Para pembaca yang sering bepergian ke Puncak tentu tidak jarang melihat beberapa orang sedang melakukan kegiatan paralayang di udara. Dari bawah kita bisa melihat payung-payung mereka yang berwarna-warni meliuk-liuk di udara. Saya selalu berdecak kagum melihat mereka yang berani melakukan olahraga seperti ini. Seperti biasa saya merasakan dorongan kuat dalam diri saya untuk mencobanya.
Beberapa kali saya mencoba untuk mencari tahu di mana bisa mencoba paralayang, sampai akhirnya saat sedang melintas di jalan menuju Puncak, saya menemukan 'sign post' yang menunjukkan tempat untuk melakukan kegiatan ini. Tanpa menunda-nunda waktu, saya pun segera mengarahkan mobil ke tempat itu. Â
Setelah memarkir mobil di area parkir, saya pun menapaki tangga yang menuju ke bukit paralayang. Di sana saya melihat beberapa orang sedang bersiap-siap untuk terbang. Melihat mereka menggendong payung mereka, membuat saya tersenyum, karena parasut yang mereka gendong kelihatan lucu karena seolah-olah memiliki ekor, seperti ekor kumbang.Â
Tentu saja hasil jepretan saya tidak lupa saya unggah di laman FB dan IG saya, dan rupanya salah seorang teman saya yang ternyata seorang master paralayang melihat unggahan saya. Dia kemudian mengajak saya untuk mencoba terbang tandem dengannya. Setelah saling japridi WA, kami setuju untuk bertemu di bukit paralayang setelah dia kembali dari pertandingan paralayang internasional di luar negeri.
Hari yang sudah disepakati pun tiba. Setelah bertukar pesan melalui WA, saya meninggalkan Bogor pada pagi hari agar tidak terkena macet. Hari itu adalah hari kerja jadi lalu-lintas tidak sepadat saat akhir pekan. Sesampai di bukit paralayang, teman saya belum tiba, rupanya dia masih 'jetlag'. Setelah menunggu beberapa waktu, teman saya itu pun tiba.Â
Namun dia membawa kabar yang membuat saya menjadi patah semangat. Dia mengatakan bahwa angin yang bertiup tidak mendukung untuk terbang, jadi kami harus menunggu. Cukup lama kami menunggu angin yang bagus. Bukit Paralayang pun masih sepi pengunjung, hanya dua tiga orang yang ada di sana. Akhirnya sekitar jam 1 siang angin baik itu pun tiba. Pengunjung satu demi satu mulai berdatangan, tapi belum ramai.
Teman saya segera meminta anak buahnya untuk menyiapkan parasutnya. Rupanya ekor di parasut yang nampak menyerupai ekor lebah ternyata berfungsi sebagai tempat duduk. Setelah mengenakan peralatan yang diperlukan untuk terbang, saya diberitahu agar mendengarkan aba-aba darinya saat akan terbang.Â
Jadi dia mengatakan jalan, lalu lari, dan saat sudah melewati tebing jangan langsung duduk. Namun saat sudah jalan dan belum sempat berlari, kami sudah berada di udara. Saya pun langsung duduk. Dia mengendalikan parasut ke kiri, ke kanan, naik, turun. Takut? Awalnya ya, tapi lama kelamaan, saya sangat menikmati pemandangan yang ada di bawah saya. Tiga puluh menit cepat berlalu, rasanya kami baru saja terbang tapi harus segera mendarat. Pendaratannya sangat mulus.
Rupanya tempat ini sangat populer di kalangan wisatawan Timur Tengah. Menurut teman saya, tempat ini selalu ramai dengan turis-turis Timur Tengah, kecuali bulan puasa. Maka tidak heran kalau para pedagang yang berjualan di situ bisa sedikit-sedikit berbahasa Arab.
Hari sudah semakin sore dan pengunjung juga semakin banyak, saya memutuskan untuk pulang. Puas rasanya, satu dari banyak keinginan saya sudah terlaksana. Masih ingin melakukannya lagi? Sudah pasti. Jika ada kesempatan lagi, pasti saya akan mencoba lagi. Saya masih akan tetap tandem dengan tandem master karena untuk menerbangkan parasut sendiri, saya harus belajar dulu dan tidak mudah tentunya. Jika pembaca tertarik untuk mencoba paralayang, salah satu tempat yang bisa dicoba adalah di kawasan Puncak ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H