Ahok dan teman, konco, timses dan tim sosmed, acapkali berjualan betapa Ahok meskipun Cina, tapi cinta Indonesia. Maka tulisan ini bertujuan membahas dua kata ini : CINA, dan CINTA. Contoh yang dipakai tentunya harus kasus yang terkini, yakni kasus Sumber Waras dimana BPK melaporkan bahwa pengeluaran pembelian tanah senilai Rp 800 miliar tersebut selain kemahalan juga penuh dengan pelanggaran, UU dan Pergub ditabrak semua.
Contoh satunya lagi adalah kasus Kampung Pulo, dimana Ahok menggusur warga miskin penghuni Kampung Pulo yang disebutnya penjarah tanah negara dan pengemplang sungai, yang ditengarai marak pelanggaran HAM. Ahok tentu saja tidak terima dibilang melanggar HAM. HAM dalam pengertian Ahok adalah siap membunuh 2000 orang demi 10 juta orang, di luar itu HAM lain adalah HAMburger.
Apabila bicara tentang Sumber Waras, maka tidak bisa lepas dari perkumpulan Sin Ming Hui, yang hari ini kita kenal sebagai Perhimpunan Sosial Candra Naya. Sin Ming Hui didirikan pada tahun 1946 oleh 9 orang Tionghoa yang bekerja di harian Sin Po dan Keng Po. Pada masa Indonesia merdeka masih belum genap setahun, rakyat sangat menderita, oleh karena itu ada cita-cita luhur Sin Ming Hui untuk mengabdi kepada Indonesia di bidang sosial kemasyarakatan antara lain dengan menyediakan pelayanan kesehatan masyarakat.
Setelah 10 tahun, cita-cita Sin Ming Hui untuk memiliki Rumah Sakit mulai terwujud. Pada masa itu, seperti ditulis oleh bapak Tan Kwee Sing di dalam buku Sin Ming Hui : “Sin Ming Hui memang tidak mempunyai banyak uang dalam lemari besinya atau dalam Bank tapi begitu perlu, uang akan datang sendiri, karena apa yang kita kerjakan hanya untuk faedahnya masyarakat dan masyarakat mempunyai mata. Saya selalu anggap Sin Ming Hui ada banyak uang, tapi uangnya hanya disimpan dalam saku semua anggota masyarakat”.
Betul apa yang dikatakan bapak Tan Kwie Sing, karena pada tanggal 31 Januari 1956 uang sumbangan masyarakat yang terkumpul untuk membangun RS Sin Ming Hui mencapai Rp. 1,034,703.07 Penyumbangnya dari berbagai kalangan, ada bapak Tjan Djie Seng yang menyumbang Rp.2,-. Banyak yang menyumbang hanya lima rupiah, sepuluh rupiah, dan penyumbang bukan hanya masyarakat Jakarta saja, namun juga datang dari luar kota seperti Firma Liong Khiun Hin dari kota Pemangkat yang menyumbang Rp. 100,-. Sebuah kota yang jauh di utara kota Singkawang, Kalimantan Barat. Bayangkan, pada saat kantor bank maupun telex di Pemangkat belum ada!
Pada tahun 1956, RS Sin Ming Hui yang kini kita kenal sebagai RS Sumber Waras mulai dibangun di atas tanah yang terletak di jalan Tangerang, yang sekarang kita kenal sebagai jalan Kyai Tapa no.1. Tanah seluas 8ha tersebut menurut sumber di Candra Naya, dibeli dari Ny. janda Oey Han Nio seharga Rp 1/m2 dengan total biaya Rp 80,000. Pendiri Sin Ming Hui dapat membeli tanah tersebut dengan sangat murah karena Ny. janda Oey Han Nio sangat mendukung niat mulia Sin Ming Hui untuk mengabdi kepada masyarakat. Surat tanah tersebut oleh pendiri sengaja dipecah dua, satu dalam bentuk hak milik an. Perkumpulan Sin Ming Hui dan satu lagi bentuk HGB an. Yayasan Rumah Sakit Sin Ming Hui, dengan maksud agar kelak bila RS menjadi besar, tidak melupakan induknya (sekarang bernama Perhimpunan Sosial Candra Naya.)
Dari buku brosur Rumah Sakit Sin Ming Hui, diketahui bahwa biaya yang dihabiskan untuk mendapatkan tanah tersebut Rp 300.000,- 3x lipat dari harga tanah Rp 80.000. Mengapa? Karena pada saat itu tanah kosong ditempati oleh penggarap, maka diputuskan hak usaha para pengarap diatas tanah tersebut juga harus dibayar. Hampir 3x lipat biaya yang dikeluarkan untuk para pengarap, padahal mereka mengarap diatas tanah yang bukan miliknya. Apakah karena orang-orang Sin Ming Hui tidak mengerti hukum? Tentunya bukan, karena di Sin Ming Hui banyak ahli hukumnya termasuk alm. Meester Yap Thiam Hien. Semua karena tujuan Sin Ming Hui adalah untuk menolong orang miskin bukan tambah memiskinkan, dan mengusir penggarap gelap sama dengan memiskinkan mereka.
Sebelum bicara sebagai orang Cina yang cinta Indonesia, ada baiknya Ahok dan teman-temannya memahami dulu sejarah ini. Pendiri dan anggota Sin Ming Hui, pada masa itu adalah senyata-nyatanya CINA, semua tidak memiliki secarik kertas untuk menunjukkan dirinya WNI. Tidak seperti Ahok dan anak muda Tionghoa teman dan konconya yang sudah punya SBKRI, atau terlahir sudah langsung WNI.
RS Sin Ming Hui kemudian berubah menjadi RS Sumber Waras melalui perjalanan sejarah yang cukup panjang. Nama Sumber Waras sendiri merupakan nama yang istimewa, singkatan dari ‘Sumbangan Berasal Warga Asing’. Ironisnya hari ini Yayasan dan RS Sumber Waras bisa dikuasai oleh konglomerat Kartini Muljadi, wanita terkaya di Indonesia menurut Forbes. Sebagian dari tanah hasil sumbangan warga Sin Ming Hui untuk pelayanan kesehatan masyarakat itu dijual CASH Rp 755 miliar oleh Kartini Muljadi dan Yayasan, kepada Pemprov DKI yang disetujui Ahok, dibayar dengan uang pajak rakyat di APBD DKI !
Ahok yang bersikeras tidak akan membayar sesen-pun kepada warga Kampung Pulo, apabila mau melihat sejarah Cina benar-benar CINTA INDONESIA seperti para pendiri Sin Ming Hui, bisa berkaca bagaimana pada masa itu, dengan uang sendiri, membayar penggarap gelap di atas tanah RS. Sementara Ahok sebagai pejabat publik, yang sepatutnya adalah pelaksana pasal 34 UU : ‘fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara’, menolak menggunakan dana APBD untuk mengganti kerugian dan menyantun warga Kampung Pulo yang sudah turun-temurun hidup di sana.
Ahok memindahkan mereka ke apartemen untuk membayar sewa, setelah membuldozer rumah yang mereka tinggali turun-temurun, setiap Rupiah yang mereka investasikan ke dalam setiap paku dan papan. Apakah yang disebut manusiawi dan tidak memiskinkan, jika hak-hak orang tidak sesenpun dibayar, orang yang tadinya punya tempat tinggal kini diminta membayar sewa seumur hidup?
Tapi Ahok dengan murah hatinya membayar Rp 755 miliar kepada konglomerat Kartini Muljadi, untuk sepotong tanah di belakang Mal Roxy Square, di sebelah perkampungan padat penduduk, tanpa akses masuk dan tidak siap bangun. Harga itu menurut BPK kemahalan dan menyebabkan kerugian negara Rp 191 miliar. Menurut BPK juga, pada saat pembelian itu RS Sumber Waras menunggak PBB. Sementara warga Kampung Pulo, sebagian tercatat membayar PBB. Mereka dibuldoser Ahok, sementara konglomerat penunggak PBB dibeli tanahnya dengan mahal dan diberi CASH Rp 755 miliar! Belum lagi ada Rp 40 miliar biaya pembelian, di antaranya Notaris kecipratan Rp 8,5 miliar.
Andaikan ada sedikit hati nurani Ahok, apabila 1000KK yang digusur tersebut disantun Rp 50 juta, semuanya hanya Rp 50 miliar. Tidak ada artinya dibanding kerugian negara Rp 191 miliar yang dikantongi konglomerat berkat kemurahan hati Ahok.
Sangat perlu ditanyakan dimana rasa cinta Ahok bersemayam, apakah di rakyat miskin atau pro konglomerat. Kita ketahui bahwa warga miskin pemilik tanah di DKI ini dicekik Ahok dengan pajak yang tinggi. Sementara konglomerat semacam Kartini Muljadi yang menunggak PBB RS Sumber Waras, tiba-tiba dapat rezeki nomplok NJOPnya naik berlipat-lipat, kemudian dibayar lagi oleh Ahok dengan harga tinggi. Di APBD Ahok terdapat anggaran triliunan untuk pembebasan tanah, untuk siapa sebenarnya anggaran tersebut apakah untuk pemilik-pemilik tanah kaya supaya saat dibebaskan bisa mengunakan NJOP baru tanah mereka yang sudah naik tinggi? Beli tanah dan beli tanah lagi untuk ruang hijau, sementara penunggak fasum-fasos semacam konglomerat Agung Podomoro bisa melenggang dengan tanah taman BMW yang bodong?
Tatkala orang menuntut Ahok apakah berani bersikap keras terhadap orang kaya, ya tentunya konglomerat seperti ini. Bukan dengan membuldozer 50 ruko milik orang kaya tanggung, hanya pertunjukan semata. Kenyataannya Ahok begitu menservis konglomerat. NJOP dinaikkan supaya aset konglomerat yang sudah banyak tambah berharga, kekayaannya bertambah, bisa dijadikan jaminan ke bank untuk kredit lebih banyak. Konglomerat nunggak PBB, mau jual tanah, dalam 2 hari langsung disetujui dengan harga kemahalan. Konglomerat mau, meminjam istilah Menteri Susi, menyumbat sungai dengan pulau, 2 bulan Ahok naik jadi Gubernur, simsalabim izin langsung diterbitkan.
Semua ini menimbulkan pertanyaan, apa benar Ahok ini benar penjaga amanat rakyat seperti yang diteriakkan pengikut dan timsesnya, jika kelakuannya seperti proxy konglomerat?
Apabila para pendiri Sin Ming Hui ada di hari ini, Cina semacam Ahok ini yang akan mereka labeli Cina murtad, ‘han-jian’ – yang dalam bahasa Indonesia adalah pengkhianat. Sejarah Sin Ming Hui sendiri mencatat, pada Juni 1946 begitu bencinya mereka terhadap dua orang hartawan Cina yang di zaman Jepang menjilat ke atas dan memeras ke bawah, nama-nama hartawan Cina tersebut mereka cetak dan sebar-luaskan dengan pertanyaan kepada masyarakat : ‘masih belum asingi orang-orang begitu?’
Tulisan ini dibuat di antara sentimen rasis dan SARA yang semakin meningkat hari-hari belakangan ini, tujuannya adalah untuk menempatkan kembali pada tempatnya. Sejarah mencatat ada banyak Cina yang setulusnya cinta Indonesia, yang diwujudkan dengan perbuatan nyata. Jangan sampai semua ini tertutup oleh kelakuan segelintir politikus yang menghalalkan segalanya demi ambisi, membuat jargon-jargon untuk propaganda diri sendiri sementara kelakuan dan perbuatannya bertolak-belakang. Ahok, teman, konco dan timsesnya adalah salah satu pengipas isu SARA ini. Saking kekurangan bahannya, tweet pemuda galau pun dibesar-besarkan dari semut menjadi gajah.
Pendukung Ahok kebanyakan adalah anak muda masa kini yang tidak pernah tahu sejarah. Kemampuannya baru sampai membuat dan menyebar-luaskan meme, video dan teks pemberhalaan Ahok. Sementara Ahok, apabila dibandingkan dengan para pendiri dan penyumbang Candra Naya yang sedemikian ikhlas kepada bangsanya terutama masyarakat lemah yang tertindas, sungguh sangat jauh.
Cintanya Ahok itu tampaknya sekedar cinta picisan semacam ABG. Yang diumbar dan diulang-ulang tanpa makna, tujuannya demi mendulang sebanyak-banyaknya KTP, membangun kekuasaan untuk dirinya sendiri.
GTS69
Links :
http://www.kompasiana.com/gts69/ahok-membuat-indonesia-mundur-50-tahun_55dff0cc92fdfd8411dbd6af
http://koran.tempo.co/konten/2015/08/29/381212/Rebutan-Lahan-Kyai-Tapa
http://majalah.tempo.co/konten/2015/08/24/HK/148853/Penjara-di-Tengah-Sengketa-Lahan/26/44
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI