Mohon tunggu...
G Tersiandini
G Tersiandini Mohon Tunggu... Lainnya - Mantan guru di sekolah internasional

Mantan guru, penikmat kuliner dan senang bepergian.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Berlibur Sejenak di Malaka

24 Juli 2014   22:51 Diperbarui: 18 Juni 2015   05:19 769
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Melaka, kota kecil di Malaysia bagian barat ternyata memiliki pesona yang lain dibandingkan dengan kota-kota lain yang ada di negara tersebut. Sayangnya tidak ada penerbangan dari Jakarta langsung ke Malaka, jadi jika hendak ke sana kita harus lebih dulu menuju Kuala Lumpur, Singapura atau Johor Bahru. Dari sana kita bisa naik bus atau menyewa mobil menuju Malaka.

Ketika itu penulis memilih rute Jakarta - Kuala Lumpur – Melaka – Kuala Lumpur – Jakarta. Penulis menginap dulu dua malam di Kuala Lumpur, kemudian pergi dengan mengendarai bus menuju Malaka. Sebelumya, dari penginapan yang terletak di dekat kawasan Bukit Bintang, kami naik LRT menuju Terminal Bersepadu Selatan (TBS), untuk mencari bus menuju Melaka. Terminal ini besar, bagus, teratur dan tertata rapi. Di situ berjajar loket-loket penjualan tiket untuk beberapa perusahaan bus yang akan membawa kami ke Melaka. Kami pun membeli tiket dari satu perusahaan bus dan harganya pun tidak begitu mahal.

Sambil menunggu keberangkatan, kami sempatkan untuk berjalan-jalan di terminal tersebut. Di sana terdapat beberapa rumah makan, juga toko-toko cendera mata. Mendekati saat keberangkatan, kami menuju ruang tunggu. Ruang tunggunya nyaman, mirip seperti di bandara. Tak lama berada di ruang tunggu, kami pun mendengar pengumuman bahwa kami harus segera menaiki bus yang akan berangkat ke Malaka. Kami pun naik ke bus tersebut. Busnya ternyata tidak begitu bagus, tetapi cukup bersih dan nyaman.

Tepat pada jam keberangkatan, bus pun meninggalkan terminal menuju Melaka. Kami melewati jalan bebas hambatan. Terbiasa mengendarai bus yang cepat dan sering ugal-ugalan di Indonesia, jalan bus ini terasa sangat pelan. Namun memang begitulah aturannya, mereka harus mengemudikan bus dengan kecepatan tertentu dan tidak boleh melebihi limit yang sudah ditentukan.

Akhirnya sekitar kurang lebih dua jam-an sampailah kami di Melaka. Berbeda dengan terminal bus yang ada di Kuala Lumpur, terminal bus yang ada di Melaka tidak sebesar terminal TBS, namun jauh lebih baik dari terminal-terminal yang ada di negara kita. Sampai di terminal kami langsung mencari taksi untuk menuju hotel. Taksi yang ada tidak sebagus taksi Blue Bird di Jakarta dan kami harus membeli tiketnya di terminal.

Untuk penginapan, kami memilih untuk tinggal di kota tua di sebuah boutique hotel di sekitar kawasan Jonker Street di Malaka. Jonker Street merupakan daerah yang disukai oleh para turis asing karena di sini banyak terdapat tempat makan dan juga tempat wisata. Hotel yang kami pilih kelihatan kecil dari depan, namun begitu masuk, ternyata cukup luas. Kamarnya cukup besar dan sarapan yang disediakannya pun beraneka ragam dan enak rasanya. Lokasi hotel ini pun strategis, dekat dengan tempat makan, toko-toko dan tempat-tempat wisata. Untuk mencapai “landmark” kota Malaka, yaitu Christ Church of Melaka (gereja peninggalan Belanda) yang berwarna jingga, kira-kira sekitar lima belas menit dengan berjalan kaki. “Door man” yang bekerja di situ pun amat sangat ramah dan baik kepada kami. Mereka sangat membantu.

Siang itu setelah menaruh barang-barang di kamar, kami keluar hotel untuk mencari makan. Di dekat hotel berdiri beberapa restoran. Di seberang hotel, terdapat sebuah rumah makan peranakan, namun ketika kami ke sana, rumah makan tersebut tutup untuk beberapa hari dan akan buka lagi saat kami harus kembali ke Kuala Lumpur. Ah sial, padahal dari menu yang tersedia di luar, kelihatannya makanan yang disajikan restoran itu enak. Kecewa juga karena tidak bisa mencicipi makanan di restoran itu. Kami pun pergi mencari tempat makan lain, dan tidak jauh dari situ di seberang jalan terdapat sebuah rumah makan kecil dan di situ disediakan makanan peranakan.

Atas saran dari pemilik rumah makan itu kami pun memesan ikan dan terong nyonya. Kami juga memesan cendol dengan gula Melaka. Penulis pada dasarnya tidak menyukai es cendol karena penulis tidak menyukai santan maupun makanan bersantan, namun pada hari itu penulis ingin mencobanya tapi tanpa santan. Pemilik toko merasa aneh, dia menyakinkan penulis untuk mencobanya dengan menggunakan santan, dengan amat berat hati akhirnya penulis setuju, dengan syarat santannya harus sangat sedikit. Anehnya penulis tidak seperti biasanya penulis tidak sakit perut setelah mengkonsumsi santan. Mungkin karena jumlahnya tidak banyak.

Selesai makan, kami meneruskan perjalanan. Kami hanya ingin berjalan berkeliling saja dan di perempatan kami menemukan sebuah bagunan kuno yang atapnya mirip atap rumah Jawa. Ternyata bangunan tersebut adalah sebuah masjid yang dapat dilihat dari menaranya. Nama masjid tersebut adalah Masjid Kampung Hulu, dan ternyata ini merupakan salah satu masjid tertua di Malaysia. Kami pun masuk ke kawasan masjid tersebut.

[caption id="attachment_349490" align="aligncenter" width="300" caption="Masjid Kampung Hulu"][/caption]

[caption id="attachment_349491" align="aligncenter" width="300" caption="Interior Masjid"]

1406189909725409081
1406189909725409081
[/caption]

Keluar dari masjid tersebut kami memutuskan untuk mengambil jalan ke kiri dan tidak ke kanan ke arah sungai atau Christ Church of Melaka. Kami berjalan terus sampai menemukan sebuah kuil yang bernama Cheng Hoon Teng temple. Kami pun memasuki kuil itu.

[caption id="attachment_349492" align="aligncenter" width="300" caption="Kuil Ceng Hoon Teng"]

1406190119850811427
1406190119850811427
[/caption]

Saat sedang melihat-lihat kuil, seseorang mendekati kami dan mulai menerangkan ini itu kepada kami. Aduh, pemandu lepasan rupanya dia. Dia mengajak kami masuk ke dalam dan melihat-lihat kuil tersebut. Memaksa kami untuk mengambil foto. Kami berusaha menjauh dari dia, namun dia terus mengikuti kami.

Keluar dari kuil, kami menyeberangi jalan dan melihat bangunan bergaya Melayu yang ada di seberang kuil tersebut. Ternyata bapak tadi terus mengikuti kami dan mengajak berbincang. Dia bahkan mengajak kami mengunjungi rumahnya. Ternyata rumahnya terletak di sebuah jalan kecil di seberang kuil dan nama kampungnya adalah Kampung Ketek. Geli kami ketika melihat nama kampung tersebut.

[caption id="attachment_349494" align="aligncenter" width="300" caption="Gapura Kampung Ketek"]

1406190288923023557
1406190288923023557
[/caption]

Kami pun akhirnya mengikuti bapak tadi menuju rumahnya yang ternyata juga digunakan sebagai tempat penginapan. Di belakang rumahnya terdapat rumah dan makam Abdullah bin Abdul Kadir Munshi, seorang pujangga Melayu yang terkenal. Kami pun mengunjungi makam itu. Seperti ketika sedang berada di kuil, si bapak ini memaksa agar kami berpose di makam itu. Ya sudah, toh tidak ada salahnya membuat orang lain merasa senang.

