Tahun yang lalu seorang teman yang berdomisili di Swiss beserta anaknya mengunjungi penulis di Jakarta. Karena saat itu bukan saat liburan, maka penulis tidak bisa membawa mereka berkeliling Jakarta kecuali pada akhir pekan. Untungya ketika akhir pekan tiba, penulis masih bisa membawa mereka berjalan-jalan di Jakarta sebelum mereka bertolak ke Bali.
Sabtu pagi kami meninggalkan rumah penulis dan berjalan ke halte transjakata. Tujuan kami adalah Pelabuhan Sunda Kelapa. Biasanya pada hari Sabtu pagi bus transjakarta tidak begitu penuh, namun entah mengapa hari itu saat bus tiba di halte tempat kami menunggu, bus sudah cukup penuh dan kami tidak mendapat duduk sehingga harus berdiri. Untung pada pagi hari jalanan menuju Semanggi belum macet, sehingga berdiri selama setengah jam bukan masalah untuk kami.
Kami harus turun di halte Semanggi dan harus berjalan menuju halte di dekat Universitas Atma Jaya untuk mengambil bus jurusan Kota. Jauh juga jarak hatle Semanggi dengan halte di dekat Atma Jaya tersebut. Bus yang menuju Kota cepat tiba dan kami pun naik ke dalam bus itu. Wah enak sekali, bus yang kami tumpangi ini masih sepi sehingga kami bisa duduk dan menikmati perjalanan kami.
Pagi itu kami tidak harus berlama-lama di jalan karena belum ada kemacetan dan tentu saja karena kami berjalan di jalur khusus. Akhirnya sampailah kami di Kota. Untuk pergi ke Pelabuhan Sunda Kelapa, kami harus menyeberangi jalan. Kami pun berjalan turun dan menyeberangi jalan melalui ”underpass” menuju museum Bank Mandiri. Setelah menyeberang kami bisa mengambil mikrolet, bajaj atau taksi untuk menuju Pelabuhan Sunda Kelapa. Mengingat anak teman penulis belum pernah mengendarai Bajaj, kami pun akhirnya memilih Bajaj sebagai moda tranportasi kami untuk mencapai pelabuhan.
Sesampai di pelabuhan, kami pun turun dari Bajaj dan mulai berjalan mendekati perahu-perahu yang bersandar di sepanjang pelabuhan. Bau tak sedap dari air laut menyengat hidung kami, namun kami memaksa diri untuk terus berjalan di sepanjang pelabuhan. Terlihat kapal-kapal pinisi yang sedang bersandar dengan teratur, indah sekali pemandangan ini.Di sana juga terlihat beberapa truk berhenti di dekat beberapa kapal. Ada yang membongkar muatan, ada pula yang sedang memuat barang-barang dari kapal ke dalam truk. Kuli-kuli kapal pun terlihat sibuk bekerja, walaupun ada juga yang sedang bersantai di tembok-tembok di tepi laut atau warung-warung, dan ada juga yang sedang beristirahat di kapal-kapal mereka.
[caption id="attachment_349724" align="aligncenter" width="300" caption="Jajaran Kapal Pinisi"][/caption]
[caption id="attachment_349725" align="aligncenter" width="300" caption="Bongkar muat"]
Di antara kapal-kapal pinisi yang sedang bersandar, terlihat perahu-perahu kecil merapat. Tukang-tukang perahu pun menawarkan untuk membawa para wisatawan yang dijumpainya mengendarai perahunya menuju ujung pelabuhan dekat laut bebas. Ketika seorang tukang perahu menawarkan diri untuk mengantarkan kami melihat-lihat di sekitar pelabuhan dengan mengendarai perahu, kami tidak langsung mengiyakan. Air yang hitam dan berbau tak sedap menjadi salah satu penyebab yang menghalangi kami untuk menerima tawarannya. Namun akhirnya kami pun setuju untuk mencoba naik perahu tersebut.
Dengan menaiki perahu, kami dapat melihat permukiman penduduk di balik perahu-perahu yang bersandar. Banyak juga perahu yang berlalu-lalang membawa penumpang menyeberang dari pemukiman penduduk ke pelabuhan atau sebaliknya. Terlihat juga perahu-perahu yang membawa air bersih. Ada juga yang mencari ikan. Saat itu yang penulis rasakan adalah seolah sedang tidak berada di Jakarta.
[caption id="attachment_349726" align="aligncenter" width="300" caption="Membawa air bersih"]
[caption id="attachment_349727" align="aligncenter" width="300" caption="Menanti penumpang"]
Kami pun dibawa oleh tukang perahu kami sampai di ujung luar pelabuhan dan ombak pun mulai terasa lebih kuat. Cemas juga jika air hitam itu masuk ke dalam perahu atau perahu ini terbalik. Bukan karena kami tidak bisa berenang, namun membayangkan harus berenang di air yang hitam, kotor dan berbau busuk tersebut benar-benar membuat hati ini cemas. Ditambah lagi tukang perahu yang membawa kami sudah agak tua dan dia memakai kaca mata yang tebal. Dia mendayung perahunya dengan sangat perlahan dan sering sekali dia membawa perahunya terlalu dekat dengan kapal-kapal pinisi yang tentunya jauh lebih besar dari ukuran perahunya. Beberapa kali dia justru mendekat ke kapal-kapal tersebut ketika kapal-kapal tersebut sedang membuang air. Kami tentu saja panik karena air yang dibuang tersebut tentunya bukan air bersih.
