Mohon tunggu...
Guıɖo Arısso
Guıɖo Arısso Mohon Tunggu... Insinyur - ᗰᗩᖇᕼᗩEᑎ

ᗰᗩᖇᕼᗩEᑎ

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Merawat Nalar dan Cita Anak-anak Desa

30 November 2019   02:06 Diperbarui: 30 November 2019   11:41 187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Diskursus mengenai pendidikan di wilayah pelosok Manggarai, Flores-NTT, aduh mirisnya memang kelewatan. Selain sarana prasarana penunjang belajar yang kurang memadai, juga masalah administratif sekolah yang kacau balau.

Tapi dibalik semua keterbatasan itu, semangat bersekolah dan belajar  adik-adik disini tidak main-main, meski harus berjalan kaki berkilo-kilo meter untuk datang ke sekolah.

Adalah Rio, Marselo, Martin dan Vian. Keempat adik-adik ini adalah murid Sekolah Dasar (SD) Hita, Kecamatan Pacar, Kabupaten Manggarai Barat (Mabar). Masing-masing dari mereka ini ada yang duduk dikelas III dan V.

Sedikit saya bercerita, kebetulan mereka ber-4 ini berasal dari satu kampung yang sama yaitu dari Desa Pau dan letaknya cukup jauh dari sekolah tempat mereka belajar. Jadi bila hendak kesekolah setiap harinya, mereka kerap berjalan kaki dan tanpa mengenakan sandal apalagi sepatu.

Merupakan sebuah keberuntungan bila ada truk-truk/ mobil yang kebetulan lewat dari dan menuju ke desanya. Mereka biasanya menumpang sama om supir, setidaknya bisa menghemat energi mereka kesekolah.

Dua hari yang lalu saya menjumpai mereka diperjalanan sepulang sekolah. Kebetulan jalanan sepi kendaraan. Tampak mata mereka menyorot tajam kearah truk yang saya tumpangi. Dan ketika berada persis didekat mereka, saya memberhentikan mobil. Saya perhatiakan raut wajah mereka begitu kusut dan layu. "Kasihan mereka. Pasti mereka sangat lapar" pikirku singkat.

"Ade naik sudah. Jangan gantong dipinggir ee. Awas jatoh nanti!" sahut saya

"Io om. Terimakasih" jawab mereka

"Oke ade. Baku pegang tangan nanti. Nanti sa antar sampe kampung ee" lanjut saya lagi

"Io om. Kami su biasa" terangnya

Setelah mereka naik, kamipun melanjutkan perjalanan. Ditengah perjalanan, saya mengajak mereka untuk ngobrol-ngobrol santai. Saya tahu persis pengalaman dan perjuangan mereka kesekolah setiap harinya. Kendati kultus jalan kaki kesekolah ini sudah terjadi sejak angkatan sebelum mereka. 

Tentu ini bukan menjadi tradisi yang baru lagi, toh mereka sendiri sudah terbiasa berjalan kaki setiap kali berangkat sekolah. Tapi pertanyaannya entah sampai kapan? Saya juga tidak punya jawaban pasti terkait hal ini.

Tak lupa pula saya memberikan wejangan dan peneguhan kepada mereka. Bawasannya, sayapun dulu pernah melalui fase-fase sulit seperti mereka. Tentu jalan keluarnya bukan dengan mengeluh, melainkan mengilhami ini sebagai awal dari sebuah keniscayaan.

Saya sangat mengagumi dan menngapresiasi perjuangan mereka untuk bersekolah dan mengeyam pendidikan. Meski berangkat dari kesadaran ekologis- ekonomi; orangtua petani dan berasal dari keluarga yang termarginalkan secara ekonomi.

Sungguh sebuah Nasionalisme dari anak-anak kampung yang syarat mengutamakan pikiran, sehingga pendidikan dirasa memiliki peranan penting dalam mencerdaskan kehidupan. Baik kehidupan personal, dalam keluarga, lingkungan maupun usaha mencerdaskan kehidupan bangsa. (Drs. Sudiyo- Karakteristik Nasionalisme).

Merawat Nalar dan Cita Anak-Anak Desa

Wajah pendidikan di Manggarai dan mungkin di Nusa Tenggara Timur (NTT) pada umunya sedang menghadapi jalan buntu. Bila saya perhatikan, dunia pendidikan atau sekolah sekarang ini sangat minim pada program yang berbasis pada pengembangan bakat dan tergalinya potensi-potensi yang ada didalam diri peserta didik.

Hal ini juga tidak terlepas dari terbatasnya ketersediaan buku-buku bacaan dan juga akses untuk mendapatkannya. Sekolah kita selama ini saya pikir tidak bisa melihat banyaknya potensi-potensi baru ini. Saya yakin dengan diperbanyaknya buku bacaan ini para peserta didik nantinya akan lebih gamblang lagi melihat dunia, dan akan lebih sadar akan kemampuannya masing-masing.

Fakta lain juga menyuguhkan bahwa, pendidikan kita selama ini tidak bisa menghadirkan dan menawarkan mimpi baru kepada mereka. Sehingga yang ada didalam setiap batok kepala anak-anak murid selama ini hanya cita-cita menjadi guru dan jadi pastur/ Imam. Sungguh malang memang!

Saya sendiri berkeyakinan bahwa dengan membaca situasi sekarang ini, minat membaca anak-anak di Flores sangat tinggi sekali. Hanya saja mungkin akses untuk mendapatkan buku ini yang masih menjadi kendala. 

"Inilah tugas kita semua untuk sama-sama bersinergi dan lebih peka lagi dalam merawat nalar dan menggali potensi-potensi baru didalam diri peserta didik kita."

Juga yang tidak kalah pentingnya ialah agar pihak sekolah dan para peserta didik agar lebih aktif merangsang anak-anak didiknya untuk berpikir imajinatif, inovatif dan juga lebih sering mengadakan kegiatan ekstrakulikuler dalam mendukung bakat dan minat anak. Singkatnya tawarkan mereka mimpi-mimpi baru.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun