Namun bagi penulis diperlukan setidaknya terdapat beberapa hal yang perlu dilakukan di Kepulauan Natuna dengan memperhatikan kondisi peperangan di berbagai teater peperangan lainnya. Adanya peperangan Rusia dan Ukraina setidaknya menunjukan kepada dunia dua hal.Â
Pertama adalah peperangan dalam skala besar umumnya masih bisa terjadi sehingga setiap negara seharusnya memiliki persiapan masing-masing apabila terjadi peperangan, kedua adalah efektivitas dari teknologi drone, dengan biaya yang murah serta dilengkapi dengan hulu ledak yang cukup mampu menghentikan peralatan militer yang bernilai lebih tinggi.Â
Adanya efektivitas ini seharusnya dapat menjadi peluang maupun ancaman bagi Indonesia. Mengingat kapasitas industri pertahanan Indonesia lebih kecil dengan RRC dan akan mencapai nilai sebesar 257 milyar dollar AS pada tahun 2026 (business wire, 2022).
Adanya hal tersebut menunjukan kapasitas produksi militer RRC sangat besar dan akan mampu berperang dalam jangka panjang (attrition warfare). Sehingga investasi yang juga perlu dilakukan Indonesia selain dengan peralatan militer bernilai tinggi seperti akuisisi Rafael pada tahun 2024 juga perlu berinvestasi pada peralatan militer yang memungkinkan terjadinya peperangan secara asimetris (asymmetric) atau peralatan militer yang memungkinkan Indonesia untuk bertempur dengan baik sekalipun adanya disparitas kekuatan yang besar.Â
Salah satu teknologi tersebut adalah drone dan dalam kasus ini SAM (surface to air missile), dan SSM (surface to surface missile). Sebenarnya Indonesia telah memiliki beberapa sistem pertahanan udara seperti Nasams akan tetapi berdasarkan informasi yang didapatkan penulis mayoritas dari sistem ini berada di ibukota sehingga investasi yang lebih diperlukan untuk melindungi kepulauan Natuna dan instalasi militer seperti lapangan udara yang juga ada di Kepulauan Natuna, selain itu Indonesia juga perlu berinvestasi lebih terhadap anti ship missile sebuah sistem SSM yang dapat ditembak dari daratan dan mentarget secara spesifik terhadap kapal.Â
Salah satu produk RRC di bidang ini yang dapat dijadikan contoh adalah YJ-62 yang memiliki jarak tembak hingga 400 km. Adanya persenjataan tersebut di inventaris TNI akan memberikan TNI kemanan lebih ketika harus melakukan peperangan dengan RRC. Bahkan adanya inventaris persenjataan jarak panjang yang dapat mengancam kapal RRC dari jarak jauh akan memberikan efek jera bagi RRC untuk melakukan invasi ke Kepulauan Natuna.
Selain perlindungan dari sisi penggunaan misil Indonesia juga perlu mengintegrasikan penggunaan drone serta pelatihan bagi TNI dalam memanfaatkan drone kedepannya. Salah satu penggunaan yang cukup populer di peperangan Rusia dan Ukraina adalah penggunaan Lancet dan Shahed.Â
Dua drone kamikaze yang sering di gunakan oleh Rusia dalam melakukan perangnya di Ukraina. Sehingga apabila Indonesia mampu mengembangkan keahlian serta peralatan seperti Lancet dengan kemampuan jarak hingga 40km dan ketahanan baterai hingga 40 menit ( Global Military news, 2024), tidak hanya dengan kedua drone tersebut, Indonesia juga bisa menggunakan drone yang tersedia di pasar pada saat ini dan memodifikasi drone tersebut untuk bisa menjatuhkan granat ataupun memasangkan bom untuk digunakan seperti dengan drone kamikaze, dengan keberadaan keahlian penggunaan drone yang tepat maka kemampuan peperangan asimetris Indonesia akan jauh lebih baik.
      Sementara untuk memerangi adanya penyusupan oleh kapal-kapal RRC dan nelayan dari berbagai daerah, Indonesia dapat melihat dari cara penjaga pantai AS dalam memerangi narkotika untuk masuk ke dalam Amerika Serikat. Dalam memerangi tindakan tersebut AS menggunakan teknologi drone yang di integrasikan dengan sistem teknologi informasi untuk mendeteksi adanya terobosan dari kapal yang tidak bisa diidentifikasi.Â
Proses dari penggunaan drone seperti scan eagle adalah dengan mengirimkan drone untuk memperluas area pencarian yang tidak bisa dicapai dengan kapal patroli biasa, dengan pencarian dapat diperluas hingga  sesuai dengan jangka waktu hingga 18 jam di udara (Insitu, 2024) .Â