[caption id="attachment_349732" align="aligncenter" width="300" caption="Bagian belakang kapal"]
Tukang perahu terus membawa kami sampai ke kampung nelayan. Awalnya kami akan diantarkan kembali ke tepi pelabuhan, namun kami sudah cukup menghirup aroma tak sedap dari laut, sehingga kami minta diturunkan saja di perkampungan nelayan tersebut. Ketika menuju perkampungan nelayan, kami bisa menyaksikan betapa kontrasnya pemandangan yang kami lihat di depan mata dengan dua gedung tinggi yang ada di latar belakang. Di hadapan kami terlihat rumah-rumah kumuh, sementara di latar belakang terlihat gedung tinggi yang bersih. Di tepi perkampungan terdapat banyak perahu kecil. Terlihat beberapa nelayan sedang memperbaiki jalan mereka, ada juga yang sedang tidur dan juga makan.
[caption id="attachment_349728" align="aligncenter" width="300" caption="Perkampungan nelayan"]
[caption id="attachment_349729" align="aligncenter" width="300" caption="Gedung bertingkat di latar belakang"]
Akhirnya perahu kami menepi dan kami pun naik ke daratan dengan dibantu beberapa nelayan yang sedang berada di situ. Tukang perahu kami sama sekali tidak membantu. Setelah kami membayarnya, barulah kami tahu dari para nelayan di situ bahwa tukang perahu tersebut ternyata tidak memiliki kaki dan pandangannya sudah kabur. Kami benar-benar tidak menyangka. Setelah mengucapkan terima kasih, kami pun berlalu dari situ.
Kami melewati warung-warung kecil, pasar dan juga rumah penduduk dan kami pun sampai di sebuah jalan. Kami hanya mengikuti jalan tersebut dan tanpa disengaja, kami menemukan sebuah museum yang bernama museum Maritim. Karena sudah sampai di situ, maka kami pun masuk ke dalam museum itu.
[caption id="attachment_349733" align="aligncenter" width="300" caption="Museum Bahari"]
[caption id="attachment_349736" align="aligncenter" width="300" caption="Pintu masuk museum bahari"]
Museum itu menyimpan beberapa peninggalan sejarah. Di dindingnya juga ditempelkan informasi dalam bentuk poster tentang masa penjajahan dulu. Di situ terdapat beberapa bentuk perahu dari zaman dulu, kemudi kapal, rantai kapal, dan banyak lagi. Penulis sangat mengagumi bangunan museum tersebut. Bangunan kuno dengan pilar-pilar dan pintu kayunya yang besar dan kokoh. Pelatarannya pun terlihat bersih. Namun isi museumnya sendiri seolah kurang terawat.
[caption id="attachment_349739" align="aligncenter" width="300" caption="Interior museum"]
[caption id="attachment_349741" align="aligncenter" width="300" caption="Bangunan museum"]
Setelah melihat-lihat museum, kami pun pergi ke Kota Tua. Di sana sudah banyak pengunjungnya. Kami melihat orang-orang patung yang rela berdiri berjam-jam di kawasan kota tua tersebut. Kami pun kemudian masuk ke museum Fatahilah. Museum ini besar namun barang-barang yang dipajang tidak banyak dan pengaturannya sama sekali tidak menarik. Informasi yang ditampilkan juga minim. Berbeda sekali dengan museum-museum yang ada di luar negeri.
[caption id="attachment_349742" align="aligncenter" width="300" caption="Museum Fatahillah"]
[caption id="attachment_349748" align="aligncenter" width="300" caption="Manusia patung"]
Dari museum kami kemudian beristirahat di bawah pohon. Di situ terdapat beberapa pengamen muda sedang bermain gitar dan menyanyi. Kami pun duduk di situ sambil memperhatikan para wisatawan yang lalu lalang. Namun tiba-tiba, segerombolan anak sekolah mendekati kami, tepatnya anak teman penulis. Rupanya mereka sedang belajar dalam bahasa Inggris. Sambil membaca catatan yang mereka bawa, mereka meminta izin untuk mewawancarai anak teman penulis tersebut. Agak kikuk juga dia, tapi akhirnya dia pun setuju untuk diwawancarai dengan bahasa Inggris yang terbata-bata. Selepas mewawancarainya, anak-anak ini minta untuk difoto bersama-sama dengan anak teman penulis. Lucu sekali melihat pemandangan ini dan kelihatan betapa bangganya mereka bisa berfoto dengan orang “bule”.
Setelah merasa cukup, kami pun memutuskan untuk kembali ke rumah. Dalam perjalanan menuju halte transjakarta, kami melihat beberapa bangunan di kota tua tersebut sudah rusak dan tidak terawat. Ada rumah yang sudah ditumbuhi pohon, ada bangunan yang sudah tidak berdinding dan beberapa lagi. Sayang sekali jika gedung-gedung bersejarah tersebut tidak dirawat dan dipertahankan.
[caption id="attachment_349744" align="aligncenter" width="300" caption="Kawasan kota tua"]
[caption id="attachment_349745" align="aligncenter" width="300" caption="Bangunan rusak"]
Setelah menghabiskan beberapa jam berdesakan dan bermandi keringat di dalam bus, kami pun sampai di rumah. Sesampai di rumah kami segera membersihkan diri dan melepas lelah sambil menikmati teh dan coklat panas. Walaupun lelah, kami semua menikmati perjalanan kami hari itu.
sumber foto: pribadi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H