Perempuan-perempuan itu dibantu oleh Sid dan pandai besi melakukan sebuah tarian, yang kalau menurut saya sebenarnya hanya berjalan melingkar sambil menumbuk-numbuk sesuatu. Mau menanyakan mereka menarikan tarian apa, susah juga karena mereka tidak mengerti pertanyaan-pertanyaan kami.
Kami pun masuk ke salah satu rumah tradisional yang ada di sana milik seorang kakek yang sangat lucu dan ramah. Rupanya di rumah orang-orang Akha, kamar dan ruangan untuk laki-laki dan perempuan dipisah. Bagian wanita dilengkapi dengan tungku memasak, sementara yang laki-laki tidak. Biarpun mereka sudah menikah, mereka tetap tidur terpisah.Â
Tentu saja saya penasaran apakah anak-anak kecil juga harus tidur terpisah. Wah untuk menanyakan hal tersebut perlu perjuangan karena harus menunjukkan dengan gerakan tubuh dan berkali-kali sampai akhirnya dia mengerti. Selain melihat kamar-kamar di dalam rumah, kami juga ditunjukkan beberapa perangkap burung dan tikus. Walaupun kami berkomunikasi dengan bahasa yang berbeda dan gerakan tubuh, kami dan kakek itu bisa tertawa-tawa di dalam rumah itu.Â
Kami kemudian diajak berjalan menanjak dan tanpa kami sadari kami sudah sampai di jalan raya. Rupanya kami sudah diajak mengelilingi sebagian desa mereka. Kami lalu berjalan menuju rumah bambu yang ada di tepi jalan tempat Addie memarkir mobil yang kami pakai. Kami disuguhi teh oleh Sid. Gelasnya terbuat dari bambu, lucu sekali. Mirip gelas bambu suku Baduy tetapi ukurannya mini. Setelah melepas lelah, kami kemudian melihat barang-barang kerajinan yang dipajang di sekitar rumah. Kami membeli beberapa barang karena memang bagus tenunannya dan juga untuk membantu desa mereka.
Dari desa Akha kami melanjutkan perjalanan menuju Doi Mae Salong. Jalanan semakin berliku dan pemandangannya lumayan indah. Suhunya cukup sejuk tetapi masih lebih sejuk Puncak. Padahal di sana bulan Juli adalah musim hujan tetapi udaranya tidak begitu sejuk. Doi Mae Salong adalah tempat pemukiman penduduk keturunan Cina yang berasal dari Yunan yang melarikan diri ketika Kuomintang dikalahkan oleh Mao Tse Tung. Suasana di sini berbeda dengan suasana di daerah-daerah lain di Thailand. Suasana Cina terasa sangat kental. Kami kemudian dibawa naik ke sebuah bukit. Di bukit tersebut ada sebuah makam dari seorang pahlawan Cina. Dari bukit tersebut kita bisa melihat Doi Mae Salong dari atas. Pemandangannya cukup lumayan.
Ternyata benar perempuan tua itu berasal dari suku Lisu. Nenek ini menunjukkan dan menawarkan barang-barang dagangannya. Kami pun merasa iba dan membeli beberapa gelang tenun darinya. Â Kami kemudian meminta izin untuk dapat berfoto bersamanya. Aduh ternyata nenek ini genit juga, dia segera merapikan tutup kepala, rambut dan pakaiannya lalu berpose bersama kami. Lucu sekali nenek ini dan baik hati pula. Anaknya pun kami ajak berfoto bersama. Walaupun malu-malu karena pakaiannya berlubang-lubang, namun akhirnya dia mau juga.