Mohon tunggu...
G Tersiandini
G Tersiandini Mohon Tunggu... Lainnya - Mantan guru di sekolah internasional

Mantan guru, penikmat kuliner dan senang bepergian.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Menyempatkan Waktu Mengunjungi Desa Akha dan Doi Mae Salong

22 Juli 2016   18:16 Diperbarui: 22 Juli 2016   18:28 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pandai Besi
Pandai Besi
Sesudah menyaksikan pandai besi membuat parang, saya melihat beberapa perempuan Akha mengenakan pakaian tradisional yang seronok berjalan menuju sebuah tempat. Pakaian mereka menarik sekali, meriah. Rupanya mereka akan menunjukkan sebuah tarian kepada kami. Sepertinya desa ini memang dirancang untuk menarik wisatawan, jadi semuanya sudah diset. 

Perempuan-perempuan itu dibantu oleh Sid dan pandai besi melakukan sebuah tarian, yang kalau menurut saya sebenarnya hanya berjalan melingkar sambil menumbuk-numbuk sesuatu. Mau menanyakan mereka menarikan tarian apa, susah juga karena mereka tidak mengerti pertanyaan-pertanyaan kami.

Perempuan Akha bersiap-siap menari
Perempuan Akha bersiap-siap menari
Menari untuk para pengunjung
Menari untuk para pengunjung
Saat mereka selesai menari untuk kami, di belakang kami sudah menunggu pengunjung lain. Perempuan-perempuan ini kemudian menari lagi untuk pengunjung berikutnya. Sementara yang lain menari, Sid menemani kami menuju tempat yang biasanya dipakai oleh para perempuan untuk menenun. Seorang perempuan Akha menunjukkan bagaimana cara memintal benang. Wah unik sekali, berbeda dengan cara-cara lain yang pernah saya lihat sebelumnya. Benang itu dia pelintir beberapa kali, kemudian dia pelintir-pelintir lagi di pahanya berkali-kali. Menarik!

Memintal benang
Memintal benang
Sid dan perempuan pemintal benang
Sid dan perempuan pemintal benang
Sid kemudian mengajak kami berjalan lebih jauh lagi memasuki desa. Wah rupanya rumah-rumah mereka sudah tidak lagi terbuat dari bambu, melainkan sudah berdinding tembok. Rumah-rumah tersebut juga memiliki garasi dan mobil di dalamnya. Mereka juga sudah mengendarai motor. Ada beberapa rumah tradisional yang masih dipertahankan untuk daya tarik wisata.

Kami pun masuk ke salah satu rumah tradisional yang ada di sana milik seorang kakek yang sangat lucu dan ramah. Rupanya di rumah orang-orang Akha, kamar dan ruangan untuk laki-laki dan perempuan dipisah. Bagian wanita dilengkapi dengan tungku memasak, sementara yang laki-laki tidak. Biarpun mereka sudah menikah, mereka tetap tidur terpisah. 

Tentu saja saya penasaran apakah anak-anak kecil juga harus tidur terpisah. Wah untuk menanyakan hal tersebut perlu perjuangan karena harus menunjukkan dengan gerakan tubuh dan berkali-kali sampai akhirnya dia mengerti. Selain melihat kamar-kamar di dalam rumah, kami juga ditunjukkan beberapa perangkap burung dan tikus. Walaupun kami berkomunikasi dengan bahasa yang berbeda dan gerakan tubuh, kami dan kakek itu bisa tertawa-tawa di dalam rumah itu. 

