Pada suatu “long weekend” penulis bersama beberapa teman melakukan perjalanan menuju Tasikmalaya. Kami ingin pergi ke gunung Galunggung dan dalam perjalanan pulang akan mampir di Kampung Naga.
Kami berangkat dari Bandung sudah agak siang karena kakak dan teman penulis masih harus mengurusi proyek mereka. Sekitar jam dua siang kami pun berangkat dari Bandung menuju Tasikmalaya. Saat tiba di Garut hari sudah sore dan kami pun melanjutkan perjalanan melalui jalan berliku menuju Tasikmalaya. Hari pun semakin gelap, namun akhirnya sampai juga kami di Tasikmalaya dengan selamat. Namun kami agak kebingungan ketika mencari jalan menuju pusat kota Tasikmalaya. Setelah bertanya ke sana ke mari, akhirnya kami sampai juga di pusat kota. Kami pun mulai mencari hotel, dan akhirnya kami memilih hotel Galunggung. Hotel ini cukup bersih dan kamarnya pun cukup luas.
Setelah meletakkan barang-barang dan mandi, kami pun mencari restoran karena perut kami sudah lapar. Tak jauh dari hotel, terdapat sebuah restoran yang masih buka. Kami pun makan di restoran itu. Setelah makan, kami berjalan-jalan di sekitar hotel sampai ke kawasan Mesjid Agung. Ketika sedang berjalan-jalan, ada sebuah mobil kijang yang berhenti di tepi jalan dan memanggil-manggil penulis dan kakak penulis untuk ikut dengannya. Ih, apa dia pikir kami ini perempuan bawaan? Apakah karena kami berdua berjalan-jalan pada malam hari lalu mereka pikir kami ini perempuan penjaja diri? Sialan! Namun kami tidak menghiraukan orang itu dan terus berjalan mengelilingi Mesjid Agung tersebut. Sebelum kembali ke hotel, kami berhenti dulu untuk membeli jagung bakar yang ada di luar hotel. Kami pun kemudian kembali ke hotel untuk beristirahat.
Pagi harinya, bersama kakak, penulis keluar dari hotel untuk melihat-lihat sekitar, juga mencari makanan untuk sarapan (walaupun sebenarnya di hotel juga disediakan sarapan). Kami berjalan masuk keluar gang, kemudian melihat-lihat rumah-rumah yang ada di sana, sampai akhirnya kami menemukan jalan besar. Di jalan besar tersebut terdapat jejeran toko-toko yang tentu saja masih tutup karena masih pagi. Di sebuah sudut jalan terdapat sebuah toko mie yang baru saja buka. Kami pun masuk ke situ dan menyantap mie baso kuah. Enak sekali rasanya. Selesai makan, kami mengendarai becak kembali ke hotel. Di hotel teman kami sudah menunggu karena kami akan pergi ke gunung Galunggung.
Saat menuju gunung Galunggung, kami sempat salah jalan, karena kami mengambil belokan yang salah, sehingga harus kembali lagi. Setelah menemukan belokan yang benar, mobil kami pun mulai mendaki jalanan sempit menuju gunung tersebut. Kami melihat dan berpapasan dengan beberapa truk yang sedang mengambil dan mengangkut pasir sisa-sisa letusan beberapa tahun yang lalu.
Jalan menuju gunung Galunggung pada saat penulis pergi ke sana tidak dapat dikatakan bagus, namun jelek sekali juga tidak. Tumbuhan yang ada di kiri jalan belum begitu tinggi, sehingga masih terasa panas. Aneh memang, berada di lereng gunung tetapi sama sekali tidak terasa sejuk.Akhirnya sampailah kami di pelataran parkir. Kami pun duduk-duduk di warung sambil bercakap-cakap dengan penjaga warung dan bertanya-tanya tentang keadaan Galunggung. Penulis pun penasaran untuk menaiki tangga-tangga semen yang jumlahnya ratusan untuk mencapai kawah Galunggung. Wuih pegal juga kaki ini saat menaiki tangga-tangga tersebut. Di tengah jalan, kakak penulis memutuskan untuk turun, namun penulis tetap ingin sampai di atas.
[caption id="attachment_348997" align="aligncenter" width="300" caption="Kabut di Galunggung"][/caption]
Di atas yang merupakan bibir kawah, ternyata terdapat jejeran warung-warung yang menjual minuman dan makakan. Pada saat sampai di atas, cuaca tiba-tiba berubah mendung. Kabut menyelimuti tebing di tepi kawah yang berisi air. Di tengah kawah terdapat sebuah dataran mirip pulau kecil. Sebenarnya pengunjung dapat turun sampai ke tepi kawah, namun saat itu penulis enggan untuk turun ke kawah karena kami masih akan pergi ke Kampung Naga yang letaknya di lembah, dan tentunya harus berjalan untuk mencapainya. Jadi penulis perlu menghemat tenaga.
[caption id="attachment_348998" align="aligncenter" width="300" caption="Kawah Galunggung"]
Setelah puas menikmati pemandangan kawah Galunggung, penulis pun turun ke area parkir dan kami segera meninggalkan tempat itu untuk menuju Kampung Naga.
[caption id="attachment_348999" align="aligncenter" width="300" caption="Mendung di Galunggung"]
Untuk mencapai Kampung Naga ternyata tidak sulit karena di tepi jalan terdapat sebuah papan besar sebagai penunjuk jalan. Kami pun berbelok ke area parkir Kampung Naga. Saat turun dari mobil, kami didekati oleh seseorang yang berpakaian hitam-hitam dengan ikat kepala. Awalnya penulis pikir, orang ini hanya seorang pemandu yang biasa kita temukan di tempat-tempat wisata. Namun ternyata dia adalah penduduk Kampung Naga yang memang diberi tugas untuk menemani pendatang. Mengapa harus didampingi? Alasannya agar pendatang mengerti tentang tata cara dan aturan di tempat tersebut dan tidak memasuki wilayah-wilayah yang dianggap sakral di kampung itu.
Dengan ditemani pemandu, kami pun menuruni tangga menuju lembah. Dari atas kami melihat hamparan sawah hijau muda yang menyerupai permadani, rumah-rumah adat yang unik dan juga sungai. Di tepi sungai terdapat sebuah hutan yang tidak boleh dirambah oleh penduduk. Penduduk harus menjaga kelestarian hutan mereka. Sungai yang mengalir melewati kampung mereka pun terlihat bersih. Yang menarik, mereka sudah memunyai cara pengolahan sampah sendiri.
[caption id="attachment_349000" align="aligncenter" width="300" caption="Persawahan"]
[caption id="attachment_349001" align="aligncenter" width="300" caption="Kampung Naga dilihat dari atas"]
[caption id="attachment_349002" align="aligncenter" width="300" caption="Hutan adat"]
Sebelum masuk ke dalam desa, terdapat sebuah bangunan yang berisi lesung. Di dekat bangunan tersebut terdapat sebuah kolam dan bilik-bilik yang katanya merupakan tempat mandi komunal. Jadi setiap rumah di desa itu tidak memiliki kamar mandi. Setiap orang akan pergi ke kamar mandi umum itu untuk membersihkan diri atau buang hajat. Ini tentu saja tidak mudah bagi mereka yang rumahnya terletak di bagian atas karena harus turun cukup jauh untuk menuju kamar mandi tersebut, apalagi jika sedang sakit perut.
Pemandu kami mempersilakan kami mengujungi rumahnya jika kami ingin tahu seperti apa rumah suku Naga. Dia pun membawa kami ke rumahnya. Rumah-rumah di sini tidak dialiri listrik. Menurutnya mereka menolak listrik masuk ke kampung mereka karena rumah mereka akan mudah terbakar jika terjadi arus pendek, namun mereka boleh memiliki accu. Jadi beberapa rumah di kampung tersebut memiliki radio.
[caption id="attachment_349003" align="aligncenter" width="300" caption="Rumah-rumah di Kampung Naga"]
Rumah pemandu kami terdiri dari ruang tamu, dapur dan terdapat dua kamar tidur dan ada sebuah ruangan kecil di antara kedua ruang tidur. Di dapur, mereka masih menggunakan kayu bakar. Pantas, di depan rumah terdapat seonggokan kayu bakar. Di dapur itu juga terdapat tempat penyimpanan beras yang hanya boleh dibuka oleh istrinya. Itu merupakan bagian dari kepercayaan mereka. Ketika tidur pun ke arah mana kepala ini harus menghadap juga ada aturannya. Bapak tersebut juga mengatakan bahwa anak-anak di kampung itu hanya boleh bersekolah sampai SD saja, jika akan melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi, dia harus tinggal di luar kampung itu.
[caption id="attachment_349004" align="aligncenter" width="300" caption="Peralatan memasak"]
Ketika sedang berada di rumah pemandu kami, hujan turun cukup deras, sehingga kami harus menunggu sampai hujan reda sebelum kembali ke area parkir. Ketika hujan sudah mulai reda, kami pun meninggalkan rumah pemandu kami dan masih melihat-lihat bangunan-bangunan yang ada di sekitar situ. Setelah puas kami pun berjalan kembali menuju area parkir. Saat sampai di jalan desa, kami melihat seorang lelaki sedang menggendong seorang nenek menaiki tangga menuju area parkir. Rupanya nenek itu sedang sakit dan memerlukan pengobatan.
Bisa dibayangkan betapa repotnya saat sedang sakit seperti itu, karena untuk pergi ke tempat parkir, mereka harus menaiki tangga yang cukup banyak jumlahnya. Kami yang tidak terbiasa menaiki tangga sebanyak itu, mulai merasakan pegal-pegal di kaki; apalagi sebelumnya kami baru saja menaiki dan menuruni ratusan tangga ketika berada di Galunggung dan sekarang harus menaiki tangga lagi yang jumlahnya pun tidak sedikit. Penduduk asli di sana naik dan turun tangga seperti tanpa beban dan hal itu dilakukan dengan cepat, sementara kami berjalan seperti siput dan sering berhenti untuk mengambil napas.
Sesampai di area parkir, kami sempatkan untuk beristirahat meluruskan kaki barang sejenak sebelum melanjutkan perjalanan pulang menuju Bandung. Benar-benar pengalaman yang tidak terlupakan.
sumber foto: pribadi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H