Mohon tunggu...
Guıɖo Arısso
Guıɖo Arısso Mohon Tunggu... Insinyur - ᗰᗩᖇᕼᗩEᑎ

ᗰᗩᖇᕼᗩEᑎ

Selanjutnya

Tutup

Nature

Diskurus Konversi Lahan, Ini Pandangan Saya Sebagai Petani

18 Januari 2020   01:38 Diperbarui: 18 Januari 2020   05:28 202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo| liputan6.com

Kemarin saya membaca sebuah tautan yang tetiba lewat begitu saja diberanda facebook. Oleh karena judul tautan itu bermuatan isu pertanian, akhirnya tanpa neko-neko saya langsung mengkliknya.

Alhasil saya pun disuguhkan dengan paragraph pertama yang kira-kira bunyinya seperti ini "kami (DPR RI dan Kementan) akan mendorong daerah untuk mencegah alih fungsi lahan pertanian".

Titik temu kesepakatan dan perundingan kedua institusi Negara ini bertolak dari keinginan untuk melakukan pencegahan dan atau pelarangan dengan maksud untuk menekan laju konversi lahan pertaninan karena lahan pertanian merupakan faktor esensial dalam kemajuan pertanian Indonesia.

"Banyak yang menjual lahan pertaniannya karena menganggap pertanian itu untungnya kecil. Sebetulnya keuntungan dari dunia pertanian tidak kalah dengan industri jika dikelola dengan benar" ungakp Rahmat Gobel, Waketum DPR RI

Membaca komentar tersebut saya senyum sejadi-jadinya. Sungguh merupakan klaim sepihak tanpa mengerti keseluruhan konteks ditengah kalangan masyarakat tani. Coba kita perhatikan logika Rahmat ini, tidak runut, melompat-lompat dan sporadis.

Mereka sebagai pemangku kebijakan seharusnya peka dan jeli melihat fakta ini. Kenapa kebanyakan lahan petani sekarang banyak yang dialih fungsikan?

Banyak lahan produktif yang kemudian dijadikan perumahan, perusahaan oleh karena usaha para petani ini tidak dilindungi sebetulnya. Baik dari segi harga komuditas yang terjun bebas, juga karena biaya produksi yang mahal. Rugi dong para petani bila terus bergelut dengan situasi semacam ini. Maka jalan keluarnya adalah pengalihfungsian lahan ataupun dijual.

Lantas bagaimana bisa unit usaha kecil pertanian ini bisa bersaing dengan sekaliber perusahan dan industry besar? Jika memang kalian berkesadaraan pada niat yang tulus dan berangkat dari pemikiran yang waras, terapkan subsidi harga dong.

Sebagaimana pemerintah punya fungsi etatisme kapitalis. Disana anda-anda sekalian punya kewenangan untuk mengontrol lebih jauh harga dipasaran.

Sementara di suatu sisi Syharul Yasin Limpo, selaku Menteri Pertanian (Mentan) menegaskan bahwa pihaknya akan melawan usaha mengalihfungsikan lahan pertanian. Ia meminta agar perlawanan pengalihfungsian lahan dilakukan secara sinergi dengan proaktif dan optimal.

Di sini saya ingin menggarisbawahi makna kata 'melawan' ala Kementan di atas. Saya sendiri merupakan bukan ahli linguistic, atau ahli bahasa. Tapi bila menyelisik kata melawan tersebut, saya kok jadi merinding sendiri ya? 

Saya pikir tidak perlu mengancam dan menambah beban masyarakat tani lah pak. Mereka dan saya sendiri adalah masyarakat kecil dan lemah. Pun yang selalu ditimpa oleh banyak kemalangan.

Untuk apa pula nasib kurang mujur para petani ini dipertebal dengan kalimat syarat 'memukul mundur' tersebut? Jangan posisikan kami seperti layaknya pelaku kriminal'lah. Mending, fokus saja pada program-program yang membawa kemaslahatan kepada petani saja.

Sedianya, menaikan nilai tawar hasil komuditas pertanian. Toh segenap cita-cita anda dan dewan yang terhormat agar usaha petani kecil bisa bersaing dengan pelaku industri.

Pandangan Saya Sebagai Petani

Mari kita kembali kesubstansi awal. Ihwal pengalihfungsian lahan oleh para petani ini bukan tanpa sebab , saya pikir. Toh ditengah persaingan pasar hari ini petani kecil melulu yang menjadi sasaran amukan para kapitalis. Sebagai pemain tunggal dipasar, toh para pengusaha besar bermain seenaknya saja dalam penentuan harga.

Imbasnya, harga tidak sesuai dengan harapan para petani. Pun manggut-manggut saja ketika harga sudah sedemikian dipatok. Mau apalagi? Terpaksa dijual meski dengan harga terjerembab, demi menutupi biaya panen dan operasional yang besar.

Lantas bagaimana logikanya, pihak DPR dan Kementan memaksakan petani untuk lebih kreatif dalam mengelola lahan pertaniannya bila sudah terhimpit situasi semacam ini?

Saya pikir fakta ini sifatnya sudah parsial dan simultan. Baik menimpa petani sawah, peladang hingga para pekebun. Selain tidak punya modal lagi untuk mengolah lahannya juga karena pengaruh terdesaknya kebutuhan hidup, sehingga dimana-mana sekarang ini banyak lahan petani yang dikonversi.

Sehingga hemat saya, salah satu penyebab konversi lahan pertanian ini disebabkan oleh harga komuditas pertanian dipasaran yang saat ini kian jungkir balik dan terjun bebas. 

Yang berimbas pada rendahnya harga jual barang maupun terbatasnya modal dalam mengelola lahan yang ada. Baik itu lahan tidur hingga yang berproduktif. Sehingga menjadi kosekuensi logis bila jalan keluarnya adalah melakukan konversi lahan, dengan tujuan- tujuan mengejar profit tertentu.

Salam!

Bacaan: Satu

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun