Mohon tunggu...
G Tersiandini
G Tersiandini Mohon Tunggu... Lainnya - Mantan guru di sekolah internasional

Mantan guru, penikmat kuliner dan senang bepergian.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Gili Labak dan Air Terjun Toroan di Madura

25 Mei 2016   15:09 Diperbarui: 25 Mei 2016   15:20 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Para nelayan sedang memperbaiki perangkap untuk menangkap rajungan

Ketika sedang ‘ngobrol’, pemilik warung mendekati kami dan menanyakan apakah ikan yang tadi kami pesan saat kami tiba tidak jadi dimasak karena salah satu teman saya juga memesan ayam. Saat dikatakan bahwa ayam dan ikan sama-sama akan menjadi lauk makan malam kami, dia kaget. Rupanya di situ mereka percaya bahwa jika kita makan ayam sebagai lauknya, maka hanya ayam dengan sayur-sayuran atau tempe dan tahu saja yang boleh disajikan.  Ayam dan ikan tidak boleh disajikan bersama-sama. Jika disajikan secara bersama-sama, mereka percaya bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi. Kami pun kaget dan berusaha untuk mengikuti kebiasaan mereka, tetapi mereka mengatakan kalau memang itu kebiasaan kami, tidak apa-apa, tetapi masyarakat di situ tidak akan melakukannya. Ini membuat kami merasa tidak enak.

Sore hari pun tiba. Satu per satu teman-teman muncul di saung. Kami lalu berjalan-jalan mengelilingi pulau. Pulau ini kecil sekali, tidak ada satu jam pulau ini sudah berhasil kami kelilingi. Setelah mengelilingi pulau, saya kemudian mencebur ke laut dan snorkeling. Saya mengambil spot yang salah jadi pemandangan yang nampak kurang bagus. Banyak karang yang rusak karena terinjak-injak, tetapi jika kita berenang semakin ke tengah pemandangannya menjadi semakin indah.

Ketika kembali ke darat, matahari sudah berancang-ancang untuk tidur. Saya cepat-cepat mengabadikan momen ini. Sementara matahari terbenam, bulan pun muncul. Hari itu bulan purnama dan cahayanya sangat terang. Setelah mandi, kami lalu makan malam dengan menu nasi, sayur, oseng tempe, ayam goreng, ikan bakar dan tentu saja sambal. Aduh, nikmat sekali rasanya.

Menjelang matahari terbenam
Menjelang matahari terbenam
Matahari terbenam
Matahari terbenam
Setelah makan, kami duduk-duduk di saung sambil ‘ngobrol’ dengan pemandangan laut yang tenang. Kami juga mengisi baterai hape kami yang nyaris habis karena pada siang hari tidak ada listrik, jadi kami hanya bisa mengisi baterai pada malam hari saat genset dinyalakan, dan itu hanya dapat dilakukan di saung. Genset hanya dinyalakan sampai jam 12 malam, sementara untuk penerangan setelah jam 12 malam, mereka menggunakan energi tenaga surya.

Genset di saung tempat kami duduk-duduk beberapa kali mati sehingga pemiliknya memutuskan untuk mematikannya. Begitu lampu mati, kami lalu kembali ke rumah dan tidur karena keesokan harinya kami harus kembali ke Sumenep pada pagi hari dan meneruskan perjalanan ke air terjun Toroan.

Kami bangun jam 4 pagi karena ingin melihat matahari terbit. Kami kemudian berjalan ke pantai dan menunggu matahari terbit. Kami melihat bulan perlahan-lahan tenggelam, sementara matahari yang berada di depan kami, perlahan-lahan menampakkan wahanya. Setelah itu kami kembali ke rumah untuk mandi dan bersiap-siap karena harus kembali ke Sumenep.

Menjelang matahari terbit
Menjelang matahari terbit
Matahari mulai menampakkan diri
Matahari mulai menampakkan diri
Jam setengah delapan pagi, perahu yang kami tumpangi kemarin tiba. Kami lalu satu persatu naik ke perahu dan berangkat menuju Sumenep. Perjalanan ke Sumenep lebih cepat dibandingkan saat menuju Gili Labak. Jam setengah sepuluh kami tiba di Sumenep. Dari sana kami menuju kota Sumenep untuk melihat masjid Agung yang ada di sana. Bangunannya unik. Warnanya kuning dengan daun pintu besar berwarna hijau. Bangunan lama ini sangat unik. Dari masjid Agung kami meneruskan perjalanan menuju air terjun Toroan.

Mesjid Agung Sumenep
Mesjid Agung Sumenep
Rupanya tidak mudah mencari air terjun ini karena supir kami ternyata belum pernah ke sana. Yang menyebalkan dia tidak mau bertanya. Padahal saat berada di restoran untuk makan siang, pemilik restoran sudah memberitahu arahnya, tetapi rupanya dia tidak mencatat atau mendengarkannya. Jadilah kami menuju arah yang salah. Setelah menghabiskan 45 menit baru dia turun dan bertanya. Rupanya dia salah jalan dan kami harus kembali lagi. Kami menghabiskan begitu banyak waktu, sementara hari semakin sore dan tiga teman kami harus sampai di Surabaya paling lambat jam 8 malam agar tidak ketinggalan pesawat.

Setelah dua jam akhirnya air terjun itu kami temukan. Itu pun secara tidak sengaja karena seorang teman secara bercanda mengatakan “tuh ada air terjun”. Dia mengatakannya sambil bercanda karena air yang dilihatnya sangat kecil. Supir kemudian menghentikan mobil dan bertanya. Ternyata benar, itu adalah tempat air terjun yang kami cari.

Supir segera memarkir kendaraan dan kami satu per satu turun menuju air terjun. Jalan menuju air terjun sangat dekat dan tidak curam. Ada dua air terjun kecil sebelum kita sampai ke air terjun utama. Sayangnya di situ samah banyak sekali bahkan menumpuk di tepian. Selain itu bebatuan yang ada di situ tajam dan licin, jadi kita harus benar-benar berhati-hati. Aliran air dari air terjun ini jatuh ke laut dan indah sekali. Andai saja tidak banyak sampah di situ, tentu akan lebih baik lagi.

Air terjun Toroan
Air terjun Toroan
Dari sana, kami segera memutuskan untuk kembali ke Surabaya danlangsung ke bandara agar ketiga teman kami tidak ketinggalan pesawat. Beruntung kami sampai di bandara tepat jam 8 malam sehingga mereka memiliki cukup waktu untuk check in, makan malam dll.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun