"Jika engkau ingin pohon tetap berdiri, engkau seharusnya berdiri bersama pohon"
Menjai petani, tentu aktifitas setiap harinya tidak jauh dengan tanah dan pohon. Paling tidak dalam hal ini saya mencontohkan diri saya sendiri.
Sebagai petani yang jatuh cinta pada pemikiran Gottfried Leibniz, saya punya keyakinan teguh bahwa tumbuhan memiliki jiwa dan bisa merasakan sebagaimana mahluk ciptaanNya yang lain.
Sehingga berkesadaran pada hal itu, saya lebih menggarisbawahi sebuah prinsip dasar tentang keterkaitan yang integral antar kita sebagai mahluk hidup dan jagat ekosistem.
Baca juga : Mitologi "Manusia Bambu", dan Filsafat Leibniz
Bila kita mengulik Konfrensi Lingkungan Hidup dan Pembangunan yang berlangsung di Rio de Janeiro, 1992 memunculkan lagi sebuah kesadaran yang kuat tentang prinsip hidup integral dengan alam. Alam memiliki hukumnya sendiri untuk secara niscaya merawat semua yang hidup dalam sebuah gerak keseimbangan yang abadi. [WikipediA]
Hal ini saya pikir sangat relefan dengan pemikiran Gottfried Leibniz, yang dalam kajian-kajian dan terminologi filsafatnya bahwa sejak awal penciptaan Tuhan telah menciptakan segala sesuatu (monade-monade) untuk bergerak dan jalan beriringan (saling melengkapi) antar satu dengan yang lain.
Leibniz juga berpandangan bahwa, bumi tempat kita berpijak ini merupakan dunia ciptaan yang terbaik dari dunia yang lainnya. Sehingga sebagai sesama ciptaan sepatutnya kita harus saling menjaga.
Berdiri Bersama pohon
Sebagai penduduk lokal yang lahir dan besar dalam lingkungan adat (Manggarai), kami masih kental menghayati hidup lewat ungkapan Go'et dan Seloka yang diwariskan secara turun-temurun oleh nenek moyang agar menjaga alam dan ciptaanNya yang lain.
Yang diantaranya; "Neka Poka Puar, Jaga Meti Wae.(jangan menebang hutan sembarangan, biarkan air tetap mengalir), juga "Neka Tapa Satar, Jaga Kolang Tana Lino, (jangan membakar lahan, supaya bumi tidak kering kerontang)"