[caption id="attachment_308580" align="aligncenter" width="540" caption="credit goes to: kompasiana.com/gustaafkusno"][/caption]
Pertarungan pilpres sekarang akan berlangsung sengit. Sebab persainganya bersifat head to head. Pilihannya kalah atau menang. Itu saja.
Tapi tentu penting untuk tahu siapa yang akan kita pilih Jokowi-JK atau Prabowo Hatta. Banyak orang membandingkan apa yang akan dilakukan oleh Jokowi-JK dan satunya lagi bila terpilih nanti. Tapi sebelum itu, bukankah lebih penting melihat sedikit dan singkat ke belakang, apa yang telah mereka tinggalkan?
Prabowo dan Hatta adalah figur menarik. Keduanya adalah tokoh nasional dikenal banyak pihak. Banyak media massa memberitakan mereka. Namun, apa yang diberitakan dan bagaimana mereka dikenal, itu yang menjadi perhatian.
Prabowo lekat sekali dengan jejak-jejak gelapnya pada masa menjadi bagian dari militer Negara ini. Dia yang kebetulan anak pejabat dan mantu dari penguasa, naik jabatan begitu cepat sehingga mengganggu ‘asas kepatutan’ dalam militer. Selain itu, bukannya meninggalkan jasa atau nama baik, ia justru memilih jalan ketegasan buta dengan mencoba menghentikan derasnya gelombang reformasi dengan penculikan aktivis.
Di sisi lain, pasangannya pun tak berbeda jauh. Sebagai menko perekonomian, Hatta bilang ke media kalau subsidi BBM sekarang tidaklah tepat. Dalah hati siapapun, “Lah, bukannya ente yang jadi pejabat, kok malah protes lewat media!” bagaimana sih cara berpikirnya?
Ia juga terlibat pengaturan kuota ekspor impor migas serta kasus korupsi hibah kereta api dari Jepang. Lagipula, selama ia jadi menteri, hal menonjol apa pernah ia buat? Buktinya, ketika ia mundur, pasar tak bergerak sama sekali. Dengan kata lain, Hatta tak punya jejak terang, jejak gelap lebih mengemuka. Di soal hukum, tentu kita masih ingat soal tabrakan maut oleh anak Hatta yang ujungnya tak jelas. Si Hatta junior bebas!
Ini semua berbeda sekali dengan apa yang dimiliki “grup sebelah” Jokowi-JK. Jokowi JK punya jejak lain, jejak-jejak terang yang mendukung kemajuan bangsa ini. Banyak juga yang nyinyir menghujat Jokowi-JK, tapi apalah daya, kebaikan dan ketulusan mereka dalam berjuang selama ini terlampau terang.
Jokowi sukses memimpin Solo. Bukti sederhananya, ia terpilih untuk term kedua dengan prosentase 90 persen lebih. Hebat orang ini bukan? Solo mendapat banyak penghargaan dan status setelah dipimpin “si pemilik wajah ndeso’ ini. Ia pemimpin yang otentik, kata Pak JK.
Seketika ia hijrah ke Jakarta, jejaknya tak berubah. Ia konsisten dengan kepemimpinannya yang pro rakyat. Pasar ia tertibkan, perkampungan kumuh ia tata dan bersihkan, waduk-waduk yang jorok ia sulap menjadi taman-taman indah yang menyegarkan.
Tak beda dengan Jokowi, JK juga meninggalkan jejak-jejak terang pada periode-periode kepemimpinannya di pemerintahan. Semasa jadi menteri, ia damaikan konflik-konflik yang orang bilang, “Ngga mungkin damai” ia selesaikan dengan damai pula. Ambon, Poso, dan Aceh, damai semua.
Semasa menjadi wapres, ia gagas kemandirian pangan yang kemudian terwujud pada 2008, Indonesia swasembada beras! JK juga berhasil menggerakkan kemandirian dalam pembangunan infrastruktur. Bandara-bandara terbaik dibangun dan dikerjakan oleh tangan-tangan anak negeri.
Sejenak rehat dari pemerintahan, JK memimpin Palang Merah Indonesia yang kini berhasil menjadi salah satu lembaga kemanusiaan yang diakuai di dalam negeri dan dunia Internasional. Bencana Tsunami, Merapi, Sinabung, dan Manado sukses ditangani oleh PMI. Di luar negeri PMI menjadi pionir untuk menangani Bencana Haiyan di Filipina, bahkan juga konflik kemanusiaan di Myanmar.
Cara menilai ini memang tak menyeluruh untuk Jokow-JK dan pasangan lainnya. Tapi melihat ke belakang seperti ini bisa menjadi referensi, apa yang akan mereka perbuat ke depan. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H