Mohon tunggu...
G Tersiandini
G Tersiandini Mohon Tunggu... Lainnya - Mantan guru di sekolah internasional

Mantan guru, penikmat kuliner dan senang bepergian.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Mengunjungi Sapa di Vietnam Utara

18 Mei 2014   16:25 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:24 643
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Vietnam belakangan ini merupakan tujuan wisata bagi sebagian masyarakat Indonesia. Tempat-tempat yang dituju umumnya Ho Chi Minh City atau Hanoi. Kali ini penulis dan kakak penulis memilih Hanoi. Tetapi kunjungan ke Vietnam Utara ini belumlah lengkap jika kita tidak mengunjungi Sapa (Sa Pa), daerah pegunungan yang berada di bagian utara Vietnam yang tidak jauh dari perbatasan dengan Cina.

Biasanya wisatawan jarang menjadikan Sapa sebagai tujuan mereka, kecuali mereka yang memang menyukai “trekking” dan memiliki hobi menjelajah alam. Wisata yang ditawarkan di Sapa memang umumnya adalah “trekking”. Apakah itu mengunjungi desa-desa suku asli Sapa, air terjun atau mendaki gunung Fansipan (gunung tertinggi di Vietnam). Jadi tidak ada mall dan bukan tempat untuk membeli barang-barang bermerek terkenal.

Setelah menginap dua malam di Hanoi, kami pun melanjutkan perjalanan ke Sapa dengan menggunakan kereta malam. Kami tidak mengambil tour dari Hanoi yang ditawarkan karena kami ingin menikmati Sapa dan mengatur perjalanan kami sendiri. Kesulitan bahasa membuat kami kebingungan mencari kereta yang dimaksud karena pada saat itu ada dua kereta yang menuju Sapa. Masinis yang ada di dekat kereta yang seharusnya penulis naiki tidak bisa menjawab pertanyaan penulis. Dia menunjuk ke kereta yang satu lagi. Kami pun pergi ke sana dan sempat kebingungan. Akhirnya setelah bertanya kepada seorang Vietnam Amerika yang kebetulan melintas di situ, kami pun kembali ke kereta ruang tunggu karena kereta kami baru akan berangkat sekitar setengah jam lagi.

Kereta berangkat sekitar jam 10 malam. Setelah menemukan kabin kami, kami pun siap-siap tidur karena rasa penat. Kereta tersebut cukup nyaman dan bersih. Karena terbiasa bangun pagi, sekitar jam 5 pagi kami sudah bangun walaupun perjalanan masih sekitar 2 jam lagi. Kami pun menikmati pemandangan di luar walaupun pada saat itu sedang gerimis.

Pada jam 7 lebih kereta pun tiba di Lao Cai, setasiun kereta api terdekat dari Sapa. Kami dijemput oleh salah satu pegawai hotel tempat kami menginap. Perjalanan menuju Sapa cukup lama, sekitar satu jam. Walaupun masih gerimis, pemandangan di sepanjang jalan sangat indah dan menakjubkan. Di kiri kanan kami berdiri bukit-bukit tinggi dan hijau. Indah sekali. Kami pun melihat beberapa suku asli Sapa sedang berjalan di jalan yang menanjak. Mereka mengenakan baju hitam hitam dengan aksesoris yang menarik. Rupannya mereka adalah suku minoritas Black Hmong.

Akhirnya sampailah kami di Sapa, sebuah kota kecil yang tertata rapi yang memiliki danau di tengah kota. Bangunan-bangunan tua masih dipertahankan dan satu lagi yang sangat menarik, kota itu sangat bersih. Tidak tampak sampah berserakan di mana-mana. Berbeda sekali dengan negara kita. Suasananya teduh karena saat itu masih gerimis dan kabut masih menutupi kota. Udara saat itu cukup dingin tpadahal sudah bulan Juli dan bukan musim dingin, gugur atau semi.

Sesampai di hotel kami langsung membersihkan diri dan beristirahat sebentar. Setelah itu kami makan pagi di teras hotel. Menarik sekali melihat banyak perempuan suku Hmong yang bergerombol di depan hotel. Mereka menawarkan tas, aksesoris buatan mereka dan pernik-pernik lain. Ada juga yang berdiri bergerombol sambil “mengobrol”. Beberapa dari mereka ada yang berjongkok di tepi jalan menjajakan buah-buahan khas Sapa seperti buah persik yang sangat berbeda dari buah persik yang biasa penulis lihat. Sangat menarik.

Hari itu kami gunakan untuk berjalan ke arah desa Cat Cat. Jalanan agak licin karena masih hujan. Sepanjang perjalanan, kami diikuti oleh beberapa perempuan Hmong yang menawarkan dagangan mereka. Nada bicara mereka sangat indah dan berirama. Mereka berusaha merayu kami supaya membeli barang dagangan mereka. Mereka terus mengikuti kami sampai ke loket tempat pembelian tiket utuk masuk ke desa Cat Cat. Karena kami masih lelah dari perjalanan panjang, kami putuskan untuk kembali karena hari itu kami tidak ingin berjalan terlalu jauh.

Perempuan Hmong ini terus mengikuti kami sambil sekali-sekali bercerita. Kami pun lama-lama merasa kasihan, akhirnya kami membeli gelang darinya. Kami pikir dia akan meninggalkan kami setelah kami membeli gelangnya, ternyata dia terus mengikuti kami dan bahkan mengantar kami ke pasar tempat penjualan barang-barang buatan suku-suku minoritas di sana. Kami pun mengikutinya dan diperkenalkan kepada ibunya. Setelah tawar menawar akhirnya kami berhasil membeli beberapa buah tas dan baju khas suku Hmong. Mereka ramah sekali, tetapi mereka juga tidak segan-segan menarik calon pembeli untuk datang ke kios mereka dan membeli dari mereka. Mereka sangat ramah dan suka bercanda.
Hari kedua di Sapa kami gunakan untuk melakukan “trekking”. Kami memilih jalur yang tidak terlalu jauh (12 km). Kami memutuskan untuk pergi ke desa Lao Chai dan ikut “trekking tour”. Awalnya kami pikir kami akan dijemput oleh pemandu dan akan dibawa ke suatu lokasi dengan menaiki mobil kemudian “trekking” dimulai dari situ. Ternyata dugaan penulis salah. Kami pun mulai perjalanan kami. Jalanan yang kami lalui cukup kecil dan ternyata ada beberapa rombongan lain yang juga akan menuju Lao Chai. Masing-masing rombongan dipimpin oleh seorang pemandu yang berasal dari suku minoritas Black Hmong. Sepanjang perjalanan kami juga diikuti oleh beberapa perempuan Hmong. Anehnya mereka sama sekali tidak menawarkan barang dagangan mereka. Mereka hanya mengikuti sambil sekali-sekali mengajak berbicara.

Tiba-tiba pemandu kami mengajak kami memasuki jalan setapak. Aduh, jalan itu becek dan licin sekali setelah hujan sehari sebelumnya. Tidak sedikit wisatawan yang terpeleset dan terjatuh, termasuk penulis. Para perempuan Hmong ini membantu kami dan menunjukkan di mana kami harus memijakkan kaki agar tidak terpeleset. Mereka sangat cekatan dan amat membantu. Pemandangan yang disuguhkan begitu indah. Rasa lelah pun menguap saat mata melayangkan pandangan ke sekeliling. Terlihat gunung menjulang tinggi dan sawah yang hijau.

Setelah berjalan cukup lama naik turun bukit dan menyeberangi sungai, sampailah kami di sebuah desa yang disebut Ta Van untuk makan siang. Warung tempat kami makan terletak di tepi sungai dengan pemandangan sawah dan bukit yang hijau yang sangat menyegarkan mata. Setelah makan perjalanan diteruskan lagi. Kami diajak berjalan di pematang sawah. Tanaman padi yang mereka tanam ternyata berbeda dengan yang biasa kita lihat di sini. Setelah perjalanan yang cukup panjang tersebut akhirnya kami sampai di sebuah desa Giang Tai Chai tempat suku minoritas Red Dao. Pakaian yang mereka kenakan juga berwarna hitam dengan berbagai aksesoris tetapi topi yang mereka pakai berwarna merah. Indah sekali.
Setelah melepas lelah di desa itu, kami pun harus kembali lagi ke Sapa. Kali ini kami kembali dengan menaiki mobil. Perjalanan ini cukup melelahkan tetapi sangat berkesan.

14003771111989078238
14003771111989078238
14003778391040126497
14003778391040126497
14003780681553256865
14003780681553256865
14003783041839043281
14003783041839043281
14003786131404309344
14003786131404309344
sumber foto: pribadi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun