Sejak Sanusi dicokok dalam OTT KPK pada 1 April 2016 lalu, peran Sunny sebagai koordinator lapangan (korlap) Ahok mulai terbongkar. Selain rekaman pembicaraannya dengan Aguan, peran Sunny di antaranya menjadi spin-doctor Teman Ahok juga terungkap. Sunny diketahui sudah di sisi Ahok sebelum Pilgub DKI 2012; ikut memulung KTP untuk Ahok. Saat itu Ahok benar-benar tidak diminati, termasuk oleh Ormas-ormas Tionghoa sendiri. Target untuk mencapai 50.000 KTP pun sia-sia.
Bintang terang Ahok adalah sejak dipercaya Hasjim, kemudian dibawa ke Prabowo, dan akhirnya dibawa Prabowo ke PDIP untuk diduetkan dengan Jokowi. Begitu naifnya Prabowo, hanya berbekal referensi orang tanpa tahu benar jejak rekamnya, langsung bersedia mengusung tanpa syarat. Jika akhirnya Prabowo ditikam Ahok setelah menemukan pijakan dengan kelompok konglo dan Ormas Tionghoa yang tadinya melirikpun tidak; ini sudah menjadi suratan nasib Prabowo.
Seperti dikisahkan Tempo, Sunny merupakan konsultan plus-plus dan korlap Ahok yang handal. Berbulan-bulan Teman Ahok bisa beroperasi di Mall dengan rapi, berkedok 'relawan', 'hidup dari jualan merchandise', mendukung Ahok menjadi Cagub Independent tanpa gangguan. Tindakan yang merupakan curi start kampanye inipun tidak ada yang mengganggu-gugat sehingga tidak disemprit KPUD maupun Bawaslu.Â
Semua begitu asyik dan mulus buat Sunny dan Kokoh, sampai hari naas itu Sanusi dan Ariesman dicokok KPK.
Dengan kasus begini besar, maka Sunny harus tiarap. Sunny harus berkorban dan menghilang dari Balai Kota, dan lenyap dari radar; sebab terlalu besar yang dipertaruhkan. Akhirnya Sunny tidak tersentuh hukum dan hanya Ariesman yang bongkok di penjara; itu sudah merupakan end-game terbaik buat Sunny dan skenario terbaik buat Ahok. Pada titik itu meskipun di polling-polling internet termasuk yang dibuat gerombolan Ahokers, Ahok mulai jatuh, tapi elektabilitasnya berdasarkan Lembaga Survey resmi masih kinclong.
Ahok tampaknya panik tanpa Sunny, juga karena artikel bertubi-tubi dari Tempo yang menelanjangi Teman Ahok dan urusan Reklamasi. Pada tanggal 10 April 2016, entah atas bisikan siapa, Ahok mengundang 20 Buzzer yang memiliki pengikut cukup signifikan di sosmed untuk berkumpul di rumahnya. Pertemuan itu akhirnya jadi bumerang, karena ada anggota pertemuan yang katro dan starstruck trus memposting foto-foto pertemuan itu berikut beberapa kaleng bir - sehingga akhirnya pertemuan itu selain terbongkar, juga timbul pemeo : pesta miras dan Teman Mabok.
Para pengasong jasa sosmed dan vendor Ahok saat ini benar-benar chaos. Sesama mereka pun berkelahi sendiri. Geng ex Jasmev terang-terangan menyerang Teman Mabok. Sementara geng Tukangbubur dan Teman Ahok akhirnya terkulai menjadi tidak relevan lagi sejak Ahok mengemis ke partai dan tidak jadi maju independen. Ironinya, Ahok bergandeng tangan dengan Papa Minta Saham yang sebelumnya banyak dicela oleh kelompok Teman Mabok yang mayoritas adalah buzzer-buzzer Sospol, membuat kelompok ini kehilangan kredibilitasnya saat membela Ahok yang diusung Papa.
