Ada kelahiran, ada kematian. Itu adalah hukum alam. Begitu juga dengan manusia. Hampir setiap hari kita mendengarkan kabar duka. Baik tentang seseorang yang tidak kita kenal, atau pun seseorang yang kita kenal baik.
Mudah saja bagi kita untuk menyatakan bahwa mereka yang sudah meninggal seharusnya sudah patut direlakan. Mereka telah pergi meninggalkan semuanya. Tiada harta benda yang bisa dibawa. Relakan saja, seharusnya demikian.
Namun, bagaimana jika kita yang mengalaminya sendiri. Mereka yang meninggalkan kita ternyata adalah seseorang yang benar-benar kita sayangi? Apakah kita sudah siap?
Hidup akan terus berjalan bagi mereka yang masih hidup. Kesedihan yang muncul akan terobati seiring dengan berjalannya waktu. Apakah itu benar? Jawabannya belum pasti.
Pengalaman ini dialami oleh seorang klien. Wanita berusia 50 tahun yang ceria dan ramah. Beliau datang ke klinik karena kesedihan akibat papanya meninggal secara mendadak 3 tahun lalu.
"Padahal paginya, Papa masih sehat, hanya mengeluh kakinya sakit. Tapi sorenya, Papa sudah tidak ada," kata si klien.
Setiap kali si klien mengingat Papanya, mendengar lagu yang disukai Papanya, tempat duduk yang dulu sering diduduki Papanya, buku yang dibaca Papanya, tontonan yang disenangi Papanya, makanan yang digemari Papanya, itu semua akan membuatnya menangis tersedu-sedu.
Awalnya si klien merasa biasa saja. "Namanya juga baru kehilangan," ungkapnya. Namun setelah 3 tahun, nyatanya kesedihannya tidak berkurang sedikit pun. Perasaan itu selalu muncul.
"Papa suka ngobrol sama saya dibandingkan dengan Mama. Kalau ada teman saya datang ke rumah, Papa yang suka ngobrol dengan kami," ucap Klien.
Saat kita ditinggalkan oleh seseorang, kesedihan itu muncul karena kita kehilangan momen-momen bersama dengan orang tersebut. Semakin dekat orang itu dengan kita, kesedihan yang kita rasakan akan semakin mendalam.