Di kampung ini tradisi tahlilan sudah seperti wajib setiap ada kematian. Untuk mengundang warga berdatangan, isi besek sangat mempengaruhi. Semakin banyak isinya, semakin banyak yang datang.
Tahlilan berarti identik dengan pengeluaran bagi keluarga yang ditinggalkan. Tidak hanya mencukupi dengan besek, tapi juga harus keluar biaya untuk membayar ustad dan santri yang mengaji. Jadi selama tujuh hari tesebut, dimintakan sejumlah santri untuk mengaji di rumah tanpa henti siang dan malam.
Penasaran saya tanya berapa uang untuk membayar para santri yang mengaji tersebut. “Tujuh juta rupiah mas”, jawab Ading. “Serius?”, saya ga yakin. “Beneran mas, nanti yang mengaji tidak akan putus siang dan malam”, lanjutnya.
Tidak cukup dengan tujuh hari berturut-turut, ternyata setiap malam Jum’at juga dilakukan tahlilan. Sore hari kamis ketika Ading mengantar pakaian laundry, dia buru-buru ijin pulang. Loh buat apalagi itu, saya tanya ke Ading. Sambil menaiki motornya dia menggeleng tidak tahu buat apa. Satu hal yang dia tahu, bakal dapat besek lagi malam itu. Lumayan buat menutupi kebutuhan dikeesokan harinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H