Awalnya rumah-rumah yang berada di kompleks tersebut dibuka untuk umum, tetapi karena banyak pengunjung yang tidak menghormati peraturan yang diterapkan seperti tidak boleh menyentuh barang-barang yang dipamerkan, harus melepas sepatu ketika masuk rumah, dll., akhirnya hanya rumah utama saja yang dibuka untuk umum. Ketika masih hidup Duchanee sering tinggal di setiap rumah yang ada di kompleks itu. Setelah meninggal, 'Black House' dikelola oleh anak Duchanee.
Sayangnya kios-kios mereka kosong, rupanya mereka adalah penganut agama Kristen dan hari itu adalah hari Minggu, sehingga mereka tidak berjualan dan sedang beribadah di gereja. Agak kecewa juga rasanya karena tidak dapat bertemu dengan suku Akha ini karena saya memang berniat untuk membeli hasil kerajinan mereka.
Sesudah melewati deretan kios atau lapak milik suku Akha, sampailah kami di suatu gubuk kecil. Rupanya ini merupakan loket untuk memasuki desa suku Karen. Setelah membayar uang sebesar THB 300 per orang, kami pun berjalan menuju ke perkampungan suku Karen tersebut. Di situ terlihat jejeran saung yang berisi hasil-hasil kerajinan suku Karen.
Saat singgah di saung pertama, kami melihat seorang suku Karen yang sangat cantik dengan memakai cincin leher sedang menenun. Kakak saya dan saya sempat meragukan apakah dia benar-benar suku Karen, atau hanya seseorang di daerah itu yang sengaja dipajang di sana karena berwajah cantik.
Kalau melihat bentuk tubuhnya, agak meragukan. Biasanya suku Karen yang memakai cincin leher bahunya akan terlihat turun dan dagungya terangkat ke atas. Sementara perempuan ini tidak seperti itu.
Ternyata cincin leher itu berbentuk 'brass coil' yang dililitkan di leher mereka. Awalnya satu atau dua, lama kelamaan akan ditambah terus. Beratnya bisa mencapai 8 kg lebih. Cincin leher yang saya coba yang belakangnya bolong saja sudah berat, apalagi cincin leher yang mereka pakai. Hebat orang-orang ini dapat bertahan hidup dengan menggunakan cincin leher yang berat tersebut.
Nah apakah dengan memakai cincin leher tersebut leher mereka menjadi panjang? Ternyata tidak. Beban yang berat tersebut justru membuat tulang bahu yang menopangnya menjadi turun, sehingga leher terlihat jenjang. Oleh karena itu mereka disebut sebagai 'long neck Karen'. Padahal leher mereka tidak memanjang. Lalu mengapa mereka memakai cincin tersebut? Ternyata banyak pendapat tentang asal mula mengapa mereka memakai cincin leher.
Ada yang mengatakan untuk menunjukkan status sosial karena semakin banyak cincin di leher semakin kaya orang itu (katanya dulu yang digunakan adalah emas). Ada lagi pendapat yang mengatakan bahwa semakin panjang leher seseorang, semakin dia terlihat cantik dan menarik . Juga ada yang berpendapat bahwa cincin leher itu digunakan agar mereka tidak dijadikan budak oleh suku lain karena dengan cincin di leher, mereka justru terlihat tidak menarik.
Pendapat lain mengatakan bahwa cincin leher tersebut digunakan untuk melindungi anak-anak perempuan  dari serangan harimau, tetapi walaupun harimau sudah jarang ditemukan kebiasaan memakai cincin leher tersebut tetap diteruskan. Jadi mana yang benar, silakan Anda pilih yang mana.
Apakah mereka pernah melepaskan cincin leher tersebut? Tentu saja. Pemandu kami mengatakan bahwa mereka melepaskan cincin leher tersebut dalam tiga peristiwa, yaitu saat mereka menambahkan cincin leher, melahirkan dan saat mereka dihukum karena menyeleweng.
Namun, ada juga yang mengatakan bahwa mereka dapat melepaskannya kapan saja, tetapi mereka tidak pernah keluar rumah tanpa cincin leher tersebut karena leher mereka memar atau lecet akibat tekanan dari cincin leher tersebut. Oleh karena itu para perempuan Karen ini menggunakan semacam bantalan tipis atau kain untuk menghidari memar dan lecet di leher.Â