Soal Ahok ngga bisa mengontrol mulutnya itu sudah penyakit bawaan, tapi makin terkompori oleh pembelaan membabi-buta Ahokers di sosmed yang menghalalkan semua ucapannya, terus menerus mencari pembenaran. Apabila dulu Ahok diproteksi oleh Sunny yang humble, silent operator dan tidak pernah cari nama buat diri sendiri; kini Ahok ditemani vendor bayaran pengasong jasa dan buzzer-buzzer yang suka menonjolkan diri dan ego pribadi. Hingar-bingar orang-orang ini di internet ternyata kontradiktif antara tugas menaikkan Ahok dengan jual pamor diri sendiri, sehingga banyak sekali cuitan dan opini mereka yang justru bersaing apabila bukan merugikan Ahok.
Apabila Ahok sampai sebebas itu membicarakan akidah agama lain yang tidak dipahaminya, pasti tidak jauh dari bisikan sejumlah orang nyleneh nan liberal di kiri kanannya. Kalangan Tionghoa biasanya inklusif dan lebih suka diam, kalau berpendapat juga di kalangan sendiri. Penasehat yang tidak punya massa dan hanya punya koleksi akun bot sosmed, ndilalah dijadikan patokan dan dimimikri oleh Ahok tanpa saringan. Akhirnya terjadilah peristiwa tidak pantas itu di Kepulauan Seribu. Sambil pakai seragam dinas dan seharusnya ngomongin ikan, Ahok malah mencereweti penafsiran agama lain yang bukan urusannya.Â
Siapa yang menyangka bahwa secuil peristiwa itu bisa berujung pada 3x demo besar-besaran Aksi Bela Islam I, II dan III?Â
Sejak itu Ahok bak hidup dalam bejana gelas transparan, semua tindak-tanduknya bisa termonitor jelas. Apabila Megawati sudah minta mulut Ahok dilakban dan tidak lagi meladeni doorstop interview dimana emosi Ahok kelihatan telanjang hanya dengan pertanyaan sederhana; para buzzer-buzzer Ahok terus-menerus 'membunuh' usaha Ahok tersebut. Tatkala Ahok dianjurkan meminta maaf, buzzer-buzzernya berkeras Ahok tidak bersalah. Para jawara sosmed yang merasa dirinya tenar dan opinion-leader memberi nasehat agar tak mengalah sepetakpun, sambil mereka menyebarkan cuitan-cuitan arogan.Â
Saat Ahok sudah terlihat menyesal dan meminta maaf, hati yang sudah mulai melembut kembali dirusak dengan cuitan para jawara yang merasa paling benar dan paling tahu, bahwa Ahok sudah bagus meminta maaf meskipun tidak bersalah.
Dua kali parade KeBhinnekaan yang seharusnya mengoreksi persepsi publik terhadap Ahok, akhirnya semua jadi bumerang karena operator yang tidak kapabel. Dimulai dari sehabis Aksi Bela Islam I, dimana Djarot bersama pendukungnya menanam kembali taman yang terinjak pendemo, akhirnya dibuktikan dengan foto-foto yang menjadi viral bahwa acara tersebut disetting, dengan taman ditanam ulang dinas pertamanan DKI, lalu disisakan sepetak untuk ditanam Djarot cs, dengan van Met** TV sudah standby.
