Mohon tunggu...
G Tersiandini
G Tersiandini Mohon Tunggu... Lainnya - Mantan guru di sekolah internasional

Mantan guru, penikmat kuliner dan senang bepergian.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Sejenak Mengunjungi Masyarakat Baduy Dalam

28 Desember 2014   02:21 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:20 185
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari masih gelap saat ayam mulai berkokok. Kami pun bangun kira-kira jam 4 pagi. Setelah membersihkan diri, kami bersiap-siap untuk melanjutkan perjalanan menuju kawasan Baduy Dalam. Salah seorang teman penulis memutuskan untuk tidak ikut serta dan tinggal di kawasan Baduy Luar. Akhirnya pemandu, seorang teman yang lain dan penulis pun meningalkan tempat kami menginap pada pukul 5:45 pagi. Jalanan yang kami lalui sangat licin dan becek karena pada malam hari hujan turun. Kami berjalan perlahan-lahan selain untuk menghemat tenaga juga agar kami tidak terpeleset dan terjatuh.

Satu jam pertama, kami masih bisa berjalan tanpa mengeluh.Kami sangat menikmati pemandangan alam yang ditawarkan. Indah sekali. Beruntung kami masih bisa mengambil foto karena kami masih berada di kawasan Baduy Luar. Di tengah perjalanan pemandu mengajak penulis mampir ke sebuah danau yang bernama Danau Ageng yang ada di sana. Penulis pun tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. Setelah mengambil beberapa foto, kami pun meneruskan perjalanan. Di kiri dan kanan jalan kami melihat ladang orang-orang Baduy. Ada pisang, pohon aren, bahkan padi. Rupanya orang-orang Baduy tidak boleh memiliki sawah, tetapi boleh memiliki ladang. Saat menggarap tanah mereka tidak boleh menggunakan pupuk kimia, pupuk binatang seperti sapi, kerbau atau kambing juga tidak diperbolehkan karena bau, namun mereka boleh menggunakan pupuk dari kotoran ayam. Mereka pun tidak boleh memelihara binatang berkaki empat seperti kerbau, sapi, atau kambing. Jadi di daerah Kanekes tidak ditemukan ketiga binatang berkaki empat tersebut. Di perkampungan suku Baduy Luar, penulis banyak melihat ayam-ayam berkeliaran, ada juga kucing dan anjing.

1419676832246792929
1419676832246792929

1419676901125536333
1419676901125536333

1419676931850785955
1419676931850785955

Setelah dua jam berjalan, mulai terasa beratnya medan. Jalan yang harus kami lewati menanjak dan menurun cukup tajam ditambah lagi medan yang becek dan licin. Kami sempat berpapasan dengan beberapa kelompok orang yang baru saja kembali dari Baduy Dalam. Kami pun bertukar informasi tentang medan yang akan ditempuh.

Medan yang harus kami lalui semakin berat. Tanjakan yang sangat tajam berada di hadapan kami. Kami harus siap melalui tanjakan tersebut. Dengan mengumpulkan seluruh tenaga yang kami miliki, secara perlahan tapi pasti, kami dapat melalui medan yang berat itu. Kami juga berpapasan dengan rombongan mahasiswa yang baru saja kembali dari Baduy Dalam. Setiap berpapasan dengan para mahasiswa tersebut, mereka selalu menyemangati kami. Penulis juga melihat beberapa mahasiswa yang merasa kepayahan menghadapi medan yang tidak mudah tersebut. Bangga juga rasanya kami yang sudah tidak muda lagi ini masih bisa tetap bersemangat dan berusaha mencapai kawasan Baduy Dalam.Orang-orang Baduy Dalam yang kami temui pun tersenyum dengan ramah saat berpapasan dengan kami sambil mengatakan bahwa tidak lama lagi kami akan sampai. Ini merupakan dorongan bagi penulis untuk terus melangkah dan mengalahkan tantangan ini. Tentu saja kami berhenti di beberapa tempat untuk sekedar melepas lelah dan mengumpukan tenaga. Kami juga berjumpa dengan beberapa anak Baduy Dalam yang membawakan tas para mahasiswa yang kami temui. Alamak, mereka berlari berlomba-lomba menuruni bukit. Kami hanya “bengong” melihat mereka karena kagum.

1419676989560135942
1419676989560135942

14196770351706984249
14196770351706984249

1419677074202893089
1419677074202893089

1419680350764724777
1419680350764724777

Setelah menaiki dan menuruni beberapa bukit, akhirnya kami pun sampai ke kawasan Baduy Dalam. Kami sempat berhenti di sebuah saung. Di situ terdapat seorang perempuan Baduy bersama anaknya sedang beristirahat. Kami pun meminta izin untuk duduk sejenak di saung untuk melepas lelah. Kami sempat berbincang, namun perempuan tersebut nampak malu-malu menjawab pertanyaan-pertanyaan kami. Dia tidak mau memandang kami saat kami ajak bicara. Ketika teman penulis ingin mengambil foto, mereka tidak memperbolehkannya karena memang hal tersebut dilarang.

