dihormati dan dilangkahi keberadaannya.
Masyarakat Mangggarai hingga kini masih berpegang teguh pada kepercayaan-kepercayaan seperti ini. secara manusia memang tidak pernah bertemu langsung dengan Tuhan, namun orang Manggarai dapat menemukan Tuhan dalam diri orang tuanya.
Istilah ini lebih dikenal dalam go'et; Mori ata ita le mata (Tuhan yang kelihatan)
Upacara Benso Rasi juga merupakan simbol integral antara Tuhan dengan manusia, manusia dengan manusia dan manusia dengan alam. Sebuah prinsip dasar sebagai jalan keluar melalui penilikan atas relasi horizontal dan vertikal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H