Mohon tunggu...
Gangsar S
Gangsar S Mohon Tunggu... Administrasi - Chemical Engineer yang pernah berkarya di bidang proses bioteknologi, dan kini di bidang energi.

S1&S2 Tohoku University Jepang, 4yrs R&D Proses Bioteknologi (Jepang), Oil & Gas (Indonesia)

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Gigit Importir Migas

13 Desember 2019   11:16 Diperbarui: 13 Desember 2019   11:20 256
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Membaca judul berita di sindonews ini, saya jadi khawatir satu hal: Pak Jokowi bakal ompong karena menggigit sebagian besar rakyat indonesia.

Kita sendirilah pengimpor minyak. Produksi minyak mentah Indonesia hanya setengah konsumsi BBM kita. Produksi LPG kita kurang dari seperenam konsumsi LPG kita. Setiap kali kita menyalakan kompor LPG, kita mengkonsumsi 70% bahan bakar impor. Setiap kali kita menyalakan mesin, kita membakar separuh bahan bakar impor. Membangun kilang minyak (refinery) sendiri tidak akan merubah realita ini. Impor BBM jadi mungkin dapat dihilangkan, namun minyak mentahnya tetap harus diimpor.

Anda mungkin dapat berargumen, mesin diesel anda menggunakan biosolar dari minyak sawit. Atau kita bisa mengembangkan bioethanol. Ketahuilah, bahwa lahan yang ditanami sawit dan singkong yang minyak dan alkoholnya diminum mesin anda, sejatinya dapat ditanami dengan tanaman lain.

Seperti sagu di Papua, atau mungkin bajakah untuk obat kanker saudara dekat anda, ataupun tanaman pangan lain. Apakah kita sudah berhasil mencapai swasembada pangan? Ketika kedelai untuk tahu dan tempe kita diimpor, bahkan mie Indonesia yang mendunia itu dibuat dari terigu impor, apakah kita memilih menggunakan lahan untuk membuat bahan bakar mesin daripada pangan manusia?

Kenapa kita harus membakar minyak atau LPG? Tidak adakah bahan bakar lain? Atau sumber energi lain?

Kita dapat menggunakan listrik. Listrik dapat diproduksi dari berbagai sumber energi terbarukan seperti panas bumi, angin, matahari dll. Walaupun most likely akan diproduksi dari batu bara. Anda dapat menonton film dokumenter "Sexy Killer" untuk memahami dampak penggunaan batu bara.

Ya, mungkin sebagian dari anda mampu membeli kendaraan listrik seperti Tesla, BYD, Gesits dsb. Tapi berapa besar komponen domestiknya? Apakah baterai yang merupakan komponen biaya utama diproduksi di dalam negeri? Bagaimana dengan jarak jelajahnya, apakah dapat digunakan oleh ojek online? Dapatkah digunakan oleh kendaraan logistik (truk dan kapal laut) antar pulau antar propinsi di negara kepulauan yang luar biasa luas ini?

Kita sebenarnya masih memiliki bahan bakar lain yaitu gas alam, yang produksinya melebihi produksi minyak kita, namun masih jarang dikonsumsi di dalam negeri. Kita mengekspor gas alam tersebut dalam wujud LNG sejak kilang Arun dan Badak berdiri di tahun 1977, yang kemudian diikuti kilang Tangguh, dan mungkin nanti Masela.

Kenapa kita tidak menggunakan gas alam saja? Ya, ngapain kita bayar minyak mahal2, kalau bisa pake LNG yang jauh lebih murah. Saat ini kapasitas produksi LNG dunia meningkat, dan pasar oversupply, yang mengakibatkan harga LNG menurun. Di saat inilah, menurut saya saat yang sangat tepat untuk beralih ke BBG. Lebih baik kita menggunakan minyak bumi kita untuk industri petrokimia dan turunannya yang memiliki nilai tambah dan multiplier efek luas terhadap berbagai industri, daripada menggunakannya untuk bahan bakar.

Sebetulnya sudah lama pemerintah berusaha beralih dari BBM ke BBG. Minyak tanah sudah berhasil digantikan LPG yang pada saat itu surplus. Siapa yang mengira, sekarang LPG pun sebagian besar harus impor. Bagaimana dengan BBG lain seperti CNG, LNG dan jaringan gas?

Pengembangan jaringan gas membutuhkan investasi awal yang cukup besar untuk pembebasan lahan, pembangunan pipa penyalur, dan pipa distribusi. Terlebih ketika sumber gas jauh dari pengguna. LNG menjembatani faktor jarak tersebut, karena gas dapat dibawa dengan lebih efisien dalam bentuk cair.

Namun LNG membutuhkan receiving terminal dan fasilitas regasifikasi yang membutuhkan biaya investasi yang juga fantastis. Untuk menjustifikasi biaya investasi tersebut, dibutuhkan demand yang besar juga, berupa jaringan gas ke industri, yang berarti investasi yang lebih besar lagi. Begitu pula kendaraan BBG. 

Saat ini kita pada situasi saling menunggu. Pengusaha tidak ingin membangun SPBG, karena tidak banyak konsumen yang menggunakan kendaraan BBG. Konsumen pun enggan mengkonversi kendaraannya, karena modifikasi dapat menggagalkan garansi, skill modifikator juga belum seragam sehingga menimbulkan safety concern. Apakah produsen otomotif bersedia menambahkan sistem injeksi gas ketika SPBG masih jarang dan konsumen reluctant? Saya rasa tidak.

Begitu pula industri, kesulitan mendapatkan bahan baku petrokimia karena minyak bumi lebih diprioritaskan untuk bahan bakar. Karena kesulitan bahan baku, maka industri pun kurang kompetitif, akibatnya sulit berkembang untuk menjadi industri-industri besar yang dapat menjustifikasi pembangunan receiving terminal skala besar. Kenapa harus skala besar? Karena economy of scale dapat menekan biaya regasifikasi menjadi lebih rendah (termasuk pengembalian investasi untuk terminal, dan jaringan pipa).

Untuk memutus lingkaran setan saling menunggu ini, menurut saya strategi yang paling tepat adalah menyediakan kendaraan yang siap menggunakan BBG namun tetap dapat menggunakan bbm (dual/bi fuel). Secara teknologi, tidak ada yang baru. Mesin tetap sama, hanya menambah tangki dan injektor gas. Sehingga kita lebih mudah beralih ke BBG dibandingkan ke kendaraan listrik. Mesin besar kendaraan logistik pun dapat menggunakan BBG.

Namun demikian, memproduksi kendaraan berbahan-bakar ganda ini tentunya membutuhkan biaya lebih. Oleh karena itu dibutuhkan insentif agar harga jualnya tetap sama. Insentif LCGC dapat dimanfaatkan untuk konversi BBG, karena dengan harga kendaraan yang relatif lebih rendah, volume penjualannya juga lebih tinggi dibanding kategori kendaraan biasa. Dan itulah yang kita butuhkan, jumlah kendaraan yang ready BBG. Dengan bertambahnya kendaraan yang siap menggunakan BBG, maka pembangunan SPBG pun dapat segera menyusul.

Teknologi metalurgi saat ini telah memberikan peluang baru yaitu LNG Trucking. LNG dapat dengan mudah dibawa dalam bejana cryogenic berukuran praktis: kontainer standar maupun tangki kendaraan besar. Dengan kepraktisan itu, LNG dapat digunakan oleh kapal logistik, ferry, bis kota, maupun pengganti LPG untuk restoran, apartemen, ataupun mall.

SPBG yang tidak terjangkau jaringan pipa dapat dipasok menggunakan LNG Trucking. LNG diregas dan dikompresi menjadi CNG untuk kendaraan ringan, sedangkan LNG nya untuk kendaraan berat (bis dan truk logistik). Sisa kapasitas regasifikasi di SPBG dapat digunakan untuk mengembangkan cluster jaringan gas disekitar SPBG untuk menggantikan LPG.

Saat ini ketika bus dan truk pun dapat membawa tangki dan unit regas LNG sendiri, fasilitas besar dan menegah seperti pabrik, rumah sakit, mall, gedung apartemen, juga dapat memiliki unit regas dan tangki masing-masing. Begitu pula kendaraan logistik yang lebih besar seperti kapal ferry, tugboat, dan kapal kargo tol laut.

Ketika demand dari cluster-cluster jaringan gas di sekitar SPBG dan fasilitas menengah di atas sudah berkembang, investasi untuk menghubungkan cluster-cluster tersebut dengan gas pipeline yang lebih efisien dapat dipertimbangkan.

Dari mana peralihan ke BBG ini dapat dimulai? Dengan strategi kebijakan berikut:

  1. Dengan mewajibkan kendaraan siap menggunakan BBG (walau tetap dapat menggunakan BBM) agar dapat menerima insentif pajak LCGC.
  2. Pemberian insentif sejenis untuk kendaraan darat, laut, dan udara yang menggunakan BBG (LNG maupun CNG, bukan LPG).
  3. Membuka peluang distribusi LNG domestik kepada investor swasta, tidak terbatas pada BUMN tertentu. Hal ini diperlukan agar infrastruktur untuk pemanfaatan gas dapat segera dibangun tanpa membebani keuangan negara ataupun BUMN.

Insentif tersebut hanya dibutuhkan untuk memulai. Selanjutnya, setelah mencicipi sendiri harga BBG yang memang lebih rendah, emisi yang lebih bersih, dan potensi performa mesin yang lebih baik (nilai oktan BBG 120) masyarakat dan industri akan memilih menggunakan gas dengan sendirinya.

Salam kemandirian energi!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun