Penulis: Mirza Athaillah
Kelas: XII MIPA 1B
Pagi Hari
Namaku Lila, aku seorang anak yatim piatu yang sedang mencari kesenangan. Kalian penasaran kenapa aku yatim piatu? Orang tuaku terlibat dalam kecelakaan ferry di tengah Samudra Pasifik. Naasnya dari ribuan penumpang yang selamat, hanya orang tuaku saja yang tidak selamat. Apakah aku sedih? Tidak terlalu. Aku mengalami kejadian tersebut kita aku masih sangat kecil untuk memahami apapun. Nah lanjut perkenalannya, Aku berumur 16 tahun dan sedang tidak menempuh derajat pendidikan apapun. Ya, aku putus sekolah, karena aku memang malas untuk bersekolah. Aku sangat suka berjalan-jalan di padang rumput belakang kompleks rumahku. Berlarian dengan anjingku, berguling-guling di rumput, bahkan aku hampir lupa arah saat bermain di padang tersebut.
Hari ini aku akan pergi ke padang tersebut lagi. Dengan gaun hitam indahku. Aku bermain dengan rumput dan hewan-hewan yang ada di sana. Hingga tak sadar lagi hari sudah mulai gelap. Aku baru tersadar bahwa aku sudah berlari cukup lama hingga aku tak mengenali lagi bagian dari padang rumput ini. Aku telah tersesat!
Malam Hari
Aku menyusuri padang rumput gelap, tanpa bantuan penerangan apapun. Setelah aku berkeliling selama 1 jam yang terasa seperti 3 jam bagiku, aku menemukan sebuah padang bunga bakung berwarna merah. Awalnya aku tidak mencurigai padang itu sampai saat aku berusaha mendekati padang tersebut. Padang bunga bakung itu mulai menyala merah seperti warna bunga bakung yang tumbuh di atasnya.
Aku berjalan dengan penuh kehati-hatian melewati padang bunga bakung merah. Saat sampai pada akhir padang bunga itu, sesuatu berbisik di telingaku “Ambil Aku”. Aku berusaha mencari dari mana asal suara tersebut. Sampailah aku di bawah sebatang pohon beringin yang telah keropos dan tak berdaun. Aku melihat ke dalam batang pohon dan menemukan sumber suara misterius yang terus menghantuiku. Sabit merah tersebut teronggok bisu di dalam batang pohon. Ia mengeluarkan cahaya merah redup yang membuatku merinding.
Sabit merah itu terus berkata padaku “Ambil Aku”. Aku berpikir sejenak dan mengambil sabit itu, di malam itu lah aku melakukan kesalah terbesar ku, untuk mengambil sabit itu.
Day 1
Setelah kejadian itu aku dilaporkan hilang. Aku merasa heran ketika pengasuhku mencari ku padahal aku berdiri tepat di depan mereka. Awalnya Aku juga merasa aneh dengan tubuhku. Tubuh ini menjadi lebih ringan dan gesit. Tetapi mungkin hal itu bisa dijelaskan oleh temanku yang kutemui di padang bunga tadi malam. Namanya Tifa. Ia berwujud seperti seorang wanita di umur 25-an. Ia memegang sabit yang sama seperti yang kutemukan di padang bunga itu.
“Terima kasih, karena telah menemukanku. Aku akan membalasmu dengan mengambil nyawamu”.
Dan begitu saja aku merasa tubuhku seketika menjadi ringan seperti angin. “Bukannya kamu bilang akan mengambil nyawaku?” Aku bertanya dengan polosnya kepada wanita tersebut. “Sudah, tuh Kamu terbang sekarang”. “Eh” dan tanpa kusadari AKU TERNYATA TERBANG!!! Bukannya orang-orang bilang kalau mati bakal sakit ya? Kok matiku seperti gak terasa apa-apa?
“Mungkin kau bertanya-tanya tentang kenapa matimu tidak sakit seperti kata orang-orang? Sebenarnya Kamu tidak mati, aku tidak berniat mengambil nyawamu, aku meminjamnya. Oh ya, namaku Tifa dan aku adalah dewi kehidupan dan kematian.”
“Untuk apa seorang dewi meminjam nyawaku?” Tanyaku pada Tifa.
“Pertama, kau adalah orang yang menemukan sabit merahku ini. Kedua aku membutuhkan seorang asisten untuk membantuku dalam tugas ku. Kau mengira sabit ini untuk mengambil nyawa orang kan? Sebenarnya sabit ini bukan untuk mengambil nyawa, tetapi untuk memberikan nyawa kepada sebuah tubuh baru.” tukas Tifa sambil memberikan sabit merah yang serupa kepadaku
“jadi apa yang perlu kulakukan?”. Aku mulai melihat bagian-bagian sabit tersebut secara saksama. “kau akan membantuku untuk memberikan nyawa kepada tubuh baru yang lahir”. Seketika aku tercengang, seorang siswi berumur 16 tahun yang hampir tidak punya apa-apa (hanya warisan dari orang tua) tiba-tiba menghilang dan menjadi asisten seorang dewi.
Aku mulai membantu Tifa untuk memberikan nyawa kepada bayi-bayi yang baru saja lahir. Beberapa saat memang sedikit menyedihkan, sebuah nyawa yang akan diberikan kepada sebuah tubuh baru harus ditarik kembali padahal umur tubuh itu belum sampai 1 hari. Aku juga pernah ditugaskan untuk mengambil nyawa seorang kakek tua yang sudah sakit-sakitan di rumah sakit. Sangat kasihan rasanya, tapi memang itulah tugas yang diberikan padaku.
Setelah 77 hari aku bekerja menjadi asisten Tifa ia berbicara padaku, “Terima kasih karena sudah menjadi asisten ku selama 77 hari. Tanpa kau sadari, sebenarnya, menjadi asistenku berarti membuat kontrak denganku dan sepertinya kamu tidak mengetahui hal itu. Kontrak kita sekarang sudah selesai, jadi kau bisa kembali ke tubuh asli mu yang ada di batang pohon beringin dan kembali ke rumahmu. Sekali lagi terima kasih untuk bantuanmu.” Kemudian tifa mengambil barang dari sakunya dan memberikannya padaku. Itu adalah kalung perak dengan gantungan sabit merah di ujungnya.
Aku tak kuasa menahan tangis ku dan memeluk Tifa untuk terakhir kali. Aku berpamitan kepadanya dan kembali ke tubuh asliku, kemudian aku berjalan kembali ke rumah ku. Aku bercerita kepada pengasuhku tentang pengalamanku. Aku tak peduli mereka akan percaya atau tidak dengan itu. Tetapi, karena pengalaman itu, aku melihat dunia dengan perspektif yang berbeda.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H