Setelah beristirahat sejenak, kami pun meneruskan perjalanan. Walaupun sudah memasuki kawasan Baduy Dalam, ternyata jalan menuju kampung Cibeo masih jauh. Kami berjalan semakin perlahan karena jalanan yang harus kami lalui semakin licin dan becek. Kami sempat tertinggal jauh dari pemandu kami yang menuju sebuah kali kecil untuk  membersihkan sendalnya yang kotor karena akan dia masukkan ke dalam tasnya. Dia melepas sendalnya karena dia masih menghormati adat di Baduy Dalam dimana orang-orang Baduy dilarang mengenakan alas kaki saat berada di Baduy Dalam.

Ketika melihat pemandu kami melepaskan sendalnya, penulis pikir kami akan segera sampai ke kampung Cibeo, namun rupanya kami masih harus berjalan cukup jauh di jalanan yang licin dan becek tersebut. Ketika dari kejauhan terdengar suara orang menumbuk padi, penulis merasa senang karena kampung sudah dekat. Namun, kami masih harus melalui medan yang licin dan becek di hadapan kami. Penulis bahkan sempat terjatuh. Lumayan juga rasanya karena penulis terjatuh tepat mengenai batu. Hmmmm rasa sakitnya masih terasa sampai sekarang.

Tidak lama kemudian, sekitar jam 9:30, sampailah kami di kampung Cibeo. Lega rasanya karena akhirnya sampai juga ke tempat tujuan kami. Sebelum memasuki kampung Cibeo, kami harus menyeberangi jembatan bambu. Di kiri kanan jembatan kami melihat beberapa orang – baik perempuan Baduy Dalam maupun pengunjung – sedang mandi atau bermain di sungai. Kami pun akhirnya memasuki kampung Cibeo. Ketika melewati beberapa rumah penduduk kami melihat anak-anak Baduy Dalam sedang bermain-main. Setelah melewati beberapa rumah penduduk, kami pun memasuki sebuah lapangan yang cukup luas. Di bagian kiri terdapat semacam rumah panjang dan di situ terdapat beberapa lelaki Baduy Dalam sedang duduk berjajar sambil bercakap-cakap. Di hadapan mereka terdapat sebuah kuali besar berisi air. Mereka ternyata sedang  ronda. Mereka mengawasi apakah para pengunjung mengikuti aturan-aturan mereka. Pemandu kami dan penulispun menyapa mereka dan kami menuju sebuah rumah yang ada di dekat pos ronda itu untuk beristirahat.

Beberapa lelaki mendekat dan mulai berbincang-bincang dengan kami. Mereka sangat ramah. Salah satu dari mereka malah membukakan pintu rumahnya dan mempersilakan kami untuk beristirahat. Namun dengan halus kami tolak karena memang kami masih ingin melihat-lihat keadaan di kampung tersebut. Penulis sempat kaget saat mengetahui bahwa salah satu orang Baduy Dalam yang menemani kami ternyata sangat mengenal salah satu teman penulis di Jakarta. Rupanya dia memang sering pergi ke Jakarta dan menginap di rumah teman penulis. Ah, sempitnya dunia ini.

Saat berbincang-bincang dengan orang-orang Baduy Dalam tersebut, penulis pun mengamati mereka. Nampak benar perbedaan antara orang Baduy Dalam dan Luar. Orang-orang Baduy Dalam ini pada umumnya lebih pendek dibandingkan dengan orang-orang Baduy Luar. Warna kulit mereka pun cenderung lebih putih. Pakaian yang mereka kenakan adalah baju putih dan kain biru bergaris-garis, baik untuk para lelaki maupun perempuan. Para lelaki mengenakan ikat kepala atau “udeng”berwarna putih. Saat penulis memerhatikan “udeng” mereka dari dekat, nampak bahwa rambut mereka ternyata ditekuk ke atas. Rupanya mereka berambut panjang, tidak seperti saudara-saudara mereka suku Baduy Luar yang berambut pendek dan sering tidak mengenakan “udeng”. Seperti halnya suku Baduy Luar, orang-orang Baduy Dalam juga mengenakan semacam gelang yang terbuat dari benang atau tali berwarna putih. Setiap orang Baduy, baik Dalam maupun Luar, sejak  lahir sudah diberi gelang tali tersebut yang sudah diberi mantra-mantra oleh tetua adat. Penulis ingin sekali memunyai gelang seperti itu, tetapi tentu saja orang luar tidak diperkenankan memilikinya.

