Mohon tunggu...
Guıɖo Arısso
Guıɖo Arısso Mohon Tunggu... Insinyur - ᗰᗩᖇᕼᗩEᑎ

ᗰᗩᖇᕼᗩEᑎ

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Ihwal Kebangkitan Petani Cengkeh, Selepas Porak-poranda Badai Angin

15 Januari 2020   04:40 Diperbarui: 15 Januari 2020   07:58 560
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada Februari 2014 yang lalu, berpuluh-puluh pohon cengkeh milik kami patah akibat diterpa angin kencang. Ada pun pohon-pohon cengkeh yang yang patah ini merupakan pohon cengkeh besar dan produktif berbuah setiap tahunnya.

Saya sendiri masih ingat persis kejadian itu. Pohon-pohon cengkeh milik kami yang tingginya menyundul langit itu sekejap rata tanah dalam semalam pada musim penghujan bulan Februari.

Berita buruk itu menyambang sewaktu pagi hari. Kami diberitahu oleh paman Yohanes yang kebetulan tinggal di desa sebelah dan tidak jauh dari kebun cengkeh milik kami.

"Ole bapa. Neka rabo. Tepo taung sit Jengke lau uma dite ho le buru warat rewieng ho." (Aduh bapa. Mohon maaf sebelumnya. Sekadar memberi tahu bahwasannya sejumlah pohon cengkeh milik bapa dikebun patah diterpa angin kencang semalam), jelas paman Yohanes yang kental dengan logat Manggarainya.

"Mori ampong! Terimakasih lite. Pihat ata tepo iwo itat lite?." (Tuhan! Terimakasih informasinya. Berapa pohon yang patah?) Pekik sang bapak.

"Ta kraeng toem danga baet kole gah. Bom tanda lelo demeng sit." (Kurang tahu juga. Mungkin bisa di cek sendiri) pungkas paman Yohanes.

"Io merem nggiti demeng gah.(baik sudah)". tambah bapak.

Beliau pun membangunkan kami sekeluarga dari tidur dan sesekini memberitahu perihal kejadiaan na'as tersebut. Raut wajahnya mendadak memerah dipagi yang beku itu. Kalimat yang keluar dari mulutnya serasa menghendus hubar-habir sampai ke sum-sum tulang belakang. 

Sontak kami sekeluarga dibuat panik dan sepenuhnya isi batok kepala kami jadi penpeng. Secepat cahaya setelah menerima kabar buruk itu, kami bergegas ke kebun cengkeh yang jaraknya cukup jauh dari rumah, yakni hampir dua kilo meter. 

Dan ternyata benar, sesampainya di kebun empat puluh lebih pohon cengkeh rata tanah. Hamparan pohon cengkeh yang semulanya hijau dan rimbun, kini menyisahkan ranting-ranting yang kaku.

Bapak saya tak bisa menyembunyikan kesedihannya. Air mata duka merembes di pipinya. Bibirnya pun sedini pucat dan gemetar, hingga enggan berkata lebih. Pandangannya pun tak menentu.

"Bapa, yang sabar. Biar saja. Bersyukur, alam masih menyisahkan sebagian untuk kita rawat" batin saya sembari menguatkan beliau.
"Iya anak" jawabnya singkat sambil memperhatikan situasi di sekelilingnya.

Nestapa Februari 2014

Februari 2014 merupakan diskursus buruk karena menciptakan kisruh batin yang berbetulan, simultan dan mencekik leher. Terkhusus bagi kami sekeluarga dan umumnya bagi petani-petani lain di Manggarai.

Situasi itu memang sangat tidak mengenakan bila dikenang. Fakta lain juga menyuguhkan bahwa, pada waktu itu bukan hanya tanaman cengkeh milik kami saja yang patah, bahkan milik petani-petani yang lain juga.

Sungguh sangat merugi, lantaran pada saat itu pula tanaman cengkeh mulai menumbuhkan bunganya. Tapi mendadak gugur saja usai 'diperkosa' habis-habisan oleh badai angin super kencang. Sepanjang tahun itu pula terjadi gagal panen besar-besaran di kalangan petani.

Situasi ini merupakan fenomena alam yang paling signifikan sepanjang sepuluh tahun terkahir. Kiranya begitulah alam bekerja, tidak akan ada yang bisa melawan dan menandinginya.

Tapi pada prinsipnya, setelah melewati masa-masa sulit itu, kami dan serumpun petani-petani cengkeh yang lain bangkit dari kegalauan dan kemudian bersemangat dengan gesitnya menanam cengkeh lagi. Karena bila berlarut-larut dalam kesedihan akan melahirkan kehampaan.

Kini pohon cengkeh yang patah itu sudah ada gantinya. Tepatnya digantikan oleh bibit pohon cengkeh yang berumuran enam tahun lebih. Sejauh ini belum ada tanda-tanda berbuah mengingat usianya yang masih relatif muda.

Karena biasanya usia produktif tanaman cengkeh baru berbuah pada umur 9 tahun ke atas. Hal ini justru berbeda dengan di daerah lain (di luar Manggarai) yang tanaman cengkehnya bisa berbuah sejak umur 5 tahun. Tentu ada banyak faktor yang melatarbelakangi, semisalkan perbedaan kesuburan tanah, iklim hingga volume curah hujan.

Bangkit dari Musibah

Berangkat dari porak-porandanya sebagian hingga seluruh tanaman cengkeh pada enam tahun yang lalu tersebut, kini petani cengkeh di tempat saya sudah mulai bangkit seraya menggalakan penanaman cengkeh lagi. Pun mulai mempertimbangkan kemungkinan adanya pohon cengkeh yang patah diterpa angin lagi.

Adalah dengan cara menanamkan tanaman dan atau pohon pelindung. Pohon pelindung yang saya maksudkan di sini ialah seperti pohon mahoni, jati, angsono hingga durian. Hal ini dipercayai agar bisa menghalau dan memecah gelombang angin. Singkatnya pohon-pohon ini menjadi benteng terluar.

Potret kebun cengkeh milik kami yang sebagianya berumur 6 tahun| dokumentasi pribadi
Potret kebun cengkeh milik kami yang sebagianya berumur 6 tahun| dokumentasi pribadi

Pun ihkwal lain penanaman pohon besar ini dimaksudkan selain menjadi pelindung juga bisa menaungi pohon-pohon kecil di bawahnya. Agar tidak terkena sengatan matahari langsung pada saat musim kemarau.

Dan sejauh ini memang cara ini lumayan manjur. Kendati selama beberapa tahun terakhir ini badai angin kencang itu tak melawat lagi. Syukur-syukur begitu juga untuk tahun 2020 ini dan tahun yang akan datang. Semoga saja penuh harap.

Selebihnya bulan Januari hingga April merupakan bulan basah. Bulan yang penuh berkah tentunya bagi para petani untuk bercocok tanam. Baik untuk petani cengkeh dan juga petani-petani lainnya.

Intensitas curah hujan di Indonesia tahun ini lumayan baik. Sehingga hal ini sangat membantu bagi kesuburan tanah. Kiranya kondisi iklim ke depan bersahabat baik dengan kita. Amin

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun