Pernah dengan tentang Tanakita, tempat “camping” nyaman atau sering juga disebut “glamping”, karena kita tidak harus bersusah payah memasak saat lapar atau haus dan tidur di tenda dengan alas sekedarnya? Tanakita terletak di kawasan Taman Nasional Gede Pangrango, Cisaat, Sukabumi; dengan area perkemahan seluas 2 hektar dan mampu menampung sampai 200 orang. Di sini kita bisa tinggal di tenda yang dilengkapi dengan kasur, bantal dan kantung tidur; serta bisa mandi air panas serta toilet yang lumayan bersih (tergantung jumlah pengunjung saat itu).
Sebenarnya saya sama sekali tidak berencana menginap di Tanakita, namun saat kakak saya menunjukkan sebuah foto milik temannya yang sedang menginap di Tanakita ketika liburan Natal, langsung timbul keinginan untuk menginap di sana.
Kami pun mulai mencari-cari informasi tentang tempat ini. Semakin kami baca review tentang Tanakita, semakin besar keinginan kami untuk mengunjungi tempat tersebut. Setelah mendapatkan nomor kontak mereka, kami pun mulai menanyakan kapan kira-kira kami bisa ke sana. Ternyata tempat ini banyak sekali peminatnya, dan akhirnya kami mendapatkan slot untuk tanggal 2-3 Januari. Kami lalu mencari tiket kereta api dari Bogor menuju Sukabumi. Beruntung kami masih mendapat tiket menuju Sukabumi, walaupun di kelas ekonomi. Namun, kami sama sekali tidak mendapatkan tiket pulang untuk tanggal 3 Januari pada jam yang kami inginkan. Tiket yang tersedia hanya untuk jam 5 pagi. Wah, pagi sekali. Akhirnya kami putuskan untuk menyewa kendaraan dari Sukabumi.
Setelah tiket didapat dan konfirmasi tentang transportasi untuk kembali kami dapatkan, bersama kakak dan kedua keponakan, saya pun memulai perjalanan pada tanggal 2 dengan kereta pertama yaitu jam 7:55. Ternyata mulai tahun 2016, kereta jurusan Bogor-Sukabumi hanya melayani kelas ekonomi dan kelas eksekutif sudah tidak ada lagi.
Kereta tiba di Bogor tepat waktu, namun keberangkatan ke Sukabumi mengalami keterlambatan. Kereta baru berangkat menjelang jam 8:20. Perjalanan pun terasa sangat lambat karena kereta bergerak sangat lamban. Menurut penumpang yang duduk di sebelah saya, sedang ada perbaikan rel. Pada jam 10, seharusnya kereta sudah tiba di Cisaat, namun kami belum juga sampai di Cibadak. Akhirnya kami tiba di Cibadak dan kereta pun berhenti di Cibadak sekitar setengah jam lebih, karena menunggu kereta yang berangkat dari Sukabumi lewat. Setelah kereta dari Sukabumi lewat, kereta yang kami tumpangi pun mulai berjalan, lambat sekali. Pada jam 11:30 akhirnya kami tiba di setasiun Cisaat (satu setengah jam terlambat dari jadwal yang tertera di tiket).
Di setasiun, supir angkot rekanan Tanakita sudah menunggu. Kami kemudian melanjutkan perjalanan menuju Tanakita. Sampai Tanakita, jam sudah menunjukkan pukul 12 siang. Saat tiba di Tanakita, kami disambut dengan ramah oleh Pak Nding. Kami langsung ditawari minum dan makanan kecil yang tersedia di sana. Sebenarnya waktu “check in” adalah jam 2 siang, tetapi ketika kami tiba, tenda kami sudah siap sehingga kami bisa langsung memasukkan barang-barang bawaan kami ke tenda. Kami mendapatkan tenda paling ujung di lapangan dekat area utama. Sebenarnya ada tiga tempat, yaitu di dekat area utama yang terletak di area paling atas, kemudian ada lagi area di bawahnya dan ada satu lagi di area paling bawah. Awalnya kami ingin menempati tenda yang ada di area paling bawah, namun kami akan berada di sana sendirian. Akhirnya kami pun menempati tenda yang ada di bagian paling atas tersebut.
Tidak lama kemudian Pak Nding mendekati saya dengan seorang pemandu yang bernama Kang Cilpley dan mengatakan bahwa Kang Cipley yang akan mengantarkan kami pergi ke Curug Sawer. Kami menunggu sampai hujan reda dan berangkatlah kami menuju Curug. Baru saja berjalan sampai gerbang Taman Wisata, hujan turun kembali. Kang Cipley memberi saya dan keponakan laki-laki saya jas hujan, karena hanya kami berdua yang tidak memakai “jacket” tahan air; dan kami kembali meneruskan perjalanan.
