Penulis: Nasha Nadhifa Kurniawa
Kelas: X 2C
------------------
Malam ini aku kalah bertaruh dengan perasaanku sendiri. Langit juga tampak ikut meredup sebab arutala dipeluk hangat oleh kawanan awan. Jangan lupakan lampu kota temaram yang menemani perjalanan pulang menyedihkanku malam ini. Beberapa saat lalu aku baru saja dengan tegas menyatakan bahwa aku jatuh cinta pada seorang lelaki yang menemani hari-hariku selama tiga tahun terakhir. Aku bilang bahwasannya rasa itu ada, melebihi batas dari pertemanan yang sudah lama kami jalani.
Aku menyatakannya dengan harapan-harapan akan bermuaranya rasa yang menggebu didalam dada tapi sayangnya semua itu mesti dibuang jauh-jauh bersama kata pertemanan yang sudah kami lalui dalam waktu yang tak singkat.
Katanya, "Kamu jangan jatuh cinta sama aku."
Aku membalas, "Kenapa? Apa aku nggak pantas buat jatuh cinta sama kamu?"
Aku dilanda rasa kecewa dan malu yang membara. Disaat air mataku mulai lebih handal menguasai diri ini laki-laki itu melanjutkan kalimatnya.
Ia bilang, "Bukan. Aku yang nggak pantas untuk kamu cintai."
Laki-laki itu belum selesai disana meremukkan hatiku. Ia malah beranjak dan meraih buku-buku jemariku sembari memberikan kalimat-kalimat terakhir yang rasanya tak akan pernah bisa lepas dari kepalaku.
"Kamu jatuh cinta sama aku tapi sayangnya aku nggak akan pernah bisa. Teman itu lebih dari cukup buat aku, Ashritha."
Seusainya aku menangis sejadi-jadinya sembari mulai melangkah pergi menjauh dari laki-laki bernama Abimana yang mengisi hampir seluruh hari-hariku sejak pindah ke kota besar. Malam ini aku menangisi tiga hal.
Abimana.
Perasaanku yang tak punya tempat untuk bermuara.
Salahnya dugaanku akan kemana arah kisah yang sudah lama kubayangkan didalam kepala.
Aku bertanya-tanya tentang apa yang salah sampai-sampai lelaki itu berkata bahwa ia tak pantas untuk aku cintai. Aku bertanya-tanya dalam tidurku, semua kegiatan yang kulakukan untuk mengalihkan pikiran meskipun itu percuma. Aku belum menemukan jawaban yang pasti untuk itu hingga dua tahun telah berlalu.
Perasaan itu masih ada namun tak berkembang dengan semestinya. Menatap di relung hatiku dan membuatku membenci seluruh hal yang berkaitan dengan pemilik nama Abimana itu. Aku ingin menganggap bahwa ia tak pernah ada dan nyata dalam kisah hidupku karena perasaan kecewa yang kuperoleh saat menyatakan rasa.
Abimana adalah rasa pertama yang kujelajahi dalam kata cinta. Ia juga menjadi patah hati pertama yang baru bisa kuobati rasa sakitnya ketika medapati sosoknya berdiri tak jauh dariku dengan kedua mata yang terfokuskan pada sebuah buku yang hendak dibelinya.
Ia terlihat begitu mudah untuk diraih ketika aku melihatnya sekilas tapi sayangnya aku belum berhasil melihat hal-hal yang tak seharusnya lepas dari tempatnya.
Pertemanan dan cinta. Itu dua hal yang berbeda namun aku meleburkan semuanya menjadi satu, memaksakan hal yang tak seharusnya kupaksa. Abimana ingin menyimpanku sebagai teman terbaiknya yang berjuang untuk melawan kerasnya hidup di kota besar namun aku ingin menyimpannya sebagai seorang kekasih. Sejak awal kami sudah berbeda arah. Abimana tak ingin memaksakan perasaannya denganku hanya semata-mata menjaga perasaan dan nama pertemanan kami sebab hal itu bisa membuat kami berdua jatuh semakin jauh pada jurang yang curam.
Hari dimana aku melihat Abimana di toko buku hari itu adalah pertama kalinya hatiku merasa lega.
Aku melepaskan rasa yang membebani pundakku selama dua tahun terakhir hari ini dengan kenyataan bahwa aku pernah kalah bertaruh karena keangkuhan cinta yang kumiliki untuk Abimana.
-Ashritha.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H