Ketika sedang ‘ngobrol’, pemilik warung mendekati kami dan menanyakan apakah ikan yang tadi kami pesan saat kami tiba tidak jadi dimasak karena salah satu teman saya juga memesan ayam. Saat dikatakan bahwa ayam dan ikan sama-sama akan menjadi lauk makan malam kami, dia kaget. Rupanya di situ mereka percaya bahwa jika kita makan ayam sebagai lauknya, maka hanya ayam dengan sayur-sayuran atau tempe dan tahu saja yang boleh disajikan. Ayam dan ikan tidak boleh disajikan bersama-sama. Jika disajikan secara bersama-sama, mereka percaya bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi. Kami pun kaget dan berusaha untuk mengikuti kebiasaan mereka, tetapi mereka mengatakan kalau memang itu kebiasaan kami, tidak apa-apa, tetapi masyarakat di situ tidak akan melakukannya. Ini membuat kami merasa tidak enak.
Sore hari pun tiba. Satu per satu teman-teman muncul di saung. Kami lalu berjalan-jalan mengelilingi pulau. Pulau ini kecil sekali, tidak ada satu jam pulau ini sudah berhasil kami kelilingi. Setelah mengelilingi pulau, saya kemudian mencebur ke laut dan snorkeling. Saya mengambil spot yang salah jadi pemandangan yang nampak kurang bagus. Banyak karang yang rusak karena terinjak-injak, tetapi jika kita berenang semakin ke tengah pemandangannya menjadi semakin indah.
Ketika kembali ke darat, matahari sudah berancang-ancang untuk tidur. Saya cepat-cepat mengabadikan momen ini. Sementara matahari terbenam, bulan pun muncul. Hari itu bulan purnama dan cahayanya sangat terang. Setelah mandi, kami lalu makan malam dengan menu nasi, sayur, oseng tempe, ayam goreng, ikan bakar dan tentu saja sambal. Aduh, nikmat sekali rasanya.
![Menjelang matahari terbenam](https://assets.kompasiana.com/items/album/2016/05/25/sunse-57455696f192737305b48c58.jpg?t=o&v=555)
![Matahari terbenam](https://assets.kompasiana.com/items/album/2016/05/25/sunset-2-574556b2e2afbd61084bded0.jpg?t=o&v=555)
Genset di saung tempat kami duduk-duduk beberapa kali mati sehingga pemiliknya memutuskan untuk mematikannya. Begitu lampu mati, kami lalu kembali ke rumah dan tidur karena keesokan harinya kami harus kembali ke Sumenep pada pagi hari dan meneruskan perjalanan ke air terjun Toroan.
Kami bangun jam 4 pagi karena ingin melihat matahari terbit. Kami kemudian berjalan ke pantai dan menunggu matahari terbit. Kami melihat bulan perlahan-lahan tenggelam, sementara matahari yang berada di depan kami, perlahan-lahan menampakkan wahanya. Setelah itu kami kembali ke rumah untuk mandi dan bersiap-siap karena harus kembali ke Sumenep.
![Menjelang matahari terbit](https://assets.kompasiana.com/items/album/2016/05/25/menjelang-sunrise-574557c572937303139ce517.jpg?t=o&v=555)
![Matahari mulai menampakkan diri](https://assets.kompasiana.com/items/album/2016/05/25/sunrise-574557e16f7e611305d97999.jpg?t=o&v=555)
![Mesjid Agung Sumenep](https://assets.kompasiana.com/items/album/2016/05/25/merjid-agung-sumenep-5745580b42afbd6a1191c0f0.jpg?t=o&v=555)
Setelah dua jam akhirnya air terjun itu kami temukan. Itu pun secara tidak sengaja karena seorang teman secara bercanda mengatakan “tuh ada air terjun”. Dia mengatakannya sambil bercanda karena air yang dilihatnya sangat kecil. Supir kemudian menghentikan mobil dan bertanya. Ternyata benar, itu adalah tempat air terjun yang kami cari.
Supir segera memarkir kendaraan dan kami satu per satu turun menuju air terjun. Jalan menuju air terjun sangat dekat dan tidak curam. Ada dua air terjun kecil sebelum kita sampai ke air terjun utama. Sayangnya di situ samah banyak sekali bahkan menumpuk di tepian. Selain itu bebatuan yang ada di situ tajam dan licin, jadi kita harus benar-benar berhati-hati. Aliran air dari air terjun ini jatuh ke laut dan indah sekali. Andai saja tidak banyak sampah di situ, tentu akan lebih baik lagi.
![Air terjun Toroan](https://assets.kompasiana.com/items/album/2016/05/25/air-terjun-toroan-574558b2e2afbd7d064bdf22.jpg?t=o&v=555)