Sikap Romo Gereja yang membacakan pandangan Rika tersebut digambarkan terbuka terhadap konsepsi Tuhan yang diyakininya. Selain itu, kita juga disuguhkan dengan penampilan Surya yang memerankan Yesus dibeberapa acara gereja. Dan Surya sendiri adalah seorang muslim. Sedangkan, yang tak kalah menariknya adalah sikap ustadz yang digambarkan moderat dan tidak melarang Surya tampil sebagai Yesus dalam pementasan di Gereja.
Pikatan film ini sesungguhnya terletak pada penggambaran kesalehan sosial yang terbangun dengan kesadaran. Agama yang menjadi keyakinan masing-masing pemeran tidak membuat terputusnya interaksi sosial sebagai manusia yang sama dihadapan Tuhan. Begitu pula Tuhan yang diimani tidak tersisihkan dengan perbedaan agama yang diyakini.
Film ini, terlepas dari kontroversinya yang tidak begitu mencuat menjadi menarik karena penggambaran kehidupan sosial masing-masing sosok yang mampu menembus perbedaan tanpa meninggalkan religiusitasnya. Perbedaan yang seringkali menjadi pemicu konfik keragaman keyakinan 'dipangkas' dalam film ini. Batas-batas pesan 'langit' yang selama ini seringkali diterjemahkan tekstual -terkadang dengan kekerasan atas nama agama- oleh sekelompok umat penganut keagamaan menjadi 'lembut' dalam visualnya.
Akhir film ini masih menyisakan 'pencariannya' dengan melemparkan kalimat tanda tanya: masih pentingkah kita berbeda?
***
Potret mengenai perbedaan keyakinan di negeri ini memang masih tampak buram. Konflik horizontal menyangkut perbedaan pendapat dan keyakinan seringkali menjadi pemicu ditingkat sosial akar rumput. Beberapa kasus perusakan tempat ibadah, penyerangan kelompok umat tertentu, hingga -lebih ekstrimnya- aksi terror atasnama agama, adalah gambaran kehidupan perbedaan persepsi, konsepsi, dan keyakinan, yang sangat ironi.
Agama sebagai dogma yang diimani seharusnya menjadi refleksi yang 'membebaskan' bagi penganutnya dari kemungkaran, kekerasan, dan segala prilaku yang dinilai menodai kesucian agama. Tidak ada ajaran agama di dunia ini yang menyuruh penganutnya untuk merusak, membunuh, apalagi menyakiti sesama manusia.
Keyakinan bukanlah sesuatu yang direkayasa dan dipaksakan. Keyakinan ataupun keimanan adalah ikatan hati yang tumbuh dalam kesadaran pencarian untuk menggambarkan "kebenaran". Namun bukan berarti mereduksi pesan-pesan agama untuk memaksakan makna dan arti "kebenaran" pada kekerasan, diskriminasi, dan anti toleransi.
Kita pun tahu, agama adalah wilayah hati dan pikiran. Agama diimani karena ajaran dan prinsip-prinsip kebajikannya. Dan sudah sangat tentu, dalam pemaknaannya pun tidaklah sama pada satu persepsi, konsepsi, dan hati. Perbedaan yang seringkali muncul mengatasnamakan agama disebabkan tidak adanya dialog dan komunikasi yang terbuka. Stigma, kecurigaan, dan penafsiran-penafsiran pesan agama yang tertutup dan tidak humanis seringkali membuat ajaran agama 'melayang-layang diawan' tanpa bisa memberikan pencerahan dan perubahan.
Tanda Tanya ("?") dalam film Hanung, bisa jadi, sebagai harapan dibalik gambaran ke-ragam-an dan keber-agama-an pada tataran sosial yang merindukan toleransi, anti kekerasan, dan kedamaian. Wallau'alam bishshawab. []
*) www.guguncenter.blogspot.com