Mohon tunggu...
Al Mujizat
Al Mujizat Mohon Tunggu... profesional -

Jutaan ide milyaran rasa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Lonceng Kematian Taksi Konvensional

14 April 2017   08:59 Diperbarui: 14 April 2017   19:00 377
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setelah berkali-kali mencoba taksi online, kemarin saya mencoba untuk naik taksi konvensional.  Bukan apa-apa, jarak jalan raya yang dekat dari stasiun kereta dimana taksi pasti banyak yang lewat pasti memudahkan. Tinggal nunggu dipinggir jalan dan stop, begitu pikir saya yang tengah naik KRL.

Karena saya tinggal dii Bogor, taksi konvensional agak susah didapat. Dulu kita harus ke Baranang Siang dulu untuk mencari taksi. Ribetlah kalau rumah jauh dari situ. Sejak ada taksi online, urusan pesan taksi menjadi sangat mudah. Tinggal pencet Hp, dalam hitungan menit taksipun sudah tiba.

Dari Bogor saya berangkat ke Jakarta menggunakan KRL. Tujuannya adalah sebuah gedung di bilangan Jakarta Selatan. Saya berhenti di Stasiun Pancasila dimana disampingnya persis jalan raya. Benar saja, tidak berapa lama menunggu, saya berhasil mendapatkan taksi. Supirnya seorang Bapak paruh baya.

“Ke Manhattan Square ya, Pak”, ujar saya ke supir taksi. Rupanya bapak supir belum tahu dimana gedung itu berada. “Dimana itu, Mas? Apa Manhattan yang di Ambassador”, tanya pak supir. “Wuah bukan Pak, gedungnya masih dekat sini, di Jalan Simatupang”, saya sedikit menjelaskan.

Si bapak ternyata awam sama  sekali. Dia tidak familiar daerah Jakarta Selatan, tapi Jakarta Timur dia sangat mengenal.

Berabe nih kalau dia tidak tahu, mana waktu untuk ketemu klien juga sudah mepet, saya mengeluh dalam hati. Tanpa berpikir lama saya buka aplikasi google maps di Hp. Pasang alamat yang dituju. Tadaaaa…sekejap saja keluar rute yang harus dilalui. Jelas dan lengkap. Berbekal panduan dari google maps, sayapun memberi tahu arah ke si bapak.

Si bapak supir taksi seorang yang suka bicara rupanya. Sepanjang jalan kami ngobrol macam-macam, mulai tentang politik, tentang Jakarta bahkan olahraga. Sepak bola liga champions antara Bayern Munchen dengan Real Madrid semalam menjadi topik favorit. Dia belum tahu siapa yang menang. Belum lihat koran, katanya. Karena saya juga belum tahu dan penasaran juga, sebentar saja saya buka hp, lihat berita disalah satu situs online. Ternyata yang menang Real Madrid 2-1. Saya sampaikan ke Si Bapak, ternyata dia senang. Rupanya Real Madrid salah satu klub favoritnya bersama Chelsea.

Di tengah obrolan kami, saya berpikir tentang taksi konvensional dan dengan taksi online. Betapa tertinggalnya  taksi konvensional. Pembedanya amat sangat jelas. Penguasaan dan pemanfaatan teknologi. Keahlian mengemudi saja tidak cukup.

Sudah bukan rahasia lagi kalau supir taksi banyak yang tidak tahu jalan. Wajarlah, meski lama di jalan bagaimanapun belum tentu semua jalan diketahui. Dengan teknologi penunjuk jalan semua bisa teratasi. Sekarang tinggal siapa yang memanfaatkan teknologi tersebut. Taksi online sudah pasti, layanan mereka memang berbasis teknologi informasi. Sayangnya taksi konvensional tidak.

Dari sisi penguasaan teknologi, supir taksi online sudah pasti menguasai teknologi. Memang itu syaratnya. Namun Supir taksi konvensional tidak, hanya inisiatif saja. Sayangnya banyak diantara mereka yang tidak mau menguasai. Ribet mungkin dipikir. Apalagi Hp yang dipunya sudah jadul, hanya bisa sms dan telepon.

Dulu kita susah pesan taksi dari rumah, apalagi bagi rumahnya jauh dari jalan besar dan tinggal di kota seperti Bogor yang armada taksi memang sangat terbatas. Tapi sejak ada taksi online, urusan pemesanan menjadi sangat gampang. Tinggal pencet Hp, dalam hitungan menit, taksi sudah sampai di depan rumah.

Salah satu yang dikhawatirkan penumpang taksi konvensional adalah harga sewa. Memang ada argo, namun siapa yang bisa jamin sang supir tidak mengadali penumpang yang tidak tahu jalan. Okelah jika si supir tidak berniat menipu, namun kalau dia tidak tahu jalan seperti yang saya alami bagaimana. Sudah rugi diongkos juga rugi waktu. Tapi kalau taksi online, kekhawatiran itu tidak akan terjadi. Dari sejak pemesanan, besaran harga sudah ada. Tinggal kebaikan penumpang untuk memberi tips. Tidak mungkin si supir melama-lamakan perjalanan. Ga ngaruh dengan harga. Malah jatuhnya rugi. Semakin lama waktu yang dibutuhkan jelas boros bahan bakar dan itu berarti buang-buang uang.    

Tak heranlah jika taksi konvensional kalah bersaing. Dulu Bluebird sebagai perusahaan taksi tumbuh berkembang tanpa tanding. Sahamnya pun sangat moncreng. Namun pada tahun 2016, saham eminte taksi terbesar di Indonesia ini menjadi salah satu top loser di Bursa Efek. Terjun bebas hingga 58 persen. Penyebabnya apalagi kalau bukan kemunculan taksi online seperti Uber, Grab Car dan Go Car.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun