"The good thing about science is that it's true whether or not you believe in it" (Neil de Grasse Tyson)
Ketika muncul krisis dan bencana, masyarakat cenderung mengandalkan pada para ahli.  Saat terjadi gempa bumi, orang mendengarkan paparan ahli geologi (pakar lapisan bumi). Mereka dianggap paham soal pergerakan lempeng bumi. Atas pengetahuan mereka dan lewat Seismograf, kita jadi tahu di mana pusat gempa, juga lempeng mana yang bergeser dan jadi penyebab  gempa bumi tersebut.
Pada skala tertentu,  gempa akan meruntuhkan bangunan dan saat didirikan kembali kita  serahkan kepada ahli bangunan tahan gempa, insinyur teknik sipil. Mereka dibekali ilmu bagaimana membuat konstruksi tahan gempa.  Â
Dalam hal masyarakat yang tinggal di dekat gunung berapi, mereka mematuhi nasehat para pakar gunung api (vulkanolog). Lewat keahliannya, berbagai parameter gunung api diukur, untuk menentukan tingkat bahaya. Apakah dalam tingkatan siaga atau awas. Kepakaran mereka telah menyelamatkan puluhan ribu orang yang tinggal di daerah seputaran gunung berapi.
Dalam hal krisis ekonomi juga seperti itu. Masyarakat menyerahkan penyelesaian krisis tersebut pada para ekonom. Berkat sumbangsih para ekonom, kita bebas dari berbagai krisis ekonomi. Seperti hiperinflasi tahun 1950-1965 dan krisis keuangan tahun 1998.
Kini, di awal 2020 kita menghadapi krisis yang dahsyat dan berdampak luas yang menyerang sendi-sendi kehidupan, pandemi Covid-19. Virus yang hanya berukuran sepersatumiliar meter ini memporakporandakan kehidupan manusia. Hanya 5 bulan setelah kasus pertama di Wuhan pada Januari 2020, virus menular  ini telah menginfeksi  4,5 juta orang di 213 negara dan 303.345 ribu kematian hingga 15 Mei 2020 (worldometers.info/coronavirus).
Untuk kasus pandemi, kita bisa meminta saran pada para ahli epidemiologi. Mereka adalah para pakar yang mempelajari ilmu penyebaran penyakit dalam masyarakat. Â
Sayangnya, kali ini pemerintah rupanya memilih untuk mengabaikan para ahli penyakit menular. Wacana pelonggaran Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) digaungkan dengan mengesampingkan kajian ilmu epidemologi. Sejumlah pernyataan pemerintah soal pelonggaran PSBB mengindikasikan hal tersebut.
Pada Senin (4/5) Menkopolhutkam Mahfud MD menyatakan akan memberikan sejumlah kelonggaran terutama untuk warga mencari nafkah selama PSBB di masa pandemi. Pelonggaran PSBB tersebut, bertujuan agar masyarakat bisa memutar kembali roda perekonomian, namun tetap dalam koridor protokol kesehatan.
Kemenko Kelautan dan Investasi juga mengeluarkan prediksi pada awal Mei yang diberi judul Indonesia's Economic Recovery from Covid-19. Salah satu kesimpulannya, penurunan kasus positif baru, di bawah 400 per hari, meskipun kapasitas tes naik secara signifikan.Â
Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi dalam rapat kerja dengan Komisi V DPR secara virtual, Rabu (6/5), mengatakan rencana pengoperasian semua moda transportasi. Â kembali beroperasi mulai Kamis (7/5/2020).
Tak mau kalah, Kementerian Perekonomian melakukan studi untuk merelaksasi  PSBB lengkap dengan penjadwalannya. Mula-mula akan dilakukan per 1 Juni 2020. Dan pada akhir Juli 2020 diperkirakan telah memasuki fase kelima dengan membuka akses seluruh kegiatan ekonomi.
Lalu, Menteri Agama Fachrul Razi berwacana  pelonggaran kegiatan di rumah ibadah. Presiden Jokowi juga meminta masyarakat berdami dengan virus corona yang masih mewabah di Indonesia dalam dua bulan terakhir
Terakhir Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanggulangan Covid-19, Doni Monardo, mengatakan aturan pemerintah yang memperbolehkan masyarakat di bawah umur 45 tahun untuk kembali bekerja, dan akan dilakukan secara terbatas.
Pertimbangan ekonomi menjadi faktor dominan dengan merelaksasi berbagai kegiatan yang memungkinkan orang berkerumun. Masyarakat tentu bingung oleh berbagai pernyataan itu di tengah penambahan kasus positif yang terus meningkat. Hingga 13 Mei ada 15.438 kasus positif, bertambah 689, rekor tertinggi penambahan kasus sejak infeksi pertama diumumkan pemerintah pada 2 Maret 2020. Â Kurva positif covid-19 di laman resmi covid19.go.id pun memperlihatkan kurva masih menanjak dari kiri ke kanan. Belum mencapai puncak, apalagi penurunan.
Di berbagai daerah, para kepala daerah tingkat provinsi, kabupaten, dan kota juga masih  berjibaku membendung laju virus. Mereka membuat ruang isolasi darurat, penyekatan wilayah, dan mencari kontak tracing. Yang semuanya didasarkan oleh kajian ilmu epidemologi.
Ketika kasus positif meningkat puluhan di awal-awal pandemi saja, pemerintah langsung menyetujui PSBB di beberapa wilayah, kenapa kini setelah jumlah terinfeksi berbilang ratusan per hari, justru akan dilakukan wacana pelonggaran.
Masyarakat yang masih takut, akhirnya  mempersepsikan negatif pesan pemerintah tersebut, karena dianggap tidak clear dan konsisten. Padahal di tengah ketidakpastian ini, masyarakat butuh pesan yang jelas yang berasal dari satu pintu. Pesan juga mesti efektif menyasar target dalam berbagai kelompok umur, beragam budaya, dan punya daya jangkau hingga ujung wilayah negara. Cara melokalkan istilah seperti covid-19 dengan Penyakit Kerumunan oleh Gubernur Jabar Ridwan Kamil dan Jogo Tonggo untuk memerhatikan tetangga oleh Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo patut diapresiasi. Kedua gubernur ini tahu betul bagaimana mengomunkasikan hal sulit dengan bahasa rakyat.
Adalah penting untuk kembali menyandarkan penyelesaian masalah ini pada ilmu, seperti ilustrasi di awal tulisan ini, kembalikan ke ahlinya. Meski pandemi corona adalah hal baru, namun ilmu penangannnya tidaklah baru. Sejak tahun 1927 atau sembilan tahun sesudah Flu Spanyol berlalu, Kermack dan Mc-Kendrik, sudah merumuskan teori apidemi klasik (R.E Soeriatmadja -- Ilmu Lingkungan ITB).
Menurutnya, dalam setiap waktu tertentu selama epidemi berlangsung, tiap orang dalam suatu populasi dapat digolongkan pada tiga kelompok. Satu, kelompok orang yang tidak ditulari penyakit (Nu). Dua, kelompok orang yang terkena suatu penyakit menular (Ni). Tiga, kelompok orang yang tak tergolong kepada 1 dan 2, karena sudah sembuh atau meninggal.
Dari perkiraan  kecepatan perubahan jumlah individu pada ketiga kelompok itu, maka bisa diukur kecepatan penularan (I) dan kecepatan mereka yang sembuh atau meninggal (R).Â
Nampak di sini, epidemi seperti halnya Covid-19, bisa didekati dan ditanggulangi secara ilmiah, terutama dengan menggandeng para epidemiologi. Serahkan pada ahlinya, biarkan mereka melakukan observasi, menganalisa, dan memberi saran kepada pemerintah untuk menyelesaikannya.
Satu hal penting yang mesti disadari, hasil maksimal atas berbagai perhitungan di atas mensyaratkan data primer yang benar dan akurat. Misalnya soal berapa banyak orang yang sakit, tentu tergantung pada banyaknya orang yang di tes yang memadai. Dalam arti persentase mereka yang di tes berbanding dengan jumlah penduduk. Jumlah tes harus ditingkatkan sedemikian rupa, sehingga sampai pada titik dimana peningktan jumlah tes tidak lagi berpengaruh pada peningkatan mereka yang terbukti positif.
Jika kondisi ideal ini bisa dicapai, maka angka yang keluar yang tercermin dalam grafik kasus positif, tingkat kesembuhan, dan kematian bisa dijadikan pedoman untuk merekomendasikan setiap kebijakan pemerintah soal pengetatan, penutupan, atau pelonggaran wilayah.
Hanya dengan cara ini, kepercayaan masyarakat bisa pulih dan tidak ragu lagi beraktivitas. Dan roda ekonomi pun bisa berputar lagi.
Langkah ini pula yang selayaknya dilakukan pemerintah. Sehingga setiap kebijakan pertama-tama didasarkan oleh kajian ilmu epidemologi. Bukan oleh keinginan lain, seperti langsung melompat ke pertimbangan ekonomi. Sesuatu yang berisiko  lantaran virusnya masih berkeliaran, tanpa kita tahu berapa banyak orang yang terinfeksi.
Di tengah situasi ini berpaling pada ilmu dan menyerahkan pada ahlinya, jadi sikap yang bijak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H