Saat Aksi Bela Islam II berlangsung, pun menjadi viral foto selfie Ahok bersama konsultan politik dan dua orang petinggi PDIP. Kok bisa bocor foto begini, ya tanyakan kepada orang ngebet beken yang mempostingnya di sosmed.Â
Aksi Bela Islam II dan III sebenarnya menunjukkan kemampuan yang luar biasa dalam organisasi dan koordinasi massa yang sedemikian masif. Membuat aksi tandingan yang setaraf amat sangat sulit. Ternyata vendor-vendor yang ditunjuk kerjanya malah amburadul. Pawai pertama ditandai aksi injak rumput, bagi-bagi fulus dan buang sampah sembarangan. Aksi bagi duit itu seolah lemparan bakiak ke muka Ahok yang beberapa hari sebelumnya bicara pada media asing bahwa massa aksi yang menuntut dia merupakan massa bayaran.Â
Pawai jilid II dengan vendor partai pendukung Ahok ternyata lebih parah lagi. Selain melanggar peraturan dengan menumpang Car Free Day, juga diselenggarakan dengan serampangan. Sampah bertumpuk, taman diinjak, orang-orang berseragam partai bagi-bagi segepok uang, peserta rebutan makanan. Bahkan media yang cenderung pro Ahok juga memberitakan adanya uang beredar dan pengakuan sejumlah peserta yang menerima uang.Belum lagi gambar-gambar peserta membuang hajat sembarangan termasuk di van Met** TV yang menjadi viral dimana-mana. Juga foto selfie sejumlah taipan di Grand Hyatt dan bersama Papa di Hotel Nikko. Acara di panggung pun sempat ditutup dengan adu bacot sesama petinggi partai disusul dengan adu jotos yang sempat berakhir lapor-melapor di kantor polisi. Saking ngaconya acara ini sampai berbagai pihak termasuk PDIP dan Ahok sendiri buru-buru mengambil jarak.Â
Setelah itu tak henti-hentinya blunder dibuat Ahok dan para pendukungnya. Soal Ahoker suka membully lawan-lawannya itu sudah biasa. Soal memberangus akun-akun dan website tertentu itu produk dari masih berada di lingkaran kekuasaan. Masalah utama adalah centang-perenangnya eksekusi di lingkar dalam Ahok. Entah siapa yang nganjurin Ahok mengumbar tangis di pengadilan, yang kontraproduktif dengan pencitraannya selama ini. Entah siapa pula yang menganjurkan atau membiarkan Fify Lety Indra, adik Ahok yang Notaris dan tidak tercantum di Surat Kuasa kepada sejumlah pengacara, untuk membacakan Nota Keberatan. Untuk apa, efek dramatis? Perjuangan bersama keluarga?Â
Kemudian menyebarkan foto Ahok dipeluk saudara angkat bukan muhrimnya, yang lebih celaka lagi beredar foto-foto belakang layar menunjukkan penyutradaraan foto itu dan Ahok yang tertawa bersama orang-orang di ruangan tersebut. Begitu konyolnya sampai pertanyaan yang paling urgent adalah : memangnya tidak disaring dengan baik siapa saja yang berada di sekitar?
Saat ini tidak asyik lagi membahas Ahok. Seperti kata Kompasianer Gatot Swandito, Ahok ibarat buto cakil yang ngga usah diapa-apain, ntar dia bunuh diri dengan senjatanya sendiri. Ahok sudah sempoyongan tanpa Sunny. Alih-alih operator dan korlap yang diam tapi kerja keras seperti Sunny, kini Ahok dikelilingi vendor pengejar fee nan dodol, buzzer-buzzer yang ribut dan sibuk menonjolkan diri sendiri, dan menerima nasehat/masukan yang pada salah kaprah. Ahok diajak memposisikan diri seperti mereka, saat Ahok adalah minoritas Tionghoa Kristen sementara mereka agama dan etnis mayoritas; saat Ahok adalah Gubernur pemimpin seluruh rakyat DKI sementara mereka cuma selebtwit dengan puluhan ribu umat akun bot dan anonim; saat Ahok punya banyak yang dipertaruhkan sementara mereka tinggal tutup akun lalu buka akun baru. Berlomba-lomba buzzer ini show-off jasa, foto bersama, kedekatan serta tindakan Ahok mengikuti opini mereka; untuk popularitas diri sendiri.Â
Silakan sejumlah pendukung cinta matek termasuk akun-akun bot yang baru diciptakan tahun 2016 yang memenuhi Kompasiana akhir-akhir ini terus bermimpi. Termasuk cewek itu yang masih fatamorgana Ahok bisa jadi Presiden. Ahok sudah Tamat. Melawan Anies dan Agus saja sudah susah tanpa blunder yang dibuat sendiri. Apabila Ahok mawas diri sepeninggal Sunny, mestinya Ahok tidak seterpuruk ini.Â
Banyak pemimpin yang gugur gegara mendengarkan bisikan yang keliru, lalu melepas rudal pencari panas yang akhirnya menancap di bokong sendiri. Sedih memang, dan Ahok bukanlah yang pertama. Juga bukan yang terakhir.
GTS, 16 November 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H