Beberapa hari terakhir ini, imajinasi saya menyelam-nyelam gurita, meliuk-liuk mencari konsklusi. Sembari menemukan delik persoalan yang dialami oleh sebagian besar petani di daerah.
Ada beberapa poin yang berhasil saya tangkap dari kedalaman batok kepala saya itu. Pun kontekstual adanya bila dikorelasikan dengan fakta yang sedang terjadi (alam nyata). Saya melihat banyak karang yang rusak juga biota lautnya yang sudah tercemar.
Karang yang saya maksudkan ialah, ihwal konsep pertanian itu sendiri. Yakni, meliputi aura kongnitif (pengetahuan/ kualitas SDM), psikomotorik (keterampilan) hingga pengolahan pertanian yang masih menggunakan cara-cara lama (tradisional). Dan selebihnya perihal masalah tata niaga.
Dua persoalan di atas merupakan substansi dasar dari jungkir baliknya sektor pertanian di daerah selama ini. Dan ini sudah menjadi diskursus selama bertahun-tahun lamanya.
Seperti halnya para petani di tempat saya. Semangat bertaninya memang tidak main-main. Bertenaga kuda. Pergi pagi-pagi buta, pulang ketika matahari sudah ditelan telaga. Begitu melulu setiap hari. Tapi luput dari kata sejahtera. Kenapa yak?
Usut punya usut, ternyata....
Nyaman dengan Konsep Tradisional
Tujuh puluh persen masyarakat di Pulau Flores adalah petani, sisanya menggeluti ragam profesi. Ada nelayan, peternak, birokrat hingga wiraswasta.
Pulau Flores merupakan salah satu pulau yang tersubur di Nusa Tenggara Timur. Berbeda dengan pulau-pulau lain, reksa wilayah Flores beriklim tropis dan curah hujan sedang hingga tinggi.
Berangkat dari keunggulan komparatif ini, masyarakat Flores cendrung mengolah lahan basah untuk berkebun, bersawah dan bercocok tanam. Berbeda dengan pulau-pulau lain direksa NTT yang umunya mengolah lahan kering untuk peternakan dan pengolahan tambak garam.
Sebagian besar kadar tanah basah di Flores sesekini kurang dimanifestasikan dengan baik. Cenderung disalah urus. Cukup banyak pula lahan tidur yang terbengkelai dan tidak difungsikan (ditanami tanaman). Padahal lahannya subur.
Kebanyakan petani di Flores adalah tipe petani yang berafiliasi dengan semua jenis komuditas. Dalam artian tidak mandiri dengan satu jenis tanaman saja yang benar-benar menjadi fokus taninya. Fenomena ini sudah menjadi Kultus tersendiri.