Pada tahun 2019, terdapat kasus illegal fishing di perairan Indonesia khususnya di Pulau Natuna. Insiden ini kemudian di ekskalasi ketika pada tahun 2021 kapal perang Tiongkok menerobos perbatasan laut Natuna. Adanya ekskalasi ini merupakan pertanda bahwa Replubik Rakyat China (RRC) mulai memperluas pengaruhnya terutama di laut Natuna Utara. Konflik yang dilakukan oleh China ini tidak hanya mengancam kedaulatan Indonesia namun juga dapat menimbulkan permasalahan sosial ekonomi apabila Indonesia tidak mulai mengambil langkah yang dapat memberikan efek jera bagi angkatan laut China.
Berikut adalah penampakan kapal angkatan laut China yang menerobos perairan Natuna dan mengintimidasi nelayan. Namun hal yang perlu diperhatikan adalah jenis kapal yang digunakan. Tipe kapal memiliki lebar 15 meter dan panjang 99 meter (vesseltracker, 2024). Tidak banyak hal diketahui mengenai jenis kapal ini, namun berdasarkan gambar yang didapatkan kapal ini merupakan kapal kelas Shucha II WPS (AMTI, 2017) dengan kemampuan jarak patroli sebesar 22.521 km (Military Factory, 2016).Â
Umumnya kapal jenis ini akan berpatroli di sekitar perairan Laut China Selatan dan mengintimidasi nelayan dari negara tetangga seperti Filipina, Vietnam dan lain sebagainya namun perkembangan kapal ini menerobos perairan Indonesia terutama pada tahun 2021 hingga 2022 menunjukan terdapat perkembangan baru dalam upaya RRC memperluas klaimnya di Laut China Selatan.
Latar Belakang
Konflik di Laut China Selatan terjadi diakibatkan dari adanya klaim tumpang tindih antara negara di Laut China Selatan. Negara yang mengklaim Laut China Selatan adalah Vietnam, Filipina, Malaysia, dan Brunei (Britannica, 2024). Sementara itu klaim RRC terhadap Laut China Selatan disebut sebagai 9 dash line.Â
Luas daerah Laut China Selatan dapat dilihat pada gambar dibawah. Gambar dibawah juga menjelaskan mengenai berbagai negara yang memiliki permasalahan dengan klaim RRC dikarenakan sesuai dengan ketentuan perairan internasional yang terterang di UNCLOS menjelaskan bahwa terdapat hak negara untuk memiliki zona ekonomi eksklusif sejauh 200 mile atau sekitar 370 km dan 12 mile atau 22 kilometer untuk laut teritorial (Inquirer.net, 2014). Sehingga berdasarkan hal ini terdapat klaim yang tumpang tindih di wilayah Laut China Selatan.
Namun meskipun adanya keputusan tersebut, RRC tetap melanjutkan klaimnya atas Laut China Selatan dan semakin meningkatkan kehadiran militernya di wilayah tersebut. Salah satu insiden berdarah yaitu pada tahun 1974 RRC menginvasi kepulauan Paracel yang pada masa itu masih berada di bawah kendali Vietnam Selatan, akan tetapi hal ini tidak menghentikan perluasan invasi RRC dan pada tahun 1988 juga mengambil Johnshon reef atau batuan dari Vietnam. Hal ini menunjukan bahwa RRC terbukti agresif dalam mengklaim Laut China Selatan (Britanica, 2024).
Selain melalui cara-cara militer cara lain yang digunakan oleh RRC adalah dengan membiarkan dan bahkan melindungi aksi illegal fishing oleh nelayan RRC di perairan negara lain (britanica, 2024). Dengan kapal-kapal RRC terindikasi melakukan illegal fishing dan sebanyak 86 kasus telah tercatat (Environtment Justice Foundation, 2024).
Strategi RRC di LCS
- Pembangunan Infrastruktur Militer di Kepulauan Spratly