Mohon tunggu...
Guıɖo Arısso
Guıɖo Arısso Mohon Tunggu... Insinyur - ᗰᗩᖇᕼᗩEᑎ

ᗰᗩᖇᕼᗩEᑎ

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Menikahi Perempuan Manggarai, Modal Cinta Saja Tidak Cukup, Bung!

20 Januari 2020   05:08 Diperbarui: 20 Januari 2020   12:25 5306
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi perempuan Manggarai (Sumber: steemit.com)

Dua bulan yang lalu tepatnya, seorang teman namanya Viko (bukan nama sebenarnya) menceritakan perjalanan cintanya selama 4 tahun yang hampir saja kandas kepelaminan karena biaya pernikahan. 

Keluarga Anak Rona (pihak wanita) meminta uang Belis (mahar nikah) sebanyak 400 juta. Sementara teman saya ini hanya mampu 130 juta.

Dia sempat stres dan depresi akut. "Pusing bro!" begitu pekiknya. Setelah melalui lobby yang alot dengan pihak kelurga perempuan, akhirnya diputuskan mentok di angka 250 juta. Itu berarti si Viko masih mencari 120 juta lagi untuk bisa menebus permintaan pihak wanita. Sangar memang!

Untuk menjawab ihwal belis ini, keluarga Viko menggelarkan sebuah acara Kumpul Kope (patungan keluarga besar pria). Plus sisanya harus ngutang ke bank. Perjuangan yang dilakukannya ini pun tidak sia-sia. Sehingga 9 Januari kemarin dia akhirnya bisa paca (akad nikah).

Fenomena uang belis yang tidak main-main besarannya ini seyogyanya acapkali menghantui pemuda di Manggarai Raya. Tak terkecuali saya tentunya. Sehingga berangkat dari situ, pihak Anak Wina/Woe (keluarga laki-laki) harus bekerja keras mengumpulkan sejumlah uang untuk diserahkan kepada pihak perempuan.

Belis Perkawinan
Belis dan atau mahar kawin ditandai dengan pemberian sejumlah uang dan atau hewan dari pihak keluarga laki-laki yang diberikan kepada orangtua mempelai wanita. 

Makna pemberian belis ini diejawantahkan sebagai bentuk rasa terima kasih dari pihak laki-laki karena telah mendidik putrinya dengan baik dan telan mendapat izin untuk menikahi anaknya.

Perempuan-perempuan Manggarai |sasambate.blogspot.com
Perempuan-perempuan Manggarai |sasambate.blogspot.com

Biasanya di tempat saya tinggal, Manggarai, seiring lintas zaman dan bergulirnya waktu, pernikahan dengan uang belis dengan jumlah 20 hingga 50 juta dianggap kurang "srek dan garang" dan dirasa kurang bergensi. Apalagi wanita yang ingin kita nikahkan itu sekaliber dokter dan pilot. Wadaw kita bisa kering dihisapnya!

Keluarga pihak perempuan dalam adat Manggarai biasanya semena-mena (meski tidak semua) dalam menentukan besaran paca. Jika berbicara tentang angka-angka, sejauh ini saya sendiri masih belum mendengar angka paca menembus angka M.

Bagi pihak laki-laki yang statusnya sudah menjadi ayah dan telah menikah, mereka cenderung memaknai perkawinan sebagai suatu penderitaan dan tidak membahagiakaan. Lagi-lagi di sini saya tidak ingin mengeneralisir. Tapi apa yang saya bicarakan ini adalah fakta adanya.

Hal di atas justru menjadi antithesis bahwa, pernikahan itu akan membahagiakan. Jawaban saya pun bisa iya bisa juga tidak. Pemaknaan belis perkawinan sendiri bagi masyarakat di reksa wilayah Manggarai ialah merupakan simbol untuk menjelaskan kelas sosial.

Makna Perkawinan
Dua hari yang lalu juga saya sempat curhat-curhatan sembari bertukar pikiran dengan salah satu Kompasianer kece, bung Ozy V. Alandika via Whatsap. Ya sebagai sesama bujangan, diskusi kami seputar idealis kaum muda. Pun diikuti ihwal tanya lain menyangkut prospek kedepan.

Salah satunya rencana pernikahan. Diskusi kami kian menjadi "liar" ketika membahas kaitannya mahar pernikahan. Bung Ozy sempat kaget ketika saya menyinggung belis di Manggarai. 

"Kok bisa mahal begitu ya, bung?" tanyanya. Waktu itu saya tidak sempat membalas pesannya karena mendadak saja batterai HP saya lowbat. Maka untuk itu saya jawab di sini saja ya bung, semoga saja sebentar berkenan singgah dan membaca. Hehe

Oke lebih lanjut, meski dengan segala jungkir balik dan tetek bengeknya, jumlah mahar belis perkawinan yang kian hari "gila-gilaan" tersebut, perkawinan bagi masyarakat Manggarai tetap merupakan sesuatu hal yang sifatnya sakral.

Dengan demikian perkawinan dapat diibratkan seperti dua sisi mata koin. Yakni perkawinan dapat dimaknai sebagai tantangan dan peluang. Sepakat bila perkawinan lebih diarahkan pada makna yang lebih positif bagi kemaslahataan dan keniscayaan berumah tangga.

Berangkat dari pengalaman yang sudah-sudah, baik yang dialami oleh teman saya, Viko dan mungkin ada Viko-Viko lainnnya di luar sana, saya ingin menggarisbawahi beberapa poin penting berikut:

  1. Penyerahaan uang belis oleh pihak laki-laki sebaiknya diukur menurut kemampuannya
  2. Sebaiknya jurang antar yang kaya dan miskin, tidak diperlebar dan menjadi suatu kendala dalam pernikahaan
  3. Belis tidak selamanya berangkat dari pemikiran rupiah
  4. (Mungkin ada tambahan dan masukan?)

Demikian saja curhatan ini saya tuliskan apa adanya di sini. Dan untuk kawan-kawan saya yang masih muda dan jomlo, untuk jangan pernah takut dan gentar kaitannya dengan belis, hadapi saja dengan kepala tegak!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun