Makanan akan kelihatan indah jika ditata dengan baik di atas piring. Namun, kalau makanan yang sama berceceran di baju yang baru dicuci, persepsi indah pun tidak lagi muncul. Memahami ini dengan sebenar-benarnya, membuat kita tidak tergandrungi makanan. Untuk alasan yang sama, para bhikkhu diizinkan untuk mencampur semua makanan di dalam patta[1].
Dalam sudut pandang lain, yang disebut sebagai makanan tidak hanya sebatas sesuatu yang dianggap "konkret", melainkan juga termasuk yang dianggap lebih "abstrak". Karena, dalam Dhamma, yang disebut sebagai "makanan" adalah segala keberadaan yang membawa atau menggiring kepada keberlangsungan. Dengan dasar itu, selain makanan yang berbentuk kepalan, juga ada tiga jenis makanan lainnya, yakni: perbenturan, pengetahu, dan kehendak pemikiran.
Perbenturan adalah sebutan untuk keberadaan batiniah, yakni pertalian antara landasan pengindraan, objek pengindraan, serta pengetahu pengindraan yang muncul bersebab keduanya. Contohnya seperti ini, bersebab adanya mata sebagai pengindraan penglihatan serta objek materi yang dilihat, muncul pengetahu penglihatan. Ketiganya disebut perbenturan penglihatan.
Kemunculan perbenturan tersebut memungkinkan untuk dikenyam sebagai menyenangkan, menyakitkan, atau bukan keduanya. Namun, pengeyaman dan sebab kemunculannya, yakni perbenturan, semestinya dikenal sebagai keberadaan yang sukar bertahan, tidak memuaskan, dipahami sebagai penderitaan.
Pengetahu adalah julukan untuk keberadaan batiniah yang memiliki fungsi mengetahui fenomena pengindraan. Contohnya, pengetahu penglihatan yang mengetahui fenomena penglihatan.
Fenomena ini adalah salah satu penopang gugus-gugus batiniah dan jasmaniah. Kadang-kadang disebut sebagai cipta, batin, kesadaran, pemikiran, hati, atau banyak lagi sebutannya. Bersebab pada pandangan keliru, banyak pihak menganggap bahwa batin itu kekal. Sesungguhnya tidak demikian.
Walaupun kelihatannya selalu muncul bersama dengan segala fenomena, tetapi bisa dilihat sisi lain yang dijuluki sebagai kepadamannya. Sehingga, pemahaman ketidakkekalan dapat dimunculkan dalam memahami fenomena ini.
Kehendak pemikiran adalah sebab kemunculan perbuatan-perbuatan. Semestinya dimengerti sebagai bukan diri. Sehingga, kita memahami bahwa ada tindakan, tetapi tidak ada entitas yang bertindak. Dengan demikian, persepsi keliru sebagai milikku, aku, atau diriku, tidak lagi muncul.
Demikianlah serangkaian metode yang bisa dikedepankan untuk dapat bijaksana soal makanan. Bijaksana berarti tahu tujuan. Karena tahu tujuannya, bisa tahu batasannya. Tahu batasan berarti tidak berlebih-lebihan pun tidak kekurangan. Inilah yang disebut sebagai prinsip jalan tengah dalam setiap fenomena.
**