Setelah cukup beristirahat, kami pun mulai melihat-lihat di sekeliling kampung. Kami sempat membeli madu Baduy, juga beberapa cendera mata. Kami pun melihat-lihat rumah-rumah suku Baduy Dalam. Rumah mereka merupakan rumah panggung yang mirip dengan rumah-rumah di Baduy Luar, namun pembagian ruangan dan bentuknya sedikit berbeda. Rumah-rumah mereka pun kelihatan masih tradisional. Dinding biliknya berwarna putih kusam, tidak seperti rumah-rumah di Baduy luar yang biliknya sudah direnovasi dan banyak yang terlihat baru.Satu hal yang menarik dari rumah-rumah suku Baduy Dalam adalah rumah-rumah mereka dibangun menyesuaikan kontur tanah. Jadi jika tanah mereka tidak rata, bukan tanahnya yang diratakan, akan tetapi rumah mereka yang menyesuaikan. Jika kontur tanah di bagian depan lebih rendah, maka bagian rumah yang berada di tanah yang lebih rendah tersebut akan diganjal dengan batu agar tinggi bagian rumah yang ada di tanah yang rendah akan sama tingginya dengan bagian rumah yang ada di bagian tanah yang lebih tinggi.

Setelah puas berkeliling kampung Cibeo, kami pun memutuskan untuk kembali ke Baduy Luar. Jalan menuju pulang yang kami pilih sekarang berbeda dengan jalan yang semula kami lalui karena kami ingin melihat jembatan akar yang berada di kawasan Baduy Luar di kampung Batara.

Mulailah kami menapaki jalan becek dan licin lagi. Kami kemudian melewati jalur lain yang akan membawa kami ke jembatan akar. Jalan yang kami lalui lebih sempit dan lembab. Kalau terpeleset, kami bisa terjatuh cukup jauh ke jurang. Hutannya pun lebih lebat dan lembab. Kami pun mulai merasa kepayahan. Haus sekali rasanya. Penulis baru tersadar bahwa bekal minum yang penulis bawa sudah sangat minim, sementara rasa haus yang penulis rasakan semakin menjadi-jadi. Penulis lupa untuk membeli air kemasan saat masih berada di Kampung Cibeo. Mengingat jalur yang kami lalui tersebut sepi dan tidak nampak ada orang lain yang melaluinya, tentu saja tidak ada orang yang menjual minuman di situ. Penulis pun berusaha untuk menghemat air sementara perjalanan masih lama dan jauh, kira-kira dua jam lagi baru akan sampai ke jembatan akar. Penulis mulai merasakan tanda-tanda dehidrasi, namun penulis berusaha untuk terus bertahan sambil menghemat air yang penulis miliki. Akhirnya pemandu kami menemukan sebuah saung milik orang Baduy Dalam. Dia pun pergi ke saung itu dan tentu saja kami mengikutinya karena kami perlu beristirahat sejenak. Beruntung sekali karena pemilik saung ada di situ dan penulis pun minta air kepadanya. Dengan memakai gelas terbuat dari batang bambu, penulis pun melepas dahaga dengan minum sebanyak mungkin. Setelah puas melepas dahaga dan lelah, kami pun melanjutkan perjalanan kami. Setelah berjalan sekitar setengah jam, akhirnya kami menemukan sebuah perkampungan. Kami harus menuruni jalan berbatu untuk mencapai perkampungan tersebut. Indah sekali pemandangan yang disuguhkan dari atas. Kami dapat melihat atap-atap rumah yang terbuat dari daun kelapa. Indah sekali. Sayangnya di kampung Duren Sebelah tersebut tidak terdapat warung yang menjual makanan maupun minuman. Perut kami sudah bernyanyi minta diisi dan rasa dahaga kembali menyerang penulis. Kami kemudian meneruskan perjalanan menuju sebuah kampung lain yang bernama kampung Panyerangan. Setelah berjalan selama setengah jam akhirnya sampailah kami ke kampung Panyerangan dan menemukan sebuah warung. Betapa senangnya penulis ketika itu. Kami pun memesan mie instan dan air mineral. Penulis juga memesan segelas teh hangat. Setelah menyantap mie instan dan minum segelas teh hangat dan air mineral, penulisi merasa mendapatkan tenaga lagi. Perjalanan menuju jembatan akar di kampung Batara  jaraknya masih cukup jauh, jadi kami memang harus cukup makan dan minum agar dapat menambah  tenaga kami yang semakin menipis agar bisa terus meneruskan perjalanan  menuju jembatan akar.

14196771951838914270
14196771951838914270

Setelah berjalan sekitar setengah jam, akhirnya kami sampai di jembatan akar. Unik sekali jembatan tersebut. Di bawahnya mengalir sebuah sungai yang airnya cukup deras. Setelah puas mengambil foto-foto di jembatan akar, kami meneruskan perjalanan menuju ke luar kawasan Kanekes yaitu ke Grendeng. Pemandu kami mengatakan bahwa di sana kami bisa menemukan ojek dan bisa naik ojek kembali ke Ciboleger. Tentu saja kami lebih memilih naik ojek karena kami sudah lelah sekali, ditambah lagi penulis juga harus segera kembali ke Jakarta bersama seorang teman yang menunggu di kampung Kaduketuk.

14196802601583216798
14196802601583216798

[caption id="attachment_386521" align="aligncenter" width="300" caption="Sungai di bawah jembatan akar"]

1419680406580988885
1419680406580988885
[/caption]

[caption id="attachment_386522" align="aligncenter" width="300" caption="Sungai kecil menuju Grendeng"]

14196804551339762609
14196804551339762609
[/caption]

Ternyata perjalanan menuju Grendeng juga tidak mudah. Masih banyak jalan menanjak dan menurun yang licin yang harus kami lalui. Saat melihat leuit, penulis merasa senang karena tidak jauh lagi pasti akan sampai ke sebuah kampung. Namun, penulis harus menunda rasa senang penulis karena rupanya kami masih harus berjalan lumayan jauh. Namun, akhirnya sampai juga kami ke daerah Grendeng. Ah senangnya! Kami pun menuju sebuah warung dan memesan ojek yang akan membawa kami ke Ciboleger. Sambil menunggu ojek, kami memesan kelapa muda, namun sayang rasanya tidak enak.

Akhirnya ojeg pun datang dan kami  segera berangkat menuju Ciboleger.Wah, perjalanan dengan ojeg ini benar-benar membantu kami. Akhirnya pada jam 4 sore sampailah kami ke kampung Kaduketuk. Teman penulis sudah menunggu di sana. Dia sudah siap untuk pulang ke Jakarta. Penulis pun segera mandi dan membereskan barang-barang bawaan penulis. Namun, saat hendak pulang, hujan turun dengan deras. Kami pun sempat kebingunan mencari kendaraan yang akan membawa kami menuju Rangkasbitung. Akhirnya pemandu kami mendapatkan sebuah kendaraan yang dapat kami sewa untuk menuju Rangkasbitung.

Kami berdua pun kemudian naik mobil sewaan tersebut menuju Rangkasbitung pada jam 5:30 petang. Perjalanan menuju Rangkasbitung terasa begitu lama dan panjang. Di perjalanan kami sempat bercakap-cakap dengan supir yang membawa kami. Rupanya dia juga orang Baduy yang memilih untuk keluar dari masyarakat Baduy. Alasannya karena dia tidak sanggup memegang adat yang cukup ketat. Sekarang dia sudah menikah dengan orang di luar suku Baduy dan sudah beragama Islam.  Dia merupakan salah satu dari sekian banyak orang Baduy yang memilih untuk hidup modern dan bersedia keluar dari masyarakat mereka. Penulis justru sangat menghargai dan menghormati orang-orang Baduy yang masih tetap menjaga adat, tradisi dan falsafah hidup mereka di tengah-tengah kehidupan yang sudah serba modern ini. Cobaannya tentu sangat berat bagi mereka, dan mereka yang bisa tetap bertahan adalah orang-orang yang tangguh dan hebat.

Pada jam 7:30 kami memasuki Rangkasbitung, dan pengemudi mengantarkan kami ke terminal bus. Akhirnya kami pun naik ke dalam bus yang akan membawa kami ke terminal Kalideres di Jakarta. Tepat pada jam 8 malam bus meninggalkan terminal. Namun, tidak jauh dari terminal, mereka berhenti di depan sebuah toko dan mencari penumpang. Jam 9 malam baru bus berangkat dari tempat itu. Jam setengah dua belas malam, sampailah kami di terminal Kalideres. Kami berdua tidak tahu daerah ini dan taksi yang ada di sana tidak menyakinkan. Akhirnya kami memutuskan untuk naik bus transjakarta menuju Harmoni. Kami masih tidak tahu harus berhenti di mana karena kami memang tidak mengenal daerah Jakarta Barat. Ketika melihat hotel Ciputra, kami pun segera turun di halte di dekat hotel tersebut. Dari sana baru kami mendapatkan taksi yang kemudian membawa kami ke rumah masing-masing.

Jam satu pagi baru penulis sampai di rumah. Lelah sekali rasanya. Setelah mandi, penulis pun segera tidur karena kelelahan. Walaupun lelah dan kaki ini mulai terasa pegal-pegal, namun pengalaman yang penulis dapatkan sangat mengesankan. Jika ada kesempatan, penulis ingin kembali ke desa Kanekes lagi. Mungkin dalam kunjungan berikutnya penulis akan menginap di Baduy Dalam.

sumber foto: milik pribadi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun