Setiap pagi pada jam 5:30 sampai jam 6:30 di sepanjang jalan utama di pusat kota Luang Prabang selalu dilakukan upacara yang disebut 'Alms Giving Ceremony'. Dalam upacara ini para biksu dari berbagai 'vat' berjalan berbaris dan masing-masing mengenakan baju biksu berwarna jingga, serta membawa sebuah tempat untuk menampung pemberian dari penduduk yang sangat taat pada agama Buddha.Â
Para biksu ini akan mendapatkan sekepal nasi ketan dari para penderma yang duduk bersimpuh di tepi jalan saat memberikan sedekah tersebut. Sedekah ini nantinya akan mereka makan dan sebagian akan mereka berikan kepada orang-orang miskin. Oleh karena itu tidak heran jika tidak ada peminta-minta yang berkeliaran di jalanan di kota ini. Walaupun mereka miskin, makanan mereka sudah tercukupi. Andai saja di Indonesia bisa seperti itu.
Pagi itu jam 5:30 saya pergi dari hotel menuju jalan besar tempat upacara 'Alms giving' tersebut berjalan. Di tepi jalan saya melihat beberapa penduduk lokal sudah duduk bersimpuh dengan makanan yang akan diberikan kepada para biksu. Mereka menggunakan pakaian sopan.
Para lelaki mengenakan celana panjang dan selendang yang diselempangkan di bahunya, sementara yang perempuan mengenakan kain tradisional Lao dan umumnya atasan putih, juga mengenakan selendang yang diselempangkan di bahunya. Mereka duduk bersimpuh menantikan para biksu berjalan melewati mereka. Di sepanjang jalan itu juga disediakan bangku-bangku kecil untuk para wisatawan yang ingin ikut serta dalam upacara tersebut.
Di jalan, saya juga melihat para wisatawan sudah menunggu upacara tersebut. Beberapa wisatawan 'bule' yang mengenakan celana pendek berdiri di kejauhan sambil menenteng kamera. Di bagian lain saya juga melihat beberapa penjual makanan menawarkan makanan kepada para wisatawan agar mereka mau ikut serta dalam upacara tersebut.
Namun yang terjadi di lokasi, banyak wisatawan dari Korea dan China yang memotret mereka dari dekat dan tidak sedikit perempuan yang mengenakan celana pendek. Saya hanya bisa bertanya-tanya, apakah mereka tidak bertanya kepada pemandu atau staf hotel atau membaca di situs internet tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan pada saat melihat upacara ini?
Dari kejauhan saya lihat para biksu ini keluar dari 'vat' masing-masing dan berjalan berbaris di 'trotoir'. Mereka akan membuka tempat yang mereka bawa saat penduduk memberikan nasi ketan kepada mereka.
Barisan biksu ini telihat indah dan unik. Namun, kesakralan upacara ini seakan terasa berkurang dengan banyaknya wisatawan yang memotret mereka dari dekat. Padahal mereka bisa menggunakan 'zoom' untuk mengabadikan upacara ini agar kesakralannya tetap terjaga. Sekarang sepertinya upacara ini sudah menjadi sebuah komoditi wisata.
Sama halnya jika ada wisatawan yang berkunjung ke Indonesia dan tidak menghormati budaya kita, tentu kita akan merasa tidak senang. Saya rasa para biksu itu juga akan merasa tidak senang jika kita mengusik kesakralan tradisi mereka.
Setelah melihat upacara tersebut, kami kembali ke hotel untuk mandi lalu kemudian sarapan. Sarapan yang disediakan cukup enak dan sangat mengenyangkan.
Setelah bertanya kepada staf hotel tentang air terjun Kuang Si yang jaraknya 26 km dari kota Luang Prabang, kami lalu menyewa taksi untuk ke sana. Kami membayar 200.000 kip. Sebenarnya dengan tarif itu kami bisa mampir di 'elephant camp' dan juga 'butterly park' , tetapi kami hanya ingin ke air terjun Kuang Si dan mampir di perkampungan Hmong.
Kami bertiga pun berangkat naik tuk-tuk. Karena tuk-tuk itu di kiri dan kanannya terbuka, maka saat masih di kota, kami harus terpapar debu yang cukup tebal karena di sana sedang banyak pembangunan. Namun, setelah di luar kota, udaranya pun menjadi semakin bersih. Di kiri kanan kami terdapat hutan jati.
Jalanan menuju tempat itu pun bagus dan sangat sepi, seolah-olah jalan itu milik kami sendiri. Setelah hampir sekitar satu jam, kami tiba di pintu masuk menuju 'Butterfly Park' dan 'Kuang Si Waterfall'. Setelah membayar 20000 kip per orang, kami pun masuk ke Taman Nasional itu. Tempatnya teduh dan bersih.
Ada dua jalur menuju air terjun itu. Satu melalui jalan tanah, dan yang satu lagi lewat jalan yang sudah beraspal. Kami memilih jalan tanah. Tidak jauh dari situ terdapat 'bear sanctuary'. Kami berhenti dulu untuk melihat beberapa beruang. Alamak, beruang di sana gemuk-gemuk. Lucu sekali. Ada yang tiduran, ada yang mandi di kubangan, ada juga yang sekedar berjalan-jalan.
Cantik sekali. Saya pikir ini air terjunnya. Walaupun cantik agak kecewa juga rasanya saat itu karena air terjun di negara kita jauh lebih bagus dan tinggi. Beberapa wisatawan Korea mulai berfoto-foto. Ada yang masuk ke dalam air, ada yang hanya di tepi saja.
Rupanya semakin ke atas, semakin indah pemandangannya. Air terjun ini bertingkat-tingkat dan tidak dalam. Ada beberapa wisatawan yang duduk di beberapa bangku yang disediakan di dalam kolam.
Akhirnya saya sampai di air terjun utama. Wah airnya deras dan indah sekali. Beruntung saya mendapat pemandangan yang indah, karena saat sebelum berangkat saya sempat melihat foto-foto air terjun ini yang diunggah di internet dan airnya tidak sederas yang saya lihat saat itu. Tentu saja saya langsung mengambil foto sebanyak-banyaknya.
Jadi saya takut terlambat. Saya kemudian memutuskan untuk turun dan mencoba mengajak kakak dan keponakan saya untuk naik melihat air terjun utama. Sayang kalau tidak melihatnya. Akhirnya mereka pun naik dan yang pasti sangat menyukai pemandangan yang mereka lihat.
Setelah puas menikmati air terjun Kuang Si, kami memutuskan untuk kembali ke tuk-tuk. Kami mengambil rute jalan aspal. Wah beruntung ketika berangkat kami memilih jalan tanah. Jika kami mengambil rute jalan aspal, kami tidak akan melihat kolam-kolam berwarna hijau tosca yang indah.
Kami kemudian kembali menuju Luang Prabang. Di perjalanan kami berhenti sejenak di perkampungan suku Hmong untuk melihat desa mereka dan mungkin membeli hasil kerajinan mereka. Saat tiba di perkampungan Hmong, suasananya sepi sekali. Banyak yang sedang rebahan di lapak mereka. Saat melihat kami datang, mereka langsung bangun dan mulai menawarkan dagangan mereka.Â
Rupanya suku Hmong yang ada di Laos berbeda dengan orang-orang Hmong yang ada di Sapa. Di Sapa , Vietnam Utara, mereka terlihat unik dengan pakaian sehari-hari mereka yang masih tradisional, sementara di Laos mereka sudah berpakaian seperli layaknya orang-orang Laos. Tidak ada gelang kaki, gelang tangan, penutup kepala yang indah, baju hitam dll. Namun, kain yang mereka pakai adalah hasil tenunan mereka sendiri.
Tidak lama kami di kampung Hmong, kami lalu kembali ke Luang Prabang untuk beristirahat karena sore harinya kami ingin mendatangi 'night market' yang belum kami kunjungi.
Gmt26072016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H