Setelah berjalan naik dan turun selama 45 menit, akhirnya sampailah kami di Curug Sawer. Suasananya agak gelap karena memang sudah sekitar jam 2:30 dan berkabut karena masih gerimis. Saya melihat beberapa orang turun ke curug walaupun sudah diperingatkan untuk tidak berenang di curug karena berbahaya. Beberapa lagi sibuk berfoto-foto dengan latar belakang curug. Curug ini cukup tinggi dan aliran airnya deras dan dingin. Sungai yang mengalir pun terlihat indah.
Setelah tiba di Tanakita, kami langsung kembali ke tenda dan bersiap-siap untuk mandi. Kamar mandi terletak agak jauh dari tenda dan tepat berada di bawah area makan. Tersedia empat kamar kecil dan empat kamar mandi dengan air panasdan dingin, serta empat wastafel. Saat itu air panasnya sempat habis karena pengunjung cukup banyak, jadi kami mandi dengan air dingin. Brrrrrr. Rupanya di area bawah juga tersedia satu area mandi yang terdiri dari tiga kamar mandi, dua kamar kecil dan dua wastafel. Kami baru mengetahuinya keesokan harinya saat melihat-lihat di area perkemahan yang terletak di bawah. Kamar mandi di sini memakai “gas water heater”, selain itu penggunanya juga tidak banyak, sehingga air panasnya masih berjalan dengan baik.
Sesudah mandi, kami berkumpul di area utama. Beberapa pemandu bersiap-siap membuat api unggun. Karena sedang hujan, maka api unggun diadakan di area utama yang bertenda. Jika tidak hujan, api unggun diadakan di ruang terbuka di dekat area utama. Setelah api unggun menyala, para petugas di sana membakar singkong. Selain singkong, kita juga dapat menikmati combro yang disediakan. Sambil minum teh hangat yang dengan bebas dapat kita buat, saya menikmati hangatnya api unggun. Sementara itu kedua keponakan saya sibuk membakar marshmellow di atas api. Mereka senang sekali berada di sana karena ini adalah pertama kalinya mereka “camping”.
Setelah kembang api habis, kami kembali ke atas ke area utama. Di sana beberapa orang sedang membakar jagung. Kami pun menikmati jagung bakar dan jahe panas. Aduh nikmat sekali. Beberapa pengunjung bernyanyi-nyanyi sambil berjoget.
Kantuk mulai menyerang dan keponakan saya yang berumur empat tahun sudah tidak sabar ingin kembali ke dalam tenda. Dia ingin segera merasakan bagaimana rasanya tidur di dalam tenda, karena ini adalah pengalaman pertama baginya. Akhirnya setelah membersihkan diri, kami pun kembali ke tenda.
Keesokan harinya saya dan kakak saya bangun sekitar jam 6 pagi. Sebenarnya kami masih enggan untuk bangun, tapi kami ingin melihat matahari terbit dari danau Situgunung yang katanya indah. Sayang, saat kami berjalan ke kamar mandi, matahari sudah terbit. Akhirnya kami putuskan untuk tidak mengunjungi situ. Tidak lama kemudian bel makan pagi berbunyi dan saya segera membangunkan kedua keponakan saya untuk sarapan.
Para petugas mengajarkan anak-anak untuk membuat “pancake”. Anak-anak yang ada di sana tampak senang sekali membuat “pancake” mereka sendiri. Selain “pancake”, sarapan hari itu terdiri dari nasi goreng, ayam goreng, dan mie goreng. Juga disediakan telur dadar.
Dalam perjalanan menuju tenda, saya melihat sebuah lorong yang ketika malam sebelumnya, saat pergi ke kamar mandi saya lewati. Saya menanyakan fungsi dari lorong tersebut kepada Kang Cipley, dan dia mengajak kami masuk ke dalam lorong itu. Ternyata kami tiba di seberang, tepatnya di dapur. Jadi, lorong ini digunakan untuk mengangkut/mengirim bahan-bahan makanan agar tidak terlihat dan mengganggu pengunjung yang sedang duduk-duduk di area utama.
Dari sana saya dan keponakan saya segera kembali ke tenda dan bersiap-siap untuk mandi, karena kendaraan yang akan mengantar kami ke Bogor sudah dalam perjalanan menuju Tanakita.
Pengalaman tinggal di kemah di Tanakita serta kegiatan-kegiatan yang kami lakukan sangat menyenangkan dan tentu saja pengalaman ini tidak akan pernah kami lupakan. Disamping itu, para pemandu dan pegawai di Tanakita sangat ramah dan ringan tangan. Mudah-mudahan suatu hari nanti kami bisa kembali ke sana lagi.
Gmt07012016
Sumber foto: milik pribadi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H