Rumah tradisional Akha
Rumah tradisional Akha
rumah-tradisional-1-5791f396d39273c3090dc5ac.jpg
rumah-tradisional-1-5791f396d39273c3090dc5ac.jpg
rumah-tradisional-2-5791f3b4947e61850affcea2.jpg
rumah-tradisional-2-5791f3b4947e61850affcea2.jpg
Rumah modern
Rumah modern
Ruangan bagian perempuan
Ruangan bagian perempuan
Ruangan untuk laki-laki
Ruangan untuk laki-laki
Kakek nan lucu dan baik hati menunjukkan perangkap burung dan tikus
Kakek nan lucu dan baik hati menunjukkan perangkap burung dan tikus
Setelah dari rumah kakek, Sid membawa kami ke bagian-bagian kampung yang lain. Kami melewati sebuah gereja. Orang-orang Akha beragama Kristen, sehingga tidak mengherankan jika di desa mereka terdapat sebuah gereja. Kami juga dibawa ke sebuah sumur. Sumur itu hanya dapat digunakan jika sedang ada upacara, jadi dianggap sebagai sumur suci. Jadi, walaupun mereka sudah beragama Kristen, mereka tetap mencampurnya dengan kepercayaan-kepercayaan tradisional. Menurut saya ini sah-sah saja. 

Kami kemudian diajak berjalan menanjak dan tanpa kami sadari kami sudah sampai di jalan raya. Rupanya kami sudah diajak mengelilingi sebagian desa mereka. Kami lalu berjalan menuju rumah bambu yang ada di tepi jalan tempat Addie memarkir mobil yang kami pakai. Kami disuguhi teh oleh Sid. Gelasnya terbuat dari bambu, lucu sekali. Mirip gelas bambu suku Baduy tetapi ukurannya mini. Setelah melepas lelah, kami kemudian melihat barang-barang kerajinan yang dipajang di sekitar rumah. Kami membeli beberapa barang karena memang bagus tenunannya dan juga untuk membantu desa mereka.

Dari desa Akha kami melanjutkan perjalanan menuju Doi Mae Salong. Jalanan semakin berliku dan pemandangannya lumayan indah. Suhunya cukup sejuk tetapi masih lebih sejuk Puncak. Padahal di sana bulan Juli adalah musim hujan tetapi udaranya tidak begitu sejuk. Doi Mae Salong adalah tempat pemukiman penduduk keturunan Cina yang berasal dari Yunan yang melarikan diri ketika Kuomintang dikalahkan oleh Mao Tse Tung. Suasana di sini berbeda dengan suasana di daerah-daerah lain di Thailand. Suasana Cina terasa sangat kental. Kami kemudian dibawa naik ke sebuah bukit. Di bukit tersebut ada sebuah makam dari seorang pahlawan Cina. Dari bukit tersebut kita bisa melihat Doi Mae Salong dari atas. Pemandangannya cukup lumayan.

Doi Mae Salong
Doi Mae Salong
Pemandangan Doi Mae Salong dari atas bukit
Pemandangan Doi Mae Salong dari atas bukit
Dari sana kami kemudian turun dan menuju restoran Yunan yang sudah dijanjikan oleh Addie. Dalam perjalanan kami melihat beberapa lapak milik suku Akha yang menjajakan barang-barang kerajinan mereka. Saya juga sempat melihat suku pedalaman lainnya. Addie membawa kami ke sebuah tempat parkir dan memarkir mobil. Saat kami turun, kakak saya melihat seorang perempuan tua dengan pakaian tradisional. Kami bertanya kepada Addie apakah dia berasal dari suku Lisu dan rupanya Addie juga tidak tahu. Kami lalu berjalan mendekat. Perempuan tua yang sedang duduk itu lalu segera mengeluarkan barang-barang dagangannya. 

Ternyata benar perempuan tua itu berasal dari suku Lisu. Nenek ini menunjukkan dan menawarkan barang-barang dagangannya. Kami pun merasa iba dan membeli beberapa gelang tenun darinya.  Kami kemudian meminta izin untuk dapat berfoto bersamanya. Aduh ternyata nenek ini genit juga, dia segera merapikan tutup kepala, rambut dan pakaiannya lalu berpose bersama kami. Lucu sekali nenek ini dan baik hati pula. Anaknya pun kami ajak berfoto bersama. Walaupun malu-malu karena pakaiannya berlubang-lubang, namun akhirnya dia mau juga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun