Inilah titik balik pemberitaan yang pantas diapresiasi. Ketika umat  manusia mendapat cobaan, rasa senasib sepenanggungan akhirnya muncul. Kita ternyata hidup dalam habitat yang sama, satu bumi.
Tulisan feature atau human interest story menjadi cara yang pas dalam tragedi umat manusia ini untuk menyampaikan pesan kemanusiaan. Sebab feature mengabarkan peristiwa dengan bahasa yang kreatif dan imajinatif. Dengan begitu, pembaca menjadi terkesima, tergugah, dan seperti ikut dalam peristiwa yang dialami oleh orang lain (Jullian Harriss dkk). Berbeda dengan berita keras (hard news), yang ditulis ringkas, tanpa emosi, dan langsung pada pokok persoalan.
Laporan humanis yang berkaitan dengan Covid-19  juga bisa kita baca  lihat dalam tulisan Elizabeth Law, koresponden China untuk The Straits Times. Ia mengunjungi Wuhan 76 hari sesudah kota berpenduduk 11 juta jiwa ini melakukan lockdown.
Dikisahkan, ia berangkat dari stasiun Beijing pada Selasa sore 7/4. Stasiun yang dulunya super sibuk ini kini lengang. Tak ada lagi orang yang dorong-mendorong menunggu kereta. Semua orang memakai masker dan menjaga jarak.
Dalam perjalanan menuju bekas episentrum Corona, Elizabeth menyiapkan senjata. Kopernya dijejali peralatan lengkap pelindung diri. Masker, kacamata, sarung tangan, hand sanitizer berbotol-botol. Ia mengatakan, terakhir kali menyambangi kota ini pada awal Januari, saat serangan Corona di awal, hanya dianggap virus baru yang muncul lantaran perubahan cuaca.
Sesampainya di Wuhan, ia melihat jalanan kosong. Pada sebuah tempat yang dulu  macet hingga 30 menit, sekarang bisa ditempuh kurang dari satu menit. Pemeriksaan suhu dilakukan dimana-mana.Â
Saat memasuki hotel ada konter disenfektan, pengukuran suhu tubuh dilakukan hingga dua kali, termasuk memeriksa kode kesehatan dan dokumen perjalanan. Jika semua lolos, ia baru diizinkan check-in.
Laporan Elizabeth meski sederhana, namun memberi pesan, Covid-19 telah mengubah segalanya, terutama soal interaksi sosial. Wuhan semakin hati-hati dan waspada menghadapi virus yang berbahaya ini. Masa-masa terberat mungkin sudah lewat, namun perlu waktu bertahun-tahun untuk kembali normal seperti sediakala.
Di tengah pandemi ini, pemimpin spriritual pemerintahan Tibet dalam pengasingan, Dalai Lama  juga mengirim pesan kemanusiaan. Pada tulisan kolom di laman time.com pada 14 April ia mengungkapkan, seorang sahabatnya meminta, agar ia menggunakan keampuhannya - magical powers untuk melawan Corona. "Saya katakan, saya tidak punya. Jika itu ada, saya tidak akan merasa sakit di tangan atau tenggorokan," katanya.
Ia lantas melanjutkan, kita semua sama sebagai umat manusia, dengan pengalaman takut, ketidakpastian, dan harapan. Pandemi Corona menunjukkan,  apa yang menimpa seseorang bisa berpengaruh pada orang lain. Itulah sebabnya, ia mengingatkan, belas kasih dan tindakan nyata, apakah itu penanganan  di rumah sakit atau social distancing menjadi penting.Â