Tulisan ini masih tentang tanaman (umbi) porang ya. Pada tulisan sebelumnya, tepatnya yang saya rilis kemarin (8/01) menceritakan bagaimana muda-mudi di tempat saya yang sekarang ini mulai nimbrug dengan tanaman porang.
Singkatnya, setelah tulisan saya tersebut berhasil dan ditayangkan di Kompasiana, pun sempat dishare oleh Kompas.com, ternyata rata-rata masih banyak pembaca yang pada umumnya masih belum tahu menahu sepak terjang dari tanaman porang ini.
Awalnya saya merasa sangat senang karena melalui tulisan itu, saya bisa memperkenalkan tanaman porang kepada khalayak perihal manfaat dan kegunaannya.
Syukur-syukur bila setelah membaca itu, ada banyak orang yang merasa perlu dan turut ikut membudidayakan tanaman porang ini. Karena dari segi ekonomi cukup memberikan laba dan nilai tambah.
Fakta lain juga menyuguhkan bahwa, tanaman porang lazimnya tumbuh di hutan-hutan belantara. Tepatnya hutan hujan tropis. Saya juga kurang tahu pasti terkait keberadaan dan penyebaran tanaman porang ini di Indonesia. Apakah tumbuh di semua tempat, ataukah hanya ada di beberapa reksa wilayah saja? Tidak tahu juga.
Bahkan seketika para pembisnis porang itu menyambang ke tempat saya di Manggarai, kami sempat dibuat kaget dan menganga. Karena selama ini tanaman porang ini dipandang sebagai tumbuhan liar layaknya alang-alang dan dibasmi seperti benalu.
Kini, harga porang tawarnya pun tidaklah main-main. Hampir setara dengan harga komuditas unggulan yang lain. Sebut saja misalnya harga cengkeh dan kopi Arabika, kopi khas Manggarai.
Baca juga: Bisnis Porang yang Harganya Mulai Bersaing dengan Cengkeh
Sedikit saya terangkan kembali bahwa untuk reksa wilayah Manggarai Raya, umbi porang kering dihargai 50 sampai 55 ribu per kilo. Sementara untuk porang mentah 15 sampai 20 per kilo. Hampir tinggal sedigit lagi menyangi harga cengkeh, yang sekarang ini 65 ribu per kilonya.