[caption id="attachment_349495" align="aligncenter" width="300" caption="Rumah Abdullah bin Abdul Kadir Munshi"]

14061903521736681868
14061903521736681868
[/caption]

Dari makam, kami diantar ke mulut jalan. Saat kami tanyakan berapa kami harus membayarnya karena sudah mengantar kami, dia mengatakan “tak payah lah, awak kasih saja uang Indonesia”. Untungnya kami masih punya uang rupiah di dalam dompet, dan kami berikanlah uang tersebut kepadanya.

Dari sana kami berjalan menuju Christ Church of Melaka. Kemudian menuju Museum sejarah dan etnography. Sambil melihat-lihat kami berjalan naik lagi menuju St Paul’s Hill. Di bukit tersebut terdapat gereja St Paul. Di dalam gereja yang dinding dan menaranya masih berdiri itu terdapat bekas kuburan Francis Xavier. Dari tempat reruntuhan gereja tersebut, kita dapat menikmati pemandangan kota Melaka dari atas bukit. Tak jauh dari gereja terdapat sisa-sisa benteng A Famosa.

[caption id="attachment_349496" align="aligncenter" width="300" caption="Dutch Square"]

14061904921807665509
14061904921807665509
[/caption]

1406190902680869255
1406190902680869255

[caption id="attachment_349503" align="aligncenter" width="300" caption="Sisa Gereja St. Paul"]

1406190985938738639
1406190985938738639
[/caption]

[caption id="attachment_349504" align="aligncenter" width="300" caption="Sisa benteng Portugis"]

1406191064693931211
1406191064693931211
[/caption]

Setelah puas menikmati pemandangan yang disuguhkan kami kemudian berjalan turun. Kami tidak turun ke kawasan museum di dekat Dutch Square, namun kami turun di bagian lain, yaitu di Porta de Santiago. Dari sana kami berjalan menuju Dutch Square. Dalam perjalanan kami mampir dahulu di sebuah taman dimana terdapat gerbong kereta api tua dan pesawat terbang. Dari situ kami kemudian berjalan menuju tepi sungai Melaka. Kami berjalan terus menyusuri sungai yang mengalir di tengah kota sambil menikmati udara sore hari. Sungai ini sangat terawat dan bersih. Saat malam tiba lampu-lampu pun mulai dinyalakan dan pemandangan di sepanjang sungai terlihat indah. Mengingat hari sudah semakin gelap, kami kemudian kembali ke hotel dengan mengendarai becak-becak yang dihiasi dengan bunga-bunga.

Keesokan harinya, setelah sarapan di hotel, kami berjalan menuju Dutch Square. Di depan Christ Church Melaka berjejer becak-becak yang dihiasi bunga-bunga dan di sampingnya berjejer kios-kios yang menjajakan cendera mata. Saat kami tiba di sana kios-kios tersebut masih banyak yang tutup, karena masih pagi. Kami pun kemudian berjalan menuju gereja St Francis Xavier Church.Ketika berada di kompleks gereja tersebut, karena terlalu banyak minum, penulis minta izin untuk menggunakan kamar kecil kepada seorang petugas yang ada di sana. Petugas itu dengan ramah mengantar penulis ke sebuah kamar kecil yang berada di kantor gereja, padahal di luar sebenarnya terdapat sebuah kamar kecil. Namun entah mengapa dia justru membawa penulis ke kantor gereja tersebut.

