Sebenarnya ikut dalam sebuah tur ketika bepergian kurang begitu saya sukai, karena tempat-tempat yang dikunjungi banyak, namun waktu yang disediakan untuk mengunjungi suatu tempat sangat terbatas. Jadi seolah-olah kita hanya mengejar target, pokoknya tempat-tempat yang dikunjungi banyak.
Namun, dalam perjalanan kali ini saya harus menerima fakta bahwa kesulitan memahami bahasa setempat dapat menjadi hambatan. Oleh karena itu mengikuti tur adalah pilihan yang tepat, walaupun sebenarnya ada beberapa tempat yang tidak menarik bagi saya dan ada tempat-tempat yang justru sangat menarik tetapi waktu yang disediakan sangat terbatas.
Bersama seorang kakak dan keponakan saya, kami kemudian memesan paket tur dari hotel  Na Rak O Resort, tempat kami menginap. Pada sekitar jam 8:30 pagi kami sudah dijemput oleh pemandu kami yang bernama Addie. Di luar sudah menunggu beberapa orang yang berasal dari Perancis dan Spanyol yang juga akan ikut tur ini. Setelah menjemput dua orang peserta lagi yang tinggal di hotel lain, kami segera menuju 'White Temple' yang juga dikenal sebagai Wat Rong Khun oleh orang lokal.
Dalam perjalanan menuju tempat ini, pemandu kami bercerita tentang pembangunan kuil ini. Dikatakan bahwa kuil ini dibangun oleh Chalermchai Kositpipat, seorang seniman lulusan Inggris. Ketika dia kembali ke Thailand dia merasa bahwa sebuah kuil sebaiknya tidak berwarna merah dan emas, melainkan putih, karena putih melambangkan kesucian.
Setelah meminta izin dari penduduk di sekitar kuil tersebut dan mendapat persetujuan dari mereka, mulailah dia mengubah kuil yang tadinya berwarna merah dan emas itu menjadi putih. Orang-orang yang pada awalnya tidak setuju akhirnya malah mendukung setelah kuil itu justru mendatangkan uang bagi masyarakat di sekitar.
Jadi pahatan-pahatan yang ada di luar kuil itu ternyata berupa tangan-tangan yang terjulur dan juga muka-muka manusia. Ini melambangkan neraka, sementara kuil utama merupakan surga. Jadi setelah kita menyeberangi jembatan menuju surga, kita jangan kembali ke bawah melalui jembatan itu, melainkan harus melalui jalan di samping kuil. Kuil ini juga ditempeli kaca-kaca kecil, sehingga kelihatan berkilauan terutama saat matahari bersinar terang.
Menarik sekali bagaimana dia menggambarkan keadaan yang terjadi di dunia ini di dinding kuil tersebut. Sayang sekali bagian dalam kuil ini tidak boleh difoto. Yang juga menarik adalah bahwa Chalermchai selalu menambahkan lukisan di dinding kuil ini. Jadi apa yang sedang menjadi 'trend' akan dia lukiskan di dinding kuil tersebut. Itulah mengapa ketika ditanya kapan kuil ini akan selesai, Chalermchai selalu mengatakan bahwa kuil ini tidak akan pernah selesai. Menarik sekali!
Ketika meninggalkan kuil utama, kita akan berjalan melalui sebuah lorong yang langit-langitnya dihiasi pecahan kaca. Indah sekali. Di bagian kanan lorong menuju pintu keluar terdapat sebuah kamar kecil yang bentuknya menyerupai kuil dan berwarna emas. Menurut pemandu kami ini adalah kamar kecil termahal di dunia.
Dari tempat ini kami melanjutkan perjalanan menuju 'Black House' atau yang oleh orang lokal lebih dikenal sebagai 'Baan Dam'. Tempat ini didirikan oleh seorang artis eksentrik yang bernama Thawan Duchanee yang sangat suka mengumpulkan binatang-binatang yang sudah diawetkan. Dulu hal tersebut masih diperbolehkan, tetapi sekarang sudah tidak lagi.
Duchanee mendirikan rumah-rumah di kompleks itu dan mayoritas berwarna hitam dengan rancangan tradisional yang khas, tetapi ada juga yang berbentuk kubah semacam rumah 'teletubis'. Rumah-rumah tersebut diisi dengan binatang-binatang yang sudah diawetkan, tulang-tulang binatang, kulit binatang dan banyak lagi.
Awalnya rumah-rumah yang berada di kompleks tersebut dibuka untuk umum, tetapi karena banyak pengunjung yang tidak menghormati peraturan yang diterapkan seperti tidak boleh menyentuh barang-barang yang dipamerkan, harus melepas sepatu ketika masuk rumah, dll., akhirnya hanya rumah utama saja yang dibuka untuk umum. Ketika masih hidup Duchanee sering tinggal di setiap rumah yang ada di kompleks itu. Setelah meninggal, 'Black House' dikelola oleh anak Duchanee.
Sayangnya kios-kios mereka kosong, rupanya mereka adalah penganut agama Kristen dan hari itu adalah hari Minggu, sehingga mereka tidak berjualan dan sedang beribadah di gereja. Agak kecewa juga rasanya karena tidak dapat bertemu dengan suku Akha ini karena saya memang berniat untuk membeli hasil kerajinan mereka.
Sesudah melewati deretan kios atau lapak milik suku Akha, sampailah kami di suatu gubuk kecil. Rupanya ini merupakan loket untuk memasuki desa suku Karen. Setelah membayar uang sebesar THB 300 per orang, kami pun berjalan menuju ke perkampungan suku Karen tersebut. Di situ terlihat jejeran saung yang berisi hasil-hasil kerajinan suku Karen.
Saat singgah di saung pertama, kami melihat seorang suku Karen yang sangat cantik dengan memakai cincin leher sedang menenun. Kakak saya dan saya sempat meragukan apakah dia benar-benar suku Karen, atau hanya seseorang di daerah itu yang sengaja dipajang di sana karena berwajah cantik.
Kalau melihat bentuk tubuhnya, agak meragukan. Biasanya suku Karen yang memakai cincin leher bahunya akan terlihat turun dan dagungya terangkat ke atas. Sementara perempuan ini tidak seperti itu.
Ternyata cincin leher itu berbentuk 'brass coil' yang dililitkan di leher mereka. Awalnya satu atau dua, lama kelamaan akan ditambah terus. Beratnya bisa mencapai 8 kg lebih. Cincin leher yang saya coba yang belakangnya bolong saja sudah berat, apalagi cincin leher yang mereka pakai. Hebat orang-orang ini dapat bertahan hidup dengan menggunakan cincin leher yang berat tersebut.
Nah apakah dengan memakai cincin leher tersebut leher mereka menjadi panjang? Ternyata tidak. Beban yang berat tersebut justru membuat tulang bahu yang menopangnya menjadi turun, sehingga leher terlihat jenjang. Oleh karena itu mereka disebut sebagai 'long neck Karen'. Padahal leher mereka tidak memanjang. Lalu mengapa mereka memakai cincin tersebut? Ternyata banyak pendapat tentang asal mula mengapa mereka memakai cincin leher.
Ada yang mengatakan untuk menunjukkan status sosial karena semakin banyak cincin di leher semakin kaya orang itu (katanya dulu yang digunakan adalah emas). Ada lagi pendapat yang mengatakan bahwa semakin panjang leher seseorang, semakin dia terlihat cantik dan menarik . Juga ada yang berpendapat bahwa cincin leher itu digunakan agar mereka tidak dijadikan budak oleh suku lain karena dengan cincin di leher, mereka justru terlihat tidak menarik.
Pendapat lain mengatakan bahwa cincin leher tersebut digunakan untuk melindungi anak-anak perempuan  dari serangan harimau, tetapi walaupun harimau sudah jarang ditemukan kebiasaan memakai cincin leher tersebut tetap diteruskan. Jadi mana yang benar, silakan Anda pilih yang mana.
Apakah mereka pernah melepaskan cincin leher tersebut? Tentu saja. Pemandu kami mengatakan bahwa mereka melepaskan cincin leher tersebut dalam tiga peristiwa, yaitu saat mereka menambahkan cincin leher, melahirkan dan saat mereka dihukum karena menyeleweng.
Namun, ada juga yang mengatakan bahwa mereka dapat melepaskannya kapan saja, tetapi mereka tidak pernah keluar rumah tanpa cincin leher tersebut karena leher mereka memar atau lecet akibat tekanan dari cincin leher tersebut. Oleh karena itu para perempuan Karen ini menggunakan semacam bantalan tipis atau kain untuk menghidari memar dan lecet di leher.Â
Sebetulnya kasihan juga melihat para perempuan Karen ini dijadikan objek turisme. Sepertinya pemerintah Thailand menggunakan keberadaan mereka untuk menarik wisatawan.
Selesai makan, kami meneruskan perjalanan ke Mae Sai. Tempatnya tidak jauh dari restoran tempat kami makan. Kami turun dari kendaraan dekat bangunan biru yang merupakan gerbang perbatasan milik Thailand. Saat turun dari kendaraan bau sedap dari ayam yang sedang dipanggang membuat air liur ini menetes.
Kami lalu berjalan mendekati jembatan yang menghubungkan Thailand dan Myanmar. Di sepanjang jalan banyak pedagang yang menjual buah-buahan, baju, kacang-kacangan dan banyak lagi. Menurut pemandu kami, banyak orang-orang Thailand yang menyeberang ke Myanmar untuk berbelanja karena harganya murah, dan orang-orang Myanmar menyeberang ke Thailand untuk bekerja karena gajinya lebih tinggi dibanding di Myanmar. Di Mae Sai ini kami juga mampir ke salah satu toko yang menyajikan kopi yang katanya enak. Saya bukan penggemar kopi jadi saya hanya melihat-lihat di sekitar saja.
Kita juga dapat mengetahui bagaimana opium ini diproses. Contoh pohon opium juga dapat ditemui di museum ini. Ternyata bunga-bunga opium sangat indah dan berwarna-warn,i dan rupanya opium yang bagus adalah yang berasal dari bunga yang berwarna ungu tua. Menarik sekali!
Sumber foto: milik pribadi
Gmt 21072016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H