[caption id="attachment_349505" align="aligncenter" width="300" caption="Becak berwarna warni di Dutch Square"]

1406191207162038771
1406191207162038771
[/caption]

[caption id="attachment_349507" align="aligncenter" width="300" caption="Interior Gereja Francis Xavier"]

1406191335588588437
1406191335588588437
[/caption]

Dari gereja, kami kembali ke Dutch Square dan melihat-lihat cendera mata di kios-kios di dekatnya yang pada saat penulis kembali sudah buka. Ketika sedang membeli oleh-oleh, kami iseng-iseng bertanya kepada si penjual cendera mata bagaimana caranya mencapai Perkampungan Portugis. Dia mengatakan bahwa kami bisa mengendarai bus dari Dutch Square untuk mencapai tempat itu.

Selesai membeli oleh-oleh, kami kembali ke taman di Dutch Square dan di situ terdapat pemberhentian bus. Ketika kami masih merasa ragu apakah akan naik sebuah bus yang baru saja datang atau yang selanjutnya, kami mendengar ada orang yang memanggil-manggil kami dari kejauhan. Saat kami menoleh, ternyata penjual cendera mata di tempat kami berbelanja tadi yang memanggil kami dan menunjuk-nunjuk bus yang datang tersebut. Rupanya kami disuruhnya menaiki bus itu. Kami pun naik ke bus tersebut dan memberitahu supir agar menurunkan kami di halte dekat dengan Perkampungan Portugis. Seorang penumpang yang duduk di sebelah penulis pun dengan ramah akan memberitahu penulis di mana harus berhenti

Ketika sudah dekat dengan Kampung Portugis, penumpang di sebelah penulis mengatakan bahwa kami bisa turun di situ. Sebelum kami memencet bel, supir bus memberitahukan kepada kami kalau dia akan menurunkan kami di halte berikut. Wah, sepagi ini sudah bertemu dengan beberapa orang baik yang mau membantu kami. Setelah turun dari bus, kami pun bertanya pada sebuah toko di dekat situ, ke mana kami harus pergi. Setelah mendapatkan informasi, kami pun menyeberangi jalan dan berjalan masuk ke sebuah jalan yang menuju Perkampungan Portugis.

Ketika masih kecil, sebenarnya penulis pernah mengunjungi kampung ini saat masih bermukim di Malaysia, namun itu sudah terjadi berpuluh-puluh tahun yang lalu. Namun penulis masih ingat (samar-samar) bagaimana keadaan kampung itu pada waktu dulu. Ketika itu rumah-rumah yang berjejer masih terbuat dari papan dan bentuknya seragam. Selain itu jalannya pun masih berupa jalan berpasir, sangat berbeda dengan kunjungan saat ini. Rumah-rumah sebagian besar sudah terlihat modern dan jalanannya pun sudah bagus sekali. Namun penulis sempat menemukan rumah-rumah papan yang sedikit banyak masih seperti dulu.

[caption id="attachment_349508" align="aligncenter" width="300" caption="Rumah di perkampungan Portugis yang belum sepenuhnya dimodifikasi"]

14061914741948756947
14061914741948756947
[/caption]

Ketika sampai di ujung jalan, di sebelah kanan terdapat semacam “food court” dan di situ terdapat beberapa tempat makan. Karena masih jam sebelas pagi, kebanyakan tempat-tempat makan tersebut masih tutup, namun ada satu tempat yang kelihatannya baru akan buka. Warungnya sudah dibuka tetapi mejanya belum ditata.Pemilik warung yang masih keturunan Portugis, masih membersihkan sendok dan garpu. Ketika dia melihat gelagat bahwa kami sedang mencari tempat makan, dia dengan serta merta menawarkan kepada kami untuk mampir. Tentu saja kami terima tawaran tersebut, selain karena haus, kami juga ingin makan siang di situ. Dia pun memberikan daftar menu dan menyarankan kepada kami untuk mencoba ikan dan juga terong yang dimasak dengan cita rasa Portugis. Kami pun memesan makanan yang disarankannya.

Ketika makanan tiba, ternyata porsinya besar sekali, terutama ikannya. Terongnya sangat lezat, demikian pula ikannya. Ikannya untuk kami terasa sangat pedas namun enak sekali. Heran juga kami saat sadar bahwa makanan tersebut dapat kami habiskan karena memang sangat lezat, padahal pedas rasanya.

Selesai makan, kami berjalan menuju tepi laut. Setelah berjalan-jalan sejenak, kami putuskan untuk kembali ke pusat kota. Kami tidak melewati jalan yang kami lalui saat kami datang, tapi kami agak memutar sedikit. Kami melewati perumahan penduduk dan saat sampai di sebuah taman kecil kami berhenti di bawah pohon rindang untuk sekedar berteduh dari panas matahari.

Di tempat tersebut duduk seorang kakek yang sedang menemani cucunya bermain. Kami berbincang-bincang dengan kakek tersebut. Kami juga menanyakan apakah ada jalan lain untuk mencapai jalan besar karena di tepi jalan tersebut tidak ada pohon rindang yang tumbuh sehingga panas sekali. Tanpa disangka, kakek ini menawarkan untuk mengantar kami. Awalnya kami menolak, tapi dia memaksa. Akhirnya kami setuju diantarkan sampai kami mendapat taksi. Namun ketika sudah sampai di jalan besar dia mengatakan akan mengantar kami sampai ke Dutch Square. Ketika kami mengatakan bahwa kami akan membayarnya dengan serta merta dia menolak, dia hanya ingin membantu. Wow … baik sekali kakek ini dan kami hanya bisa mengucapkan terima kasih berkali-kali tanpa bisa membalas budi baiknya.

Sesampai di Dutch Square kami memutuskan untuk kembali ke hotel untuk beristirahat karena pada sore harinya kami ingin naik perahu menyusuri sungai. Sore itu kami pun kembali ke Sungai Melaka dan menaiki perahu menyusuri sungai. Pemandangan yang disuguhkan cukup menarik. Rumah-rumah yang berjajar di tepi sungai sebagian besar dipenuhi mural. Bagus sekali kelihatannya. Kami juga melewati kampung Morten, namun sayangnya kami tidak berhenti di kampung tersebut. Terlihat dari perahu, rumah-rumah di kampung tersebut masih berupa rumah-rumah panggung khas Melayu. Andai saja kami bisa berhenti dan melihat kampung itu dari dekat tentu akan menarik sekali. Saat malam hari, lampu-lampu menghiasi kampung tersebut, juga rumah-rumah di tepian sungai. Setelah satu jam perjalanan, perahu kami berputar arah dan kembali ke tempat semula.

[caption id="attachment_349509" align="aligncenter" width="300" caption="Sungai Melaka di siang hari"]

14061915751808853903
14061915751808853903
[/caption]

[caption id="attachment_349510" align="aligncenter" width="300" caption="Rumah di tepi sungai yang dipenuhi mural"]

14061916671630951940
14061916671630951940
[/caption]

[caption id="attachment_349511" align="aligncenter" width="300" caption="Sungai Melaka di malam hari"]

14061917191447175173
14061917191447175173
[/caption]

Turun dari perahu, kami kembali menyusuri sungai dan ingin mencari rojak. Penulis adalah penggemar rojak, jadi setiap berkunjung ke Malaysia atau Singapura, rojak selalu ada di dalam daftar “yang harus dibeli”. Ternyata cukup susah mencari rojak di daerah tua tersebut, oleh karena itu kami berjalan menujubagian lain dari kota dan di situ terdapat sebuah “food court” dan syukurlah di sana terdapat kios rojak. Selain rojak, kami juga membeli chicken rice.

Setelah kenyang, kami memutuskan untuk berjalan kembali ke hotel. Agak jauh memang, tetapi puas rasanya karena makanan yang kami inginkan, semuanya sudah kami dapatkan. Hari itu benar-benar indah rasanya. Kami menyantap makanan enak dan bertemu beberapa orang baik hati yang menolong kami dengan tulus. Malam itu kami berangkat tidur dengan perasaan senang dan puas.

Sumber